Frekuensi Radikal Bebas Lepas Landas

Sep 2, 2014

Frekuensi Radikal Bebas Lepas Landas


Dokumentasi pribadi : Rantau Ranjau


Jantung berdetak, mungkin serasa seperti ada yang ingin mencabut nyawa. Mata yang terpejam perlahan akan mengecil seperti mata para (maaf) masyarakat Tionghoa. Dahi berkerut membuat kulit saling bertempel. Telinga pun rasanya mau pecah. Ngiiiiiiiiiik... Begitu mungkin suaranya. Seperti koloni semut yang bersama-sama masuk ke dalam telinga dan menyerang apapun yang ada di dalamnya. Begitulah, ekspresi yang dihasilkan dari suara-suara yang mungkin tidak kita kenal atau kita luput mengenalnya. Begitu juga yang saya rasakan ketika mendengarkan Rantau Ranjau - Diculik Kupu-Kupu Mutan

Mungkin saya harus minta maaf karena memilih Rantau Ranjau sebagai sampel. Ada sedikit subjektivitas di sini, karena bagaimanapun si empunya pernah mencium bibir dan perasaan saya pada masanya yang indah, yang kini kami memilih indah dengan cara masing-masing. Setidaknya Rantau Ranjau sedikit banyak terlahir karena percakapan dua arah via gelombang telekomunikasi yang tanpa batas, dulu. Baiklah dicukupkan dulu curahan hati dan sisi ke'anda'an saya-nya. Hei, adakah bunyi yang berbatas?

Adalah bebunyian yang disebut sebagai experimental noise. Beberapa berhasil dengan percaya diri menyebutnya musik, beberapa juga ragu dengan menyebutnya bebunyian. Dan saya memilih untuk menjadi yang ragu. 

Mungkin kata yang tepat adalah perlawanan. Siapa bilang perlawanan harus saling gontok dan tonjok? Perlawanan juga bisa diekspresikan dengan karya. Begitu mungkin. 

Experimental noise, baik itu disebut musik atau tidak, bagi saya secara pribadi adalah bentuk perlawanan. Melawan norma-norma bermusik ataupun berkesenian yang ada. Dengan bangganya, mereka mengusung roh anti estetika yang disebut dengan Dadaisme. Yang pada masanya, awal abad 20-an, dengan lincah menyindir secara konyol budayanya melalui pertunjukan yang 'tanpa batas'.

Luigi Russolo misalnya, seorang seniman futuristik, yang pada tahun 1913 mengeluarkan manifesto berjudul "The Art of Noise". Secara langsung, manifestonya menyatakan bahwa revolusi industri telah memberikan kapasitas lebih kepada manusia modern untuk mengapresiasi suara-suara yang lebih kompleks. Intonarumori-nya (suatu perangkat yang ia bangun sendiri) untuk membentuk suatu orkestra yang berisik menghasilkan perdebatan musik atau bukan musik. Atau sebut saja John Cage. Orkestra diam dibuatnya dalam karya yang berjudul "4'33". Para pemain orkestra diminta diam tanpa memainkan alat musik apapun. 

Semuanya, melawan bukan? Jika di era 60-an muncul Sex Pistols dengan PUNK-nya yang melawan musisi-musisi rock mainstream. Maka untuk saat ini ada mereka para pegiat experimental noise yang melawan aturan pasar di industri musik.

Di Indonesia, di era 2000-an ini, beberapa kelompok minoritas anak muda dikagetkan oleh sejenis (yang mungkin bisa dikatakan) musik tanpa aturan. Mereka menyebutnya experimental noise, saya menyebutnya 'frekuensi radikal bebas'. Betapa tidak radikal dan tidak bebas, mereka mengeksplorasi bunyi sampai kepada bagian terkecil yang sebenarnya ada. 

Di era 60-an, kita bisa melihat Throbbing Gristle ataupun Cabaret Voltaire. Penyajian musik yang tidak beraturan. Frekuensi lepas landas yang menusuk tiang-tiang listrik hingga menyemburkan bunyi percikan api yang meluluhlantahkan telinga. Membuat orang yang mendengarnya bertanya-tanya : Apa ini? 

Dan, berbicara masalah ketabuan yang selalu diangkat oleh para pegiat experimental noise saat ini, saya rasa ada hubungannya dengan perlawanan. Di dalam experimental noise, akan selalu ada masalah ketabuan yang diangkat, baik itu seks dan lain sebagainya. Setidaknya, mungkin mereka mencoba melawan pandangan orang umum tentang hal-hal yang tabu. 

Jika begitu, maka ingatlah lagu milik Throbbing Gristle berjudul "E-Coli", di mana Cosey Fanni Tutti hanya bergumam dan sedikit berteriak tentang bakteri yang ada di dalam tinja itu. Atau Atari Teenage Riot yang berbicara tentang penis yang masuk ke dalam vagina, yang disebut penetrasi, dalam "Sex Law Penetration"-nya. Akan lebih tak berbatas lagi jika melihat salah satu adegan pertunjukan Throbbing Gristle dengan memameskan adegan Cosey Fanni Tutti mengulum penis Chris Carter. Rawks!

Jadi, apa salahnya kalau kita jalan bergeser sedikit dan melawan?