I'm Obsessed With The Top of a Mountain

Jul 30, 2010

I'm Obsessed With The Top of a Mountain

















I promise, if I can reach the top of a mountain, I will shout.
Shouting about? I don't know, just shout.


Naik-naik ke punvak gunung, tinggi tinggi sekali. Yang namanya puncak gunung memang pasti tinggi. Dan saya, saya adalah salah seorang yang sangat penasaran setinggi apa gunung itu?
Orang-orang beda selera. Ada yang suka dengan pantai, mall, tempat bermain, dan lain-lain. Tapi saya, saya sangat nyaman dengan suasana pegunungan. Entah kenapa, di bukit atau kaki gunung, disitulah saya bisa menemukan ketenangan. Ketenangan, bebas dari hiruk pikuk kota, kadang saya juga merasa terbebas dari hal-hal yang suka hinggap di otak saya. Dan mungkin, di gunung juga saya bisa menemukan ide ini itu, yah walaupun pada akhirnya hanya impian yang menjadi wacana. Di gunung juga saya bebas mau meracau apapun.
"Never measure the height of a mountain until you've reached the top. Then you will see how low it was." (Dag Hammarskjold)
Benar sekali, gunung itu pendek. Tinggi bagi kita, tapi pendek bagi dunia, pendek bagi langit. Betapa kecilnya kita ini dibanding semua yang ada di bumi.
"I've learned that everyone wants live on top of the mountain. But all happiness and growth occurs while you're climbing it."
Sedikit berbicara kehidupan. Ini juga yang ada di otak saya tentang kata 'gunung'. Siapa sih yang tidak mau mencapai puncak gunung kehidupan? Semua orang ingin mencapainya. Tapi sebelum kita mencapai puncak, kita harus mendakinya terlebih dahulu. Disitulah kita menemukan kebahagiaan, kesedihan, pengalaman, suka dan duka. Nikmatilah saat kita mendaki gunung itu. Seperti kata Beth Gibbons, it could be sweet.
Teringat pembicaraan saya dengan seorang teman tentang obsesi. Dia berkata "Obsesi aku blablablablabla.." Mungkin sama saja, obsesi saya, teman saya, dan beberapa orang lainnya. Tapi, kalau ada yang bertanya "Obsesi apa yang ingin kamu capai dalam waktu dekat ini?". Saya akan menjawab, "Aku ingin berdiri di salah satu puncak gunung, gunung apapun."
Gunung mana? Mungkin orang-orang ingin bisa mencapai puncak Gunung Bromo, yang menjadi impian hampir semua orang. Keindahan Gunung Bromo membuat meleleh orang-orang yang walaupun hanya melihat fotonya saja. Ya, saya akui, saya juga ingin sekali bisa mencapai puncak Gunung Bromo. Saya sirik pada teman-teman saya yang sudah pernah mencapainya. Ah tapi sudahlah, jangan muluk-muluk. Bagi saya, cukup salah satu puncak gunung yang ada di bagian timur Kota Bandung. Gunung yang dimana puncaknya selalu tertutup oleh awan. Gunung yang menurut mitosnya kita harus berwudhu dahulu sebelum mendaki gunung itu. Tidak begitu tinggi dibandingkan ketinggian Gunung Bromo. Hanya 1300 dpl. Awan yang menutupi puncak gunung itu seperti sering melambai-lambai pada saya, sambil berkata "Mari, kemarilah..".
Sore itu, saya pergi ke salah satu bukit di Kota Bandung, hanya sekedar untuk minum kopi dan menghabiskan beberapa batang. Sore itu mendung. Puncak gunung di ujung timur Bandung itu terlihat gelap, tertutup oleh awan, yang lama-lama gunung itu tidak terlihat lagi karena tertutup oleh awan. Disana, saya terus melihat ke arah puncak gunung itu. Berpikir tentang pembicaraan saya dan teman saya tentang obsesi. Dan waw, tiba-tiba saya berpikir, bagaimana rasanya kalau saya berdiri di puncak itu, di bagian yang tertutup awan. Apakah orang-orang bisa melihatnya? Apakah orang-orang tahu? Bagaimana rasanya, bagaimana rasanya, bagaimana rasanya. Kalimat itu terus yang berputar-putar di otak saya. Dan disitulah, saya berkata "Ya, I'm obsessed. Obsessed with the top of Manglayang Mountain."