Tiga Hari di Ambarawa-Salatiga : Alala Icikibum!

Oct 11, 2015

Tiga Hari di Ambarawa-Salatiga : Alala Icikibum!


Alala icikibum! Entalah, saya rasa ungkapan itu cukup pas untuk menggambarkan meriaknya perjalanan yang saya lakukan di suatu daerah yang kemudian saya sebut sebagai 'lingkaran O Rawa Pening' bersama seorang pria yang sejak kecil diasupi minyak ikan oleh ibunya, pada Mei silam. 

Begini ceritanya.................................................

Matahari akan selalu terbit dari timur. Jika tidak, berakhirlah sudah dunia. Untungnya, letak Stasiun Poncol, Semarang tepat menghadap ke bagian timur. Alhasil, seturunnya kami dari kereta Tawang Jaya – kereta yang menculik kami dari Jakarta menuju Semarang dan memalak kami seharga Rp 65 ribu – sinar kekuningan matahari membuat mata yang sebelumnya sayu kelelahan, menjadi menyipit kecil tersenyum manis. Belum lagi, tembang Gambang Semarang yang sebelumnya bergema di dalam kereta saat kereta sampai di Stasiun Poncol. Hah!

Awalnya jujur saja, kami tak tahu harus kemana. Rencana awal adalah menyambangi kawasan kampus Universitas Diponegoro lantaran sebelumnya dengan sangat sigap saya sudah berkontak-kontak ria dengan seorang kawan di sana untuk memberikan bantuannya pada kami berupa mencarikan tempat penyewaan motor. Dan akhirnya, setelah berhasil menyewa sebuah motor matic seharga Rp 100 ribu untuk tiga hari (tapi harga ini khusus bagi penyewa yang menggunakan Kartu Mahasiswa UNDIP), kami pun langsung melancong meninggalkan kota Semarang.

Dan kami harus ucap syukur alhamdulillah.. Karena akhirnya kami bisa melesat pergi dari Semarang. Bukan karena benci pada Semarang, melainkan karena jujur saja saya sangat tidak sabar mencapai Ambarawa. Pasalnya, obsesi untuk menginjakan kaki di Ambarawa ini sudah muncul sejak sembilan tahun silam. Awalnya sepele, hanya karena sebuah novel berjudul “Menggugat Tuhan” yang dibuat F.Rahardi, seorang pria asli kelahiran Ambarawa yang mengalami krisis kepercayaan terhadap Tuhan-nya di tengah daerah yang mayoritas penduduknya adalah kaum Nasrani (yah harap maklum, namanya juga remaja mencari jati diri, masih 18 tahun, masih menggebu-gebu baca-baca yang seperti itu). Megah dan sakralnya cara beliau menggambarkan Ambarawa itulah yang menjadikan Ambarawa sebagai salah satu obsesi yang harus saya capai.

Kembali ke cerita perjalanan. Ini kali pertama saya menyusuri kawasan sekitar Semarang, apalagi Semarang-Ambarawa. Menggebu-gebu lucu penasaran sungguh rasanya. Melewati lingkar Semarang yang menghubungkan Ibu Kota Jawa Tengah tersebut dengan Yogyakarta dan Solo, maka kamu harus berhati-hati. Pasalnya, terlalu banyak truk-truk besar kebut-kebutan yang melewati jalur tersebut. Tapi menariknya, di tengah perjalanan yang agak tandus itu, kami melihat sebuah lahan besar yang dipenuhi dengan ilalang. Pelan-pelanlah gerak roda motor yang kami tumpangi, hanya demi membayangkan kemana dandelion-dandelion itu akan beterbangan kelak.

Tidak sampai satu jam, sampailah kami di persimpangan Bawean, yang artinya sudah tinggal sedikit langkah lagi mencapai Ambarawa. Dan wuw! Cukup waktu 15 menit untuk mengitari Ambarawa. Awalnya saya pikir Ambarawa ini adalah sebuah daerah otonom. Nyatanya, Ambarawa hanyalah sebuah kecamatan di bawah wilayah administratif Kota Ungaran, Ibu Kota Kabupaten Semarang.

