Sulah Wruyung

Feb 28, 2011

Sulah Wruyung


Sebuah adhara pada mahligai gejolak sang pesolek
Perempuan surya sumurup
Dua lapis bibir merah jambu
Sorot mata kebiruan
Gumpalan sinom
Kedua alis nanggal sepisan, laksana bulan sabit
Bercinta di atas paku, dibawah payung rumbai
Terpaan debu hancurkan sorot mata hati yang memerah
Tanpa peduli beribu mata tikus memandang hina

"Oh.. Aku tak peduli padamu wahai tikus! Aku tertarik pada kemolekan sang pesolek. Puasku, bahagiaku."

Tanpa pun peduli pada induk ayam yang mengeram
dan anak ayam yang meringis

"Lihatlah, anak ayam ini menangis. Mata hijaunya bisa melihat kebobrokanmu."

"Tutup saja mata kalian. Berpura-puralah menjadi orang tolol. Karena bagiku tak cukup satu."

Seribu abad lewat sesaat
Nikmat dunia memang tak bisa ditolak
Satu atau dua, keabsahan pun tidak begitu penting
Paku dan payung terus setia menemani jalan
Dua ratus dua puluh dua pratingkahing cumbana
Kadya galak sawer sampai baita layar anjog rumambaka

Abad seribu satu, berada dalam kurung kaliyuga
Tiupan jijeriju datang, bagai sangsakala yang ditiupkan dari langit
Waktu terhenti sesaat, detak jantung menggema membahana
Bancana!

"Aku pergi! Wahai surya sumurup, maaf, kenikmatan adalah kebaikan tertinggi. Namun, aku tak mampu menyerahkan ragaku pada sebuah tanggung jawab."

Surya sumurup geram
Bagai gelas yang terjun dari meja, pecah!
Tangisan pun tampak tak mampu redakan api raga

"Kau pikir aku seorang gerwani yang bisa begitu saja persembahkan dhiri pada gagrayan-mu? Kau gila!"

Hidup tanpa jiwa
Langkah lunglai telusuri jalan setapak
Belati hitam telah menunggu di tepi jurang
Ayunan tangan berbelati tembus perut berjanin
Terkulai pun, akhirnya