SIMULAKRA : Realita Maya Dalam Dunia Kontemporer

May 9, 2015

SIMULAKRA : Realita Maya Dalam Dunia Kontemporer


Foto diambil dari www.thejakartapost.com


Konon, dewasa ini kita dihadapi dalam situasi absurd. Ruang dan waktu telah berpisah. Majunya peradaban membuat ruang dan waktu dinisbikan. Yang muncul kini adalah ruang yang tanpa batas. Teknologi kian menghadirkan ‘manusia-manusia hantu’, yang hadir tapi sesungguhnya absen. Seperti kejadian seorang perempuan berbaju merah (Mila Rosinta) di Jakarta yang berusaha memeluk sang kekasih (I Wayan Adi Gunarta) di Denpasar, Bali.

Pelan-pelan ia mendekat, dicobanya diraih tangan lelaki pujaan yang mengenakan udeng Bali itu. Kedua telapak tangan itu tampak saling bersentuhan. Tapi apa lacur, ketika ia mencoba untuk memeluk sang kekasih, nyatanya yang dipeluk hanyalah kenyataan akan sebuah ketiadaan.

Secuil adegan tersebut merupakan salah satu gambaran tentang sesuatu yang ada namun tiada, yang keseluruhannya disajikan secara terpusat dalam pementasan tari bertajuk “Simulakra” karya koreografer senior Martinus Miroto. Dalam waktu 40 menit, seluruh isi ruang auditorium Galeri Indonesia Kaya (GIK) dijejali oleh pertanyaan antara ada dan tiada. Sebagai sebuah respon atas fenomena yang kerap terjadi dalam kehidupan sehari-hari di tengah semakin berkembangnya teknologi internet dimana dunia-dunia virtual tercipta di sana. “Seolah nyata padahal belum tentu itu nyata. Itulah, Simulakra,” ujar Miroto usai pementasan, Minggu (19/4) sore.

Simulacra atau simulakra, bentuk jamak simulacrum, berasal dari kata bahasa Latin simulare yang kurang-lebih berarti "representasi" atau "imaji". Dalam Merriam Webster Dictionary and Thesaurus, disebutkan bahwa kata ini pertama kali tercatat dalam bahasa Inggris pada abad ke-15. Digunakan untuk menggambarkan representasi seperti pada patung atau lukisan. 

Sosiolog dan filsuf post-strukturalisme Prancis, Jean Baudrillard, menyebut bahwa manusia abad kontemporer hidup dalam dunia penuh gambar, citra atau simbol yang telah menggantikan pengalaman. Hidup dalam simulakra. Baudrillard menempatkan simulakra sebagai konstruksi pikiran imajiner terhadap sebuah realitas, tanpa menghadirkan realitas itu sendiri secara esensial. Menurutnya, dunia tidak lagi nyata, sebab ''yang nyata'' hanyalah simulasi. 

Berangkat dari wacana posmodern yang dijejali oleh pertanyaan antara ada dan tiada, kenyataan dan simulasi, serta seturut perkembangan teknologi internet yang mencipta kenyataan-kenyataan virtual, Miroto menggubah Simulakra

Sebelumnya, pementasan ini diawali oleh perempuan berbaju merah yang menari pelan. Gemulai ia menggerakkan tubuhnya. Seperti gerak tetesan anggur merah yang ditumpahkan perlahan, yang lama-lama jadi candu dan memabukkan. Gerakan itu disambut oleh kehadiran tiba-tiba seorang pria (Mugiyono Kasido) yang berjalan cepat tapi kaku layaknya robot ciptaan teknologi yang mutakhir. Di belakangnya, tampak gambar tiga dimensi seorang pria (Martinus Miroto) menari bebas seolah melayang. Tak lama kemudian, terdengar alunan saluang yang mengantar seorang perempuan berbaju putih (Lora Vianti) untuk menarikan tari lilin.

Mereka seolah berbaur dalam satu ruang, padahal tidak. Pementasan kali itu terbagi dalam tiga ruang: Denpasar, Bali; Galeri Indonesia Kaya, Jakarta; dan Institut Seni Indonesia (ISI), Padang Panjang, Sumatera Barat. Nyatanya, teknologi yang dinamakan internet lah yang menyatukan mereka dalam satu waktu yang nyata walaupun dari tempat yang saling berjauhan.

Melalui teknik teleholographic pepper's ghost, Miroto mencoba bereksperimentasi dengan ruang dan waktu. Sebuah ide untuk menggabungkan antara yang maya dan yang nyata.  Teknik pepper ghost sendiri merupakan teknik yang dimunculkan pada sekitar abad ke-18 oleh John Henry Pepper. Adalah suatu teknik ilusi yang mampu mengubah gambar dua dimensi menjadi tiga dimensi. Biasanya, teknik tersebut digunakan dalam pertunjukan teater dan juga sebagai trik-trik sulap pada masanya.