Sedikit bercerita, jalur utama Ambarawa bisa dibilang cukup padat. Sebenarnya kepadatan di jalur utama Ambarawa ini lebih disebabkan oleh angkutan-angkutan dalam kota dan antar kota yang tak ubahnya kami temui di sekitar Lapangan Tegalega, Bandung. Serampangan.

Tapi ada sedikit cerita menarik yang saya dapati di Ambarawa. Bisa-bisanya kami salah bertanya arah pada seorang preman sekitar yang sedang mabuk. “Pak, arah Sidomukti kemana ya?”. Lalu beliau menjawab : “Abinakyrebtlkahfukagbsj”. Kami menjawab lagi : “Terimakasih, Pak”. Begitu saja, kesederhanaan yang bagi saya pribadi, sangat menyenangkan untuk dipandangi. Melihat orang-orang lalu lalang di sebuah kawasan kecil. Entah apa yang mereka lakukan. Mungkin ada yang mau berbelanja, mungkin ada yang mau melamar sang kekasih, mungkin ada yang baru putus cinta lalu jalan-jalan keliling kota. Seolah semuanya berjalan begitu sederhana. Ah, apapun itu selalu berhasil membuat saya tersenyum kecil.




Dalam setiap menyambangi sebuah daerah atau kota, rasanya wajib bagi kita untuk berfoto di depan monumen atau plang atau apapun yang menjadi ciri khas sebuah kawasan. Minimalnya, agar bisa mengupload-nya di Instagram. Bermodalkan hasil riset melalui #exploreambarawa di Instagram yang memunculkan sebuah monumen memanjang bertuliskan i love ambarawa, maka dengan begitu ngototnya saya bilang sama si kawan : “Enggak mau tahu pokoknya harus dapat monumen itu!”. Lantas, mungkin sudah lima kali kami berputar-putar di kawasan yang sama : jalur utama Ambarawa – Stasiun Ambarawa – alun alun Ambarawa – lingkar luar Ambarawa – kembali lagi ke jalur utama Ambarawa, tak juga kami menemukan monumen itu. Lalu kemudian – tepatnya di hari terakhir kunjungan kami di Ambarawa – kamu baru tahu ternyata tulisan i love ambarawa tersebut terletak di dalam Stasiun Ambarawa. Lelah-lelah kami keliling berkali-kali, padahal sudah jelas tidak akan ditemukan di pinggir jalan.

Tapi hey, ada yang menarik dalam agenda putar-putar Ambarawa kami kala itu. Pertama, terlihatnya lanskap Gunung Merbabu yang di bawahnya tampak sawah-sawah nan hijau di pinggir jalan Lingkar Luar Ambarawa. Tak ayal, layaknya abege-abege sekitar yang doyan nongkrong pinggir jembatan, kami pun berhenti sejenak hanya untuk berkata : “Waaa hijau semua….”.




Kemenarikan yang kedua adalah kami menemukan penjara Willem atau biasa dikenal dengan Benteng Willem. Lagi-lagi, Benteng Willem ini merupakan hasil eksplorasi kami dari #exploreambarawa. Tapi sayang oh sayang, kami tidak bisa masuk karena kami terlanjur dimarahi oleh seorang Ibu-Ibu yang berteriak : “Hey, Mas Mbak jangan masuk!”. Iya memang, tepat di depan gerbang Benteng Willem, terdapat larangan untuk memasuki kawasan tersebut yang dikeluarkan oleh PM (Polisi Militer). Karena kami terlalu ciut untuk bertemu PM dan terkena hukuman, alhasil kami pun membalik arah kembali pada perjalanan yang entah akan kami bawa kemana.

Dari luar komplek Penjara Ambarawa ini bagi saya tampak seperti perkampungan-perkampungan di Amerika Selatan yang dimana di dalamnya hidup para pengedar kokain. Gedung-gedung itu tampak mati, dinding yang sudah kopek dan penuh lumut. Tapi dari luar, kami bisa melihat baju-baju yang dijemur sembarangan di depan pintu yang sudah reyot. Artinya, di dalam situ ada kehidupan. Sayangnya, saya tak berkesempatan untuk mengambil gambarnya.

