Pahlawan Kebisingan

Jun 1, 2013

Pahlawan Kebisingan


Tersebutlah sebuah kota kecil di Semenanjung Intan bernama Mara. Penduduknya saling kenal satu sama lain. Apa yang bisa diharapkan dari populasi yang sedemikian erat? Konflik dan masalah tidak menjadi bagian hidup Kota Mara, benarkah demikian? Sebut saja Dom si tukang roti, sedemikian baiknya ia sering membagikan roti segar setiap pagi pada tetangganya. Atau Seti si penjual bunga, jika ada yang berduka maupun bahagia, dia selalu siap membantu membuat karangan bunga yang indah yang ia ambil sendiri dari kebun bunga miliknya. Bahkan Bapak Walikota Sera pun merupakan cerminan teladan, betapa baiknya ia menjalankan pemerintahan di kota berpenduduk lima ribu jiwa itu.

Namun, setiap bagian sempurna dari sebuah cerita tidak lepas dari borok bukan? Di bagian ujung belakang kota, tempat yang tertutup dan terabaikan. Dimana cahaya matahari tidak selalu sampai di sana. Penyebabnya kepadatan, walaupun tidak bisa disebut miskin total. Nyonya Merau membuka salon kecantikan sejak 20 tahun lalu di daerah kumuh itu, Salon Bising namanya. Di sinilah segala ketidaksempurnaan terjadi, cerita-cerita bergulir secara cepat. Pelanggan-pelanggan si Nyonya bisa disebut sebagai biang gossip kelas wahid Kota Mara. Mereka selalu tahu apa yang sedang dan akan terjadi. Yah walaupun cerita mereka belum terbukti kebenarannya.

Nyonya Merau memperkerjakan tiga orang karyawan, dua perempuan Sali dan Emi, serta seorang, uhm, waria bernama Talia. Mungkin kehidupan mereka tidak lebih baik, tapi setidaknya Nyonya memperlakukan ketiganya dengan baik. Sali dan Emi tadinya wanita panggilan, bukan karena ingin, mereka terpaksa hanya untuk bertahan hidup dan menghidupi keluarga. Merau menyelamatkan mereka dari pelabuhan nelayan, keduanya ditemukan dalam keadaan kurus, kotor, dan mengenaskan. Sudah tidak ada harga dalam diri mereka jika bukan karena Merau.

Sementara Talia, ayolah, siapa yang akan menerima dirinya. Keluarganya sudah mengasingkan dirinya karena merasa ada yang salah dengan fisik dan gayanya. Bagian depan dan tengah kota terdiri dari keluarga terpandang dan baik-baik. Sistem norma Kota Mara – dari warga mayoritas tentunya – tidak mengijinkan hal-hal menyimpang terjadi. Wanita panggilan ditambah waria bukan sesuatu yang dianggap baik. Sementara Talia tahu betul dirinya tidak cocok menjadi lelaki, dia lebih senang berpakaian dan berkelakuan seperti wanita. Anggun dan cantik dengan rambut panjang yang tersibak lembut kala ditiup angin. Aku ini cantik. Begitulah dia bergumam pada dirinya sendiri.

Ketiganya ditawari pekerjaan di Salon Bising, sempurna menurut Merau, karena tidak ada yang perduli juga dengan latar belakang mereka di sini. Pelayanan yang baik jadi yang terpenting. Dengan begitu pelanggan merasa senang dan tidak segan berbicara hal-hal yang sebaiknya kau tahu tidak dibicarakan.

“Kau tahu tidak, ada yang bilang Seti itu sebenarnya sudah pisah ranjang dengan Sera sejak bertahun-tahun lalu!” seru seorang wanita gemuk berdada gempal, semangat. Teman baiknya segera menyahut, “Aku juga dengar itu, kabarnya Sera suka mengunjungi si penyanyi tenor Marla di rumahnya pada malam hari. Bukankah setiap ada acara di Gedung Kota dia selalu tidak absen diundang.”

Oh Sera, si walikota yang sedang berada dalam puncak gairahnya. Tampan dengan rambut ikal keabuan, hidung mancung dan mata bulat hitam. Kabar-kabar burung yang beredar dia suka melancong sana-sini. Tapi ya itu tadi, namanya juga gosip tidak ada yang tahu pasti kebenarannya. Kalau prestasinya memimpin Mara sih sudah tidak perlu diragukan lagi deh.

“Hmm nampaknya aku harus sering dan gencar bertanya pada pembantu-pembantu di Keresidenan, walalupun sebenarnya aku juga kasihan pada Seti, selalu murung dan muram durja.” balas si gempal.