Dalam pertunjukan tari “Simulakra” ini, Miroto menggunakan bounce screen yang disebutnya sebagai ruang yang memiliki kedalaman untuk membangun citra dari bentuk-bentuk yang ada. Misalnya saja ketika Mila menjatuhkan dirinya ke atas bounce screen, dan menggerakkan tubuhnya yang lalu disinari oleh lampu dari dua sisi kanan dan kiri. Gambar tersebut dipantulkan oleh holographic screen, sebuah layar tembus pandang yang terbuat dari foil yang dipasang 45 derajat. Lantas di layar, muncul visual hologram Mila yang seolah-olah melayang. “Maka itulah yang dinamakan teknik pepper's ghost,” ujar Miroto.

Kemudian, Miroto menggabungkan teknik pepper's ghost tersebut dengan teknologi telepresensi yang pada umumnya dikenal dengan video call ataupun teleconference. “Nah jadi pertunjukan ini penggabungan dimana yang maya merupakan citra dari teleholografis suatu bentuk yang bisa berupa benda atau manusia, yang posisinya berjauhan,” jelas pria kelahiran Yogyakarta, 23 Februari 1959 ini. Suatu bentuk yang tampak di panggung nyatanya hanyalah bentuk-bentuk siluman, yang sebenarnya merupakan kiriman secara stimulatif melalui koneksi internet.

Sebuah usaha merespon perkembangan zaman yang patut diacungi jempol, khususnya dalam dunia seni tari. Namun, layaknya siswa baru di sekolah yang masih harus mencari-cari cara untuk lebih menyesuaikan diri, eksperimentasi Miroto kali ini pun nyatanya masih menghadirkan beberapa celah yang menjadi hambatan.

Misalnya saja, kehadiran I Wayan Adi Gunarta di Bali yang menari kecak dengan gerak yang terpatah-patah. Bukan gerak patah-patah yang disengaja, melainkan patah akibat koneksi internet yang masih kurang mumpuni. Miroto sendiri mengakui bahwa dalam ‘uji coba’-nya kali ini, insfrastruktur internet di Indonesia yang kacau menjadi kendala yang paling kentara. “Bagaimana tidak? Di Bali saja, kecepatannya hanya mencapai 1Mb/s,” katanya santai.

Gangguan koneksi internet pun dirasakan Lora Vianti di Padang Panjang sana. Usai pementasan, melalui teleconference yang dilakukan usai pertunjukan, ia mengaku agak terganggu dengan koneksi internet yang membuat gambar di akhir pertunjukan sedikit menghilang. “Konsep ini menarik. Namun kami harus stay di satu titik demi menjaga kestabilan koneksi internet,” akunya.

Selain hambatan dalam koneksi internet, sayangnya pada pementasan kali itu, tata cahaya pun masih dirasa kurang pas. Dalam satu scene di pertunjukan yang dibuat dengan plot yang random itu, Mugiyono di Jakarta berkesempatan untuk menari berdampingan bersama dengan Lora Vianti di Padang Panjang. Mereka tampak berdiri berdampingan dengan ukuran tubuh yang sama persis, layaknya dua manusia yang berjalan berdampingan. Mereka menari dengan gerak yang sama, bahkan saling menabrakkan diri. Namun sayang, perbedaan warna yang kentara di antara keduanya membuat penonton dengan cepat dapat sadar untuk membedakan mana yang penari nyata dan mana yang penari maya. Mugiyono yang begitu bersinar kekuningan dengan sorotan lampu pijarnya, sedangkan Lora begitu pucat dengan warna teleholografis alakadarnya. “Padahal idealnya, tari dengan teknik seperti ini bisa membuat penonton kebingungan membedakan mana yang nyata dan mana yang maya,” kata Miroto.

Sebenarnya, Miroto mengaku sudah menyiapkan lampu yang sesuai dengan warna sosok yang dihasilkan dari pencitraan teleholografis yang akan ditampilkan. Hanya saja, karena keterbatasan ruang, lampu tersebut tidak bisa dipergunakan. “Lampunya besar, 70 sentimeter,” kata pria yang unggul dengan sebuah karya berjudul “Penumbra” itu. Alhasil, Miroto pun mengakalinya dengan menyoroti para penari nyata dengan lampu pijar alakadarnya. Walaupun diakuinya hal tersebut membuat pementasan kali itu tidak maksimal. “Jadi mungkin ini masalah ruang. Mungkin hanya stage-stage tertentu yang bisa,” tambahnya.


Celah-celah kosong yang membuat dahi berkerut mungkin masih muncul dalam pertunjukan tari “Simulakra” ini. Bagaimana tidak, pementasan tari yang menggabungkan medium konvensional dan medium kekinian ini masih anak baru dalam dunia tari Indonesia. Anggap saja uji coba Miroto ini sebagai pesan avant-garde untuk masa yang akan datang. Toh, tak ada salahnya untuk tetap menghargai pakem namun pun sembari terus menyelaraskannya dengan perkembangan zaman yang semakin digdaya ini. 