Lima kali berkeliling rasanya bosan juga. Akhirnya si kawan mengajak saya ke Umbul Sidomukti yang terletak di kawasan Bandungan. Sebuah kawasan wisata yang ngehits di kalangan anak muda Semarang. Ada dua rute menuju Umbul Sidomukti ini. Pertama, melalui Ungaran dan Ambarawa. Kalau dari arah Semarang menuju Yogyakarta, maka tepat ketika sudah memasuki kawasan Ungaran, tengoklah ke kanan. Di situ akan ada plang arah menuju Bandungan. Kalau dari Ambarawa, masuklah jalan menuju Goa Maria Kerep, lalu tinggal ikuti plang penunjuk arah berikutnya. Yang pasti carilah arah menuju Bandungan.




Kawasan perbukitan yang nyatanya dikelola oleh pihak swasta ini, uhh menggiurkan. Terletak di lereng Gunung Ungaran dengan ketinggian 1.200 mdpl. Hanya dengan mengeluarkan kocek Rp 1000,- per orang, kami pun langsung bisa tancap gas menaiki perbukitan Umbul Sidomukti yang – bagi kami – tak ubahnya kawasan perbukitan Caringin Tilu, Bandung. Dan di antara berbagai macam pilihan wisata, Pondok Kopi Umbul Sidomukti menjadi pilihan kami untuk berselonjor mengistirahatkan otot-otot yang kelelahan. 




Benar saja, di Pondok Kopi Umbul Sidomukti, dengan semilir anginnya yang aduhai dan lanskap Semarang dan daerah-daerah sekitarnya begitu memanjakan kami. Kalau beruntung, kamu bisa melihat aksi paralayang di sana. Belum lagi harga makanan yang masih berkisar di angka Rp 10 ribu-an. Murah bukan? Agak jauh rasanya jika dibandingkan dengan ngopi-ngopi lucu di Rumah Kopi, Bandung, misalnya. Selembar kertas Rp 50 ribu mungkin hanya cukup untuk satu cangkir kopi, belum lagi pemandangannya yang begitu-begitu saja.

Selesai melemaskan otot, kami langsung kembali memutar otak : kemana lagi kami akan pergi. Keinginan awalnya adalah mencari penginapan lantaran badan rasanya sudah terlalu lengket untuk digerakkan. Mencoba mencari penginapan di Ambarawa, nyatanya tak ada yang menarik sampai-sampai si kawan bertanya : “Kamu yakin enggak di Salatiga kita bakal nemuin penginapan?”. Lantas dengan gagahnya saya menjawab, “Yakin!”. Padahal jujur saja, hati saya sendiri masih sangat gambling perkara penginapan di Salatiga. Tapi tak apa, karena katanya lebih baik mencoba daripada tidak mencoba sama sekali.

Dan ohlala… Nyatanya keputusan kami untuk berangkat menuju Salatiga mempertemukan kami dengan sebuah plang bertuliskan ‘GOA RONG VIEW’. Kalau menurut si kawan yang sempat menemukan nama tersebut dalam risetnya sebelum perjalanan ini, Goa Rong adalah sebuah view point jika kamu ingin melihat Rawa Pening dari ketinggian secara jelas. Lantas, tanpa pedulikan badan yang semakin lengket, kami pun membelokkan motor.

Lokasinya di Kecamatan Tuntang. Kalau kamu melewati lingkar luar yang menyambungkan Semarang-Yogya-Solo, maka berhati-hatilah setelah melewati jembatan Tuntang, karena di sanalah plang ‘GOA RONG VIEW’ itu berada. Patokannya, Stasiun Tuntang.

Lagi-lagi kami harus melewati bukit demi bukit hingga sampailah kami di gerbang Goa Rong View. Nyatanya, Goa Rong View adalah sebuah family resort yang lebih dikenal dengan nama Telogo Resort. Namun, hanya dengan menaiki lagi perbukitan yang jaraknya tidak terlalu jauh, maka kami mendapati sebuah restoran alakadarnya dengan sebuah gazebo di tengahnya. Itulah yang disebut-sebut orang sebagai view point untuk melihat Rawa Pening.




