Kucing di Negeri Dongeng

Feb 28, 2011

Kucing di Negeri Dongeng


Selalu ada seekor kucing depan gubukku. Berbulu lembut, berwarna abu. Ada sedikit helai putih ikut menghangatkan tubuh yang selalu kedinginan diterpa angin. Mata bulat, hijau. Jernih. Seperti bayi yang baru lahir. Bersih tanpa dosa.

Aku yakin dia tak pernah berdosa. Tidak seperti aku dan boneka-boneka hidup lainnya di negeri dongeng ini, yang tak pernah luput dari dosa. Mungkin dosanya hanya sebatas buang tai di pekarangan rumah, sampai si pemilik rumah geram karena bau tainya. Ah.. tapi menurutku, tainya tidak bau. Karena itu, tai tanpa dosa. Tidak seperti koruptor-koruptor di negeri dongeng ini, yang selalu memenuhi kloset-kloset dengan tai dosa. Karena, menurut gambar yang berbicara di layar persegi, mereka selalu membeli nasi dan lauk pauknya yang nikmat itu dengan uang haram. Katanya, mereka makan uang rakyat. Jangankan makan uang rakyat. Untuk mencari makan pun, aku yakin, dia harus rela mengoreh-ngoreh tumpukan sampah untuk mencari sisa makanan.

Aku juga sering tanpa sengaja melihat kucing itu tertidur di pekarangan gubukku. Apa dia tidak kedinginan? Apa dia tidak mau tidur di kasur empuk dengan selimut hangat? Aku dengar dari gambar di layar persegi, orang-orang kaya di negeri dongeng ini punya rumah di setiap kota. Apa dia tidak mau seperti mereka? Dia selalu berjalan mengikuti kemana kaki melangkah, mencari tempat tidur paling nyaman. Atau bahkan dia tidak peduli nyaman atau tidak, yang penting dia bisa tidur.

Setiap malam, aku pun sering memelototinya yang sedang duduk termenung di kursi banbu depan gubukku. Tak ada teman. Hanya ditemani semilir angin malah, kumpulan semut kecil yang merayap, dan gonggongan anjing yang terdengar indah dengan jeritan-jeritan jangkrik. Entah apa yang dipikirkannya. Kalau boleh aku menebak, mungkin dalam hatinya dia berbisik, "Dimana ayahku? Dimana ibuku?". Apakah dia ingin berada di tengah-tengah keluarganya? Seperti aku yang dapat melihat rupa ayah, ibu, dan adikku setiap hari. Walau hanya beberapa jam saja, setelah kami selesai beraktivitas yang semakin hari semakin monoton. Semoga keluargamu tidak seperti keluarga-keluarga di negeri dongeng ini. Karena, lagi-lagi aku tahu dari gambar-gambar yang berbicara di layar persegi, katanya banyak keluarga-keluarga orang ternama di negeri dongeng ini bercerai berai. Ah sungguh kasihan menjadi sang anak..

Begitulah, banyak sekali cerita di negeri dongeng ini. Dongeng-dongeng yang sering kali berbau busuk. Yang terkadang, aku pun tak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Dan kucing, selalu duduk manis dan tenang biarpun gempar dimana-mana. Tan ingin bisa tahu tentang dongeng-dongeng yang membosankan ini, dia terus berjalan. Berjalan tanpa arah, mencari kumpulan sampah.

"Hei kamu, kucing yang sedang tertidur di teras gubukku. Tak usahlah kau kemana-mana. Biarlah gubuk ini menjadi gubukmu juga. Jika aku mampu, aku janji, akan kuberikan kamu sepotong ikan segar yang kutangkap dari danau keruh di ujung selatan. Tapi, temani aku di negeri dongeng ini. Hilangkan kemonotonanku. Aku begitu bosan dengan dongeng-dongeng di negeri dongeng ini. Kamu, berbagilah dongeng denganku. Dongeng tentang hidup seekor kucing.."