Simpulan yang bisa diambil oleh para pekerja salon adalah sebenarnya hal-hal tidak sempurna itu juga terjadi di bagian depan dan tengah kota. Hanya dalam batasan yang berbeda, pandangan yang berbeda. Namun tidak dengan Talia, ada poin tambahan yang bisa didapatnya. Siapakah yang akan mengembalikan segala kekacauan ini pada tempatnya? Jika dia menjadi waria, itu sudah kodrat. Jika Sali dan Emi menjadi pelacur, itu karena nasib. Tapi, bagaimana dengan walikota yang berselingkuh? Bagaimana dengan tukang roti yang suka meracuni rotinya? Loh kok jadi panjang sih persoalannya? Makanya dibaca dulu ya cerita selanjutnya.

******

Di malam, di mana bintang-bintang di langit marah dan urung untuk menampakkan diri, Talia duduk bersimpuh di atas kasur kapuknya yang sudah berbolong. Ia teringat cerita yang bergulir di Salon Bising beberapa hari yang lalu. Tentang betapa kejamnya seorang ‘mami’ yang tinggal di perbatasan antara tengah dan belakang Kota Mara. Namanya Ketam, atau biasa dipanggil Mami Ketam.

Aku sering melihatnya. Bisik Talia dalam hati. Hmm.. ia adalah wanita berdada gempol yang tidak pernah lepas dari bumbu-bumbu yang menghiasi wajahnya. Apakah wajah seperti makanan, seperti daging anjing misalnya, yang jika diberikan bumbu, maka akan terasa lebih enak.

Bagi Talia, Mami Ketam bagaikan seekor anjing yang pantas diberi makian-makian berbahasa anjing. Ketam adalah iblis berbadan montok, yang menyiksa ‘anak-anak asuhnya’ sesuka hati. Bayangkan, menurut kabar yang bergulir beberapa hari lalu, para pelacur di sana, dipaksa harus melayani lebih dari tujuh pria dalam sehari. Ditambah setoran yang harus diberikan pada Ketam, yang jumlahnya tidak sedikit. Jika si pelacur mendapatkan upah lima puluh keping, maka mereka harus menyetor pada Ketam sebesar tiga puluh keping. Sisanya bisa mereka simpan untuk dikirim pada keluarga yang entah kapan bisa mereka sambangi.

Lebih parah lagi, Ketam memberikan perlakuan yang tidak sama pada anak-anak asuhnya. Untuk pelacur-pelacur berbadan bak biola tak berdawai, kulit seputih salju, hidung mancung walaupun mancungnya tidak melebihi hidung Pinokio, Ketam memberikan fasilitas khusus, seperti sebuah kamar dengan kasur empuk untuk melayani pelanggan. Dan tidak lupa, kamar mandi dalam. Sementara bagi pelacur yang tak berupa, tentunya kebalikan dari pelacur spesial tadi, Ketam hanya memberikan tempat di bawah solokan berbau pesing, yang hanya berbatas oleh kardus bekas.

Talia geram. Ia komat-kamit di dalam kaca. “Eh gila ya, sinting banget itu Mami. Talia, ayo dong.. Mampusin itu Mami. Kasihan dong pelacur-pelacur di sana. Apalagi yang harus ngelayanin om-om di bawah selokan. Mending kalau om-nya ganteng, ekeu juga mau. Gimana kalau yang datang itu supir truk yang membawa daging anjing untuk kota sebelah. Aaaaa ngga deh yeyyy.. Yang pasti ya, yey harus mampusin itu orang. Biar ngga ada lagi pelacur-pelacur yang kesiksa di sana. Biarin deh, mereka bisa usaha apa dari uang tabungannya. Atau kerja sama Nyonya Merau. Ah, dasar anjing bergincu merah kau Ketam!”

Jarum jam menunjukkan pukul setengah lima pagi. Waktu di mana para pelacur di perkampungan Mami Ketam sedang tertidur pulas bersimpuh di atas dada sang petualang terakhir di euphoria sejenak dalam malam itu. Begitu juga dengan Ketam. Ah ia juga sedang tertidur pulas dengan tangan seorang pria muda yang melingkar pada pinggangnya. Seolah menghabiskan sisa tenaga yang dikeluarkannya semalam tadi. Dan Talia berada di sana, di kompleks pelacuran kelas kakap Kota Mara. Kompleks yang terdiri dari pondok-pondok kecil dengan lampu yang berwarna-warni. Ada hijau, merah, biru, dan kuning. Tempat yang terlihat sepi tanpa kehidupan, namun di dalamnya tersimpan sejuta gejolak birahi yang saling sentil di sana dan di sini.
Talia mencari satu pondok paling istimewa. Pondok tempat Ketam dan pria mudanya beradu mimpi dalam liur yang keluar dari sela-sela kaki. Ha! Ia menemukannya. Sebuah pondok yang terletak agak menjorok ke dalam, terbuat dari rangkaian kayu jati yang dingin, dengan tirai merah yang lihai menyembunyikan pertarungan primitif antara dua binatang liar di dalamnya.