Sebelum matahari terbenam, kami pun memutuskan untuk santap sore terlebih dahulu. Lapar juga rasanya setelah berkeliling kesana kemari. Dan ihiyy lagi-lagi kami harus mengucap syukur lantaran harga makanan yang berkisar antara Rp 15 ribu – Rp 25 ribu. Di Jakarta – tempat saya menetap sekarang – harga itu mungkin hanya cukup untuk makan sepaket nasi padang berisikan satu jenis lauk ditambah es teh manis. Waybiasa!

Katanya kalau orang kenyang, maka dia jadi bego. Tapi tidak begitu dengan si kawan yang tidak bisa diam itu. Dia malah curi start untuk merekam gambar matahari yang pelan-pelan turun ke bawah. Sementara saya masih tergolek bego karena kekenyangan. Tapi amboi…nyatanya sinar jingga yang menyepuh Rawa Pening itu berhasil lagi membuat saya cerdas. Saya langsung berdiri hanya untuk melihat Rawa Pening yang tersapuh oleh sinar matahari yang malu-malu untuk turun. Sayangnya saat itu kami hadir bersama rombongan ramai yang tak kami kenal. Alhasil, agenda selfie di pinggir pagar Goa Rong View berlatarkan sinar keemasan pun gagal. Tapi tak apa. Aduhai.. Amboi.. Maknyos.. Edan.. Anjir.. Astaga.. Subhanallah.. Entah pujian-pujian macam apa lagi yang harus saya keluarkan saat itu. Yang pasti, lanskap sore itu langsung dijuluki si kawan sebagai : Golden Sunset!





Waktu sudah menunjukkan pukul 18.00 WIB. Suara seorang pria pun menyeruak di Goa Rong View, menginformasikan para pengunjung bahwa waktu kunjungan sudah habis. Iya sih, enggak apa. Lagi pula agak menakutkan juga jika harus turun dari Goa Rong di malam hari mengingat rute tanjakan menuju Goa Rong penuh dengan pepohonan-pepohonan tinggi. Lantas, kami pun langsung tancap gas menuju Salatiga. Harapan akan sebuah kasur empuk dan kamar mandi tempat kami membuang daki.

Dan….akhirnya, sampai juga kami di Salatiga setelah sebelumnya kami harus bertanding dengan truk-truk yang berjalan super cepat dan seenaknya. Ungkapan pertama yang keluar saat pertama memasuki Salatiga adalah : “Kaya Bandung yah!”. Udaranya yang sejuk – jujur saja – mengingatkan saya pada kampung halaman, Bandung. Café-café pinggir jalan yang cukup dipenuhi oleh para anak muda yang melepas lelah lengkap dengan suara hentakan musiknya, lampu-lampu temaram, trotoar jalan, motor-motor yang berseliweran. Ini adalah kota. Selamat datang kembali, peradaban!

Berputar-putar mencari hotel bermodalkan browsing di agoda.com, pilihan kami tertuju pada sebuah hotel dengan bangunan tua yang agak temaram. Agak menakutkan memang, tapi toh plang nama hotelnya – seingat saya – ditemukan di setiap sudut jalan di Salatiga. Hotel Mutiara namanya, sebuah hotel melati saja. Dengan Rp 150 ribu, kami mendapatkan kamar yang cukup nyaman dan luas lengkap dengan kamar mandi dalamnya. Hotel ini menyatu dengan sebuah kapel. Iya, kami tahu karena ketika kami datang tampak kaum Nasrani keluar dari sebuah pintu yang nyatanya baru saja melakukan Misa. Sayangnya, belakangan kami tahu dari salah satu program televisi masa kini, bahwa nyatanya hotel ini merupakan salah satu hotel yang menjadi salah satu rujukan polisi ketika mencari orang hilang. Hemat kami, mungkin itu memang hotel esek-esek. Bagi yang tidak suka dengan hotel-hotel semacam itu, tenang saja, di Salatiga banyak hotel kok.