Wawancara : Martinus Miroto

Indonesia dikatakan sedang dihantam oleh perang kebudayaan. Perang kebudayaan di sini bukan dalam arti saling membunuh, melainkan saling menarik perhatian masyarakat. Maka itu, Indonesia, khususnya dalam bidang seni budaya, dituntut untuk suatu strategi yang lebih kreatif sebagai modal bersaing. Dalam dunia tari misalnya, pementasan tari “Simulakra” yang walaupun masih memiliki celah-celah yang robek disana-sini, disebut Martinus Miroto, sang koreografer, sebagai salah satu bentuk pembaruan dunia tari yang menyelaraskan dirinya dengan perkembangan zaman. Berikut petikan wawancara dengan sang penari lima topeng ini:

Apa sebenarnya gagasan awal dari munculnya “Simulakra” ini?

Saya mendapatkan inspirasi ini dari pengalaman sehari-hari dalam berinteraksi di dunia maya dengan orang lain. Pengalaman ini memunculkan perasaan dekat tapi jauh. Rasanya hadir, tapi sebetulnya absen. Ini menimbulkan pertanyaan bagi saya, apakah bisa pengalaman ini diangkat dalam sebuah seni pertunjukan.

Kemudian saya membuat tiga konsep, yaitu tema, bentuk, dan medium. Temanya sendiri sudah jelas, saya mengambil kehidupan antara nyata dan maya. Karena sekarang ini dengan budaya internet, kita terus menerus masuk ke dalam dunia virtual. Lalu dalam konsep bentuk, saya mengambil bentuk pertunjukan realitas teleholografis dimana salah satunya saya adopsi dari teknik pepper's ghost yang digabungkan dengan teknik telepresensi. Teleholografis sendiri sebenarnya nama yang saya buat sendiri untuk teknik ini, karena memang belum ada. Awalnya, karena saya terinspirasi juga oleh teori realitas bertambah. Yang terakhir adalah konsep medium, dimana saya menggunakan dua medium, yakni penari nyata dan penari maya.


Pada umumnya pertunjukan menggunakan interaksi antar manusia nyata. Apa ini bisa jadi cara baru dalam dunia tari?

Sekarang ide saya ini memang bertabrakan dengan paradigma seni pertunjukan yang seharusnya hanya menggunakan medium tubuh nyata. Tapi kan sekarang dengan teknologi internet itu, kenyataannya kita sering bergaul dengan manusia maya toh? Memang ada aspek paradigma yang baru di sini. Cara pandang pun harus berbeda daripada cara pandang lazim yang digunakan. Ya tergantung masing-masing penonton, jika ia terbuka, maka ia akan menganggap ini sebagai sebuah seni pertunjukan. Jika tidak, ya tidak apa-apa kalau ini tidak dianggap sebagai sebuah seni pertunjukan.


Lalu, apa yang mendorong untuk membuat satu teknik seni pertunjukan baru seperti ini?

Bagi saya, ini adalah sebuah strategi dalam dunia global saat ini. Ini bisa jadi salah satu modal bersaing kita dalam konteks perang kebudayaan. Saya melihat dewasa ini masyarakat begitu digandrungi oleh budaya-budaya luar yang berlomba-lomba menarik perhatian. Sayangnya, kita melupakan apa yang kita miliki. Padahal kan kita kaya! Mangkanya dibutuhkan pembaruan-pembaruan seperti ini.

Ketika kita semakin kreatif melakukan pengembangan-pengembangan, misal salah satunya dalam bidang seni pertunjukan, saya yakin kok kita bisa mengalahkan budaya-budaya luar yang digandrungi saat ini.


Artinya seni kontemporer Indonesia harus lebih dikembangkan lagi sebagai modal saing?

Saya bilang bahwa karya-karya kontemporer Indonesia saat ini bukan sekedar perayaan kreativitas dari para seniman untuk mengekspresikan atau merespon jaman. Tapi sebenarnya ini bisa dijadikan juga sebagai strategi untuk meng-counter kreativitas luar yang datang ke Indonesia. Indonesia ini kan kaya! Hingga seolah-olah kita kurang agresif dalam menandingi kreativitas dari bangsa lain.


Dalam pelaksanaan teknik baru pertunjukan tari ini, apa saja yang menjadi kendala? Lalu, bagaimana mengakalinya?

Internet. Tubuh manusia teleholografis itu kan dapat dihadirkan dengan ketergantungan kita pada koneksi internet. Kalau koneksinya buruk ya jadinya patah-patah seperti kemarin itu. Saya harap sih ada kebijakan dari pemerintah untuk meningkatkan kecepatan internet di Indonesia secara merata. Perkembangan jaman kan sudah direspon, tapi kalau fasilitasnya tetap belum merespon, bagaimana?

Mengakalinya ya terus jalan saja. Kalau bandwith-nya rendah ya biarin. Toh ide saya cepat tapi disediakannya segitu ya gimana. Saya anggap ini sebagai resiko pilihan. Memang sih tidak idealis, tapi bagi saya ini harus tetap jalan walaupun ini merupakan karya baru yang belum terpenuhi persyaratannya.


Asri Wuni Wulandari

Diterbitkan di Majalah GATRA Tahun 21, Edisi 26 (30 April - 6 Mei 2015)