Hari ke-2

Puas tidur semalam suntuk di atas kasur kapuk, kami pun lagi-lagi putar otak : kemana lagi kita akan pergi. Pasar Tradisional Tamansari di bilangan Jenderal Soedirman, Salatiga akhirnya menjadi rencana awal kami. Konon, di sana adalah tempatnya mereka yang gemar membeli barang-barang bekas. Tapi apa lacur, nyatanya kami datang terlalu pagi. “Biasanya di sini ramenya siang ke sore,” kata seorang pria entah siapa yang kami temui di sekitar pasar. Putar otak lagi, lalu Telomoyo jadi jawabnya.




Telomoyo adalah sebuah gunung yang terletak di kawasan Kopeng. Kopeng adalah jalur yang dilewati untuk menuju ke Magelang. Kawasan ini cukup ternama. Yah kalau bagi orang Bandung, mungkin kawasan Kopeng ini layaknya Lembang. Lagi-lagi perbukitan. Tapi argh.. Sepanjang jalan menelusuri Kopeng, kami dimanjakan dengan puncak-puncak gunung yang berdiri dengan begitu anggunnya. Ada puncak Gunung Merbabu, Gunung Telomoyo, Gunung Ungaran.

Lantas, sebagai explorer sejati, kami pun berkali-kali memutari kawasan tersebut demi menemukan jalan menuju Gunung Telomoyo. Kenapa Gunung Telomoyo? Konon, jalan menuju puncak gunung ini bisa dilewati dengan kendaraan bermotor. Tunggu apa lagi, langsung tancap gas kami.

Gerbang masuk ke kawasan Gunung Telomoyo terletak di Desa Dalangan. Sebuah desa yang begitu hijau. Yah bagi kami yang urang Bandung asli, desa ini bagaikan Pangalengan. Sawah-sawah terhampar luas. Dan ungkapan yang keluar dari mulut kami saat memasuki pedesaan tersebut : “Harvest Moon!”. Selain itu, saya pribadi agak tercengang melihat banyaknya kapel-kapel kecil di sana. Seingat saya, dalam setiap jarak 500 meter, kami pasti menemukan tempat ibadah kaum Nasrani tersebut.




Dari jauh, kami bisa melihat gambaran salib-salib yang berdiri begitu sederhananya di tengah pedesaan dengan latar pegunungan Telomoyo. Kapel-kapel ini pun berdiri berdampingan dengan Masjid atau Mushola. Seolah keduanya memberikan kedamaian.. Bagaimana tidak damai? Gambaran seorang Ibu yang berjalan kaki mengangkut hasil taninya, sekelompok anak kecil yang bermain tanah. Bukankah itu sesuatu yang harus disebut damai? 




Kalau boleh meminta, ingin rasanya bisa tinggal di daerah ini. Daerah dimana waktu bisa berjalan begitu lambat. Daerah yang memberi saya kesempatan untuk menikmati setiap menitnya semua momen yang ada di daerah ini. Saya sampai bilang pada si kawan : "Duh apa aku pindah kerja di sini aja ya? Jadi kontributor gitu". Lantas si kawan menjawab : "Bisa sih. Di sini minimal kamu bisa jadi wartawan buletin kecamatan". 





Gunung Telomoyo ini nyatanya dikelola oleh Karang Taruna setempat. Dengan sebuah kartu berbayar seharga Rp 5.000 kami bisa langsung melesat menuju puncuk Gunung Telomoyo. Benar saja, motor dengan aman melewati jalur pegunungan Telomoyo. Sayangnya, pegunungan Telomoyo ini terlihat begitu tak terurus. Pasalnya, semakin ke atas, jalanan semakin menggila. Hingga akhirnya kami terpaksa memutar arah. Bukan karena takut jatuh, tapi karena takut harus mengganti uang ganti rugi jika motor yang kami tumpangi bermasalah.

Tujuan selanjutnya, adalah Rawa Pening. Menurut info yang didapat, Rawa Pening berada pada sebuah wanawisata Bukit Cinta. Aduh… Dengar namanya saja sudah bagaimana rasanya. Merinding-merinding lucu. Tapi itu bukan tempat untuk bercinta wahai kawan. Bukit Cinta hanyalah sebuah taman pinggir danau. Untuk menuju Bukit Cinta, dari Salatiga kami berangkat melalui jalur Banyu Biru. Kami ditarik tiket masuk seharga Rp 6.000 untuk masuk ke kawasan Bukit Cinta.


Ada cerita menarik dalam perjalanan menuju Bukit Cinta. Untuk memperjelas arah, kami bertanya pada seorang pria bertattoo, gondrong, brewok, layaknya preman Tanah Abang. Begini percakapannya :

"Permisi, Mas. Mau tanya. Kalau Bukit Cinta arahnya kemana ya?"
"Oh iya ke sebelah sana, Mas" (Katanya sambil mengarahkan jalan dengan jempolnya. Sopan)
"Oh iya. Terimakasih, Mas"
"Njee..." (Ucapnya sambil tersenyum ramah)

Dramatisnya, kami melihat suatu paradoks di sana. Ketika seorang preman bertato gondrong brewok tahu posisi Bukit Cinta dan menjawab setiap pertanyaan kami dengan begitu sopannya. Coba bandingkan dengan preman-preman di Jakarta. Paling-paling mereka akan menjawah : "Kesono noh..", dengan wajah sok menyeramkannya.

Rencana kami di Bukit Cinta bukan untuk bercinta. Tapi untuk menikmati matahari terbenam di atas perahu. Sekitar pukul 16.30 WIB, kami pun menyewa sebuah perahu motor seharga Rp 60 ribu untuk paket pendek mengelilingi Rawa Pening selama 30 menit. Sebenarnya perahu ini katanya bisa dinaiki sampai enam penumpang. Tapi berhubung kami hanya berdua, jadi yah rasanya perahu itu seperti private boat.





Bukan main nikmatnya menikmati sore di atas permukaan Rawa Pening. Apalagi ketika perahu mendekat ke tumbuhan eceng-eceng gondok yang tumbuh di sana. Belum lagi gambaran warga sekitar yang mendayung kano di Rawa Pening. Tjakeps! Ditambah si kawan yang terus menerus berteriak dan menikmati tubuhnya yang terkena cipratan air. 

Rawa Pening ini dikelilingi berbagai puncak gunung. Seingat saya, beberapa gunung yang mengelilinginya di antaraya : Gunung Ungaran, Gunung Telomoyo, dan Gunung Merbabu. Luasnya mencapai 2.500 hektar. Saking luasnya, saya malah merasa kalau saya sedang berlayar di lautan.




Setelah puas berteriak-teriak di atas perahu,  kegiatan kami di Bukit Cinta belum usai. Di pojok Bukit Cinta, nyataya ada sebuah spot untuk menikmati matahari terbenam. Turunnya kami dari perahu, si kawan mengajak saya berjalan ke pojokan Bukit Cinta. Saya bingung. Nyatanya si kawan ini memang pintar. Pojok tersebut menghadirkan - lagi lagi - pantulan sinar matahari yang mulai tertidur. Kurang ajar memang Rawa Pening ini. Begitu nyamannya sampai membuat kami menahan malu ditonton sepasang kekasih yang sedang lewat karena kami terpergoki berjoged-joged di pinggir danau. 


Hari ke-3

Ini adalah hari terakhir perjalanan kami. Rencana awal adalah mengejar kereta wisata di Stasiun Ambarawa pada jam 08.00 WIB. Tapi apa lacur, nyatanya sebuah kedai kecil di Banyu Biru membuat kami terpaksa melenceng dari rencana semula. Kedai Amigos namanya. Sebuah kedai yang dikelilingi hamparan sawah. Kami pun memilih untuk mengisi perut terlebih dahulu di sana. Amigos…. Jongjon sekali. Kami bisa menikmati secangkir kopi dan kentang goreng, sekaligus menikmati hamparan sawah lengkap dengan angin paginya.

Tak mau terlalu lama untuk berjongjon ria di Kedai Amigos, kami pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Stasiun Ambarawa! Yiiihaaaa! Aneh rasanya jika kami datang ke Ambarawa tanpa naik kereta tuanya itu. Kereta Wisata Stasiun Ambarawa ini hanya beroperasi setiap hari Minggu dan hari libur. Waktunya pun tidak sembarangan. Dalam satu hari ia akan beroperasi sebanyak tiga kali : pukul 08.00 WIB, pukul 10.00 WIB dan pukul 12.00 WIB. Untuk masuk ke Stasiun Ambarawa, kami ditarik tarif Rp 10 ribu. Tapi untuk menaiki kereta tuanya, kami ditarif lagi tiket seharga Rp 50 ribu. Agak mahal memang. Tapi harga itu terbayar dengan pengalaman kami berada di atas kereta itu.

Kereta yang kami naiki hanya kereta tua yang melayani jalur Stasiun Ambarawa – Stasiun Tuntang. Rutenya melewati pinggiran Rawa Pening. Yippie! Di loket, seorang satpam menyuruh kami untuk sesegera mungkin ngetake bangku yang dekat dengan jendela. Katanya, agar bisa melihat Rawa Pening. Satpam yang baik hati. Tahu-tahu saja dia kalau begitu excited-nya kami untuk naik kereta tua ini.




Dari luar, kereta tua itu terlalu menggiurkan. Jika ia laki-laki maka ia terlihat gagah. Dan jika ia perempuan, maka ia terlihat anggun. Interior kayu kereta tua tersebut membuat pikiran saya berkelana. Saya membayangkan bagaimana mungkin meneer-meneer pada jamannya menaiki kereta tua ini. Apakah mereka seheboh kami yang tak henti-hentinya menyunggingkan senyum sumringah ketika duduk di kursi kayunya? Mungkin pada jamannya yang menaiki kereta ini adalah mereka yang menggunakan gaun-gaun cantik atau long coat yang begitu elegan. Tapi sekarang yang hadir ya seperti kami. Dandanan sesukanya dan pecicilan. 

Lonceng berbunyi. Dan tunn tunn.. Maka kereta pun berjalan pelan. Dari atas kereta kami bisa melihat kehidupan masyarakat Ambarawa. Dan si kawan yang satu ini - yang memang sudah saya ketahui mungkin urat malunya sudah entah dimana - rajin berteriak kepada siapa saja yang ia lewati. "Halo, Bapak! Pak, jempolnya, Pak!". Bukan hanya berteriak dan meminta jempol, tapi juga melambaikan tangan bak artis papan atas menyapa para fans-nya. ADUH! 




Lama kelamaan mungkin si kawan lelah juga akibat atraksi dagelannya. Saya pun lelah tertawa-tawa melihat ulahnya. Dan, ehem, kadang saya pun mengikuti tingkahnya. Karena lelah akhirnya kami bersepakat untuk mendengarkan alunan musik lewat gadget masing-masing. Ha! Setiap perjalanan memang akan selalu manis jika ditemani alunan musik. Dan biarpun sudah berlalu begitu lama, tapi saya masih ingat karena saat itu saya langsung memutar lagu paling favorit dalam setiap perjalanan.

Take me somewhere I can breatheI've got so much to seeThis is where I wannna beComin' closer to you
(All Saints - Pure Shores)



Sesampainya di Stasiun Tuntang, kami memutuskan untuk tidak turun. Lalu karena mulut rasanya gatal untuk mengeluarkan asap, kami memutuskan untuk berpindah tempat. Jika sebelumnya kami duduk manis di bangku kayu, maka dalam perjalanan pulang menuju Stasiun Ambarawa kami memilih untuk berdiri di batas gerbong kereta. Ternyata memang lebih ciamik. 

Lalu si kawan menyuruh saya duduk di sebelahnya, di tangga kereta. Agak menyeramkan memang. Apalagi ketika kami melewati jembatan yang cukup tinggi. Seperti melayang! Di sana, si kawan bertingkah lagi. Bertingkah yang sama dengan tambahan beberapa kali minta difoto dari angle belakang agar terlihat dirinya yang sedang keluar dari kereta. Bingung sih, seperti mau terbang pokoknya. Padahal, di sebelahnya seorang anak kecil melakukan hal yang sama. Mungkin ia terinspirasi si bocah. 





Satu jam sudah perjalanan kami pulang-pergi Stasiun Ambarawa-Stasiun Tuntang. Setelah berfoto-foto lucu di antara koleksi berbagai kereta tua, kami pun meninggalkan Museum Stasiun Ambarawa untuk selanjutnya mengunjungi Goa Maria Kerep, yang juga membuat saya begitu excited. Dan ya, setelah berheboh-heboh ria di atas kereta, tiba-tiba kami dihadapkan pada suasana yang begitu agung dan sakral.

Tidak terlalu jauh dari Museum Stasiun Ambarawa. Plang-nya pun terlihat jelas. Masuknya juga tidak bertarif. Entah mengapa, sesampainya kami di parkiran Goa Maria Kerep, rasanya sendu langsung menerpa. Tiba-tiba saja saya diam. Tak tahu harus bicara apa. Pertama, kami memasuki sebuah kapel terbuka di komplek Goa Maria Kerep. Si kawan tidak memilih terlalu masuk. Tapi saya memilih masuk. Di depan saya ada seorang Ibu yang berdoa. Entahlah.. Pandangan saya tak lepas darinya. Betapa khidmatnya dia berdoa. Sebagai manusia kekinian, saya merasa ditampar.




Lantas kami pun mengikuti jalur Jalan Salib. Kebetulan saat itu sedang ada rombongan yang tengah melakukan Jalan Salib. Belum lagi suara khotbah sang Pastor di lapangan tengahnya. Badan saya bergetar tak beraturan. Ketika mengikuti rombongan yang melakukan Jalan Salib, lagi-lagi saya harus merasa merinding karena di beberapa titik saya menemukan orang demi orang yang sedang berdoa dengan khusyuknya. 



Jujur saja, saya tidak mengerti apa yang mereka lantunkan. Sudah jelas karena saya bukan seorang Nasrani. Si kawan berkata bahwa saat itu adalah kali pertamanya dia berada di lingkungan yang tidak dikenalnya. Namun saya, sedari kecil sudah terbiasa dengan komunitas ini. Pasalnya, saya masih ingat setiap hari Minggu, Ayah dan Ibu saya sering membawa saya ke Gereja untuk mengikuti Misa. Kebetulan saat itu Ayah saya seorang pengajar di salah satu sekolah Katolik di Kota Bandung. Ada sedikit kerinduan akan masa kecil yang saya rasakan di sana. Ada juga sedikit campur aduk rasa yang saya rasakan di sana. 

Setelah selesai melihat kaum Nasrani beribadah. Kami pun bermain-main sebentar di tamannya. Indah sekali. Bersih dan sangat terawat. Sampai-sampai seorang teman di Jakarta menitipkan dokumentasi-dokumentasi Goa Maria Kerep pada saya. 

Lalu kami sadar bahwa kami dikejar oleh jam pengembalian motor. Belum lagi itu hari Minggu, besoknya adalah hari Senin, hari di mana saya harus kembali bertemu dengan deadline. Hari di mana kami harus kembali menjadi manusia perkotaan dengan segala rutinitasnya. Kami pun melesat kembali ke Semarang. Tapi kami memilih jalur yang berbeda kali ini. Jika sebelumnya kami menggunakan rute standar dengan melewati Lingkar Luar Semarang-Yogya-Solo, pulangnya kami memilih melewati kawasan Bandungan. Si kawan rupanya malas bertempur dengan truk-truk besar. Tapi memang benar. Setidaknya jalur melalui Bandungan ini lebih manusiawi dibandingakan sebelumnya. 

Tapi yah..kami memang manusiawi. Bisa menjadi manusia yang sangat menghargai apa-apa saja yang kami lihat serta merenunginya dalam-dalam. Tapi bisa juga menjadi manusia perkotaan yang tergoda dengan makanan-makanan barat, semacam steak misalnya. Sesampainya kami di Ungaran, melihat plang bertuliskan "Warung Steak & Shake". Tanpa pikir panjang, kami memutuskan untuk santap siang di sana.

Selamat datang lagi peradaban! Selamat datang lagi kehidupan! 

Tapi sampai saat ini saya masih berdoa agar suatu hari nanti saya bisa kembali lagi ke tempat-tempat itu. 

 Dan ini nih.. Foto saya bersama si kawan yang tidak bisa diam itu di atas kereta tua. 


CIAO!