Talia pun bergegas mendekati pondok tersebut dengan perlahan. Berhati-hati jangan sampai ada yang melihatnya. Ah, lagipula siapa yang mau melihat. Di waktu yang begitu aneh ini, seluruh orang di sini sedang terlelap mendengkur di balik tubuh-tubuh yang telanjang. Ia sampai pas di depan pintu pondok kayu tersebut. Inilah waktunya. Bisik Talia dalam hati. Momen yang ia sebut sebagai momen “hap hap huray”. Hap! Ia menerkam mangsanya tanpa belas kasih. Lantas ia berteriak huraaaaaayyyyy.

Ya, momen yang sudah sering ia lalui. Seperti sebulan yang lalu, ketika ia memasukkan larutan hemlock ke dalam teh hangat yang ia berikan untuk Dom, si tukang roti. Yang tanpa menunggu waktu lama, meledakkan seluruh sel-sel yang berfungsi di dalam tubuh Dom. Sehingga ia lumpuh, lumpuh dari hidupnya. Ah suruh siapa! Dia sendiri yang mencari masalah, menyisipkan formalin ke dalam roti jualannya. Sudah banyak warga Kota Mara yang menjadi korbannya. Kalau dia terus dibiarkan hidup, harus berapa jiwa lagi yang melayang karena rotinya? Begitu teriak Talia dalam hati.

*****

Di dalam pondok kayu yang dingin dan remang-remang tersebut, Talia tersenyum beringas melihat dua monyet jantan dan betina yang sedang berlomba untuk mendengkur lebih keras. Di kedua tangannya sudah tersimpan dua bilah pisau tajam yang akan ia gunakan untuk menghabisi si anjing bergincu merah. Bodohnya, Ketam dan si pria pun malah tetap asyik dengan dengkurannya. Tanpa tunggu waktu lama, Talia langsung menerkam mangsanya. Ia tusukkan kedua pisau yang ada di kedua tangannya langsung ke tubuh bahenol Ketam dan perut pria di sebelahnya. HAP! HAP! HAP!

Berkali-kali ‘HAP’ ia keluarkan dari mulutnya. Yang berarti berkali-kali tusukan ia berikan kepada Ketam dan pria teman kencannya. Tak lupa, ia tusukkan pisau di leher keduanya, yang disusul dengan muncratan darah yang keluar dari kedua leher tersebut. Sambil terus berpesta tusuk menusuk, Talia berkata: “Mampus kau Ketam.. Ekeu sebel banget sama yeyyyy.. Auch, maaf pria ganteng, tapi sayang kamu malah bobo sama Ketam, jadi ketusuk juga deh..”

Semerbak wangi darah segar menghiasi pondokan tersebut. Setelah semalam pondokan tersebut penuh dengan wangi sperma yang bercak-bercaknya masih menempel di kasur berlapis kain sutera, sekarang wangi itu berubah menjadi wangi darah segar.

Setelah puas dengan pesta tusuk menusuk yang meriah, dan setelah yakin bahwa Ketam dan si pria sudah tidak bernyawa lagi, Talia bergegas meninggalkan pondokan. Dengan cekatan, ia lari menjauh dari area kompleks pelacuran yang mungkin sebentar lagi akan mati. Ataukah akan ada pemimpin baru yang lebih kejam? Entahlah.. Jikapun ada, maka bersiaplah dengan pesta meriah persembahan Talia. “HURAY”. Talia pergi menjauh.

*****

Keesokan harinya Mara gempar. Penemuan dua tubuh tanpa busana, yang satu dikenal sebagai Mami Ketam. Tidak ada yang heran kalau dia ditemukan mati tanpa busana. Tapi pria yang ditemukan mati bersamanya tanpa busana. Sera! Ya ampun benar saja geger satu kota karena penemuan itu. Ternyata benar apa yang digosipkan oleh ibu-ibu di Bising. Kalau Sera suka melancong. Ih rusak semua repitasi baik-baik Sera sebagai walikota.

Sementara itu, kabar mengenai kematian Ketam dan Sera tersebar cepat bagaikan semut menemukan gula. Talia juga sudah mendengarnya“Bok ya ampuuun gak nyangka deh kalau yang semalam eike bunuh tuh salah satunya si Sera. Mampus aja tuh orang, ketahuan deh sekarang belangnya, selamat tidur dalam kubur sayang! Hahahahah.” Talia yakin setidaknya dua keadaan sudah terkendali, tidak perlu ada gunjingan lagi soal Walikota yang hobinya selingkuh. Tidak ada lagi mami germo yang suka menyiksa anak buahnya.

Pemakaman Sera dilakukan secara sederhana, aib sudah tersebar, tidak ada warga yang sudi mendatangi penguburannya. Tapi Talia sengaja datang untuk melihat bagaimana reaksi janda Sera, Seti, di pemakaman. Ya amplopp, ternyata dia nangis kenceng banget! “Eh Seti, guwe kasih lu pelajaran nih, jangan terlalu cinta sama orang mau aja yey ditipu selama bertahun-tahun. Lekong yey tuh gak pantes hidup. Kebanyakan cita-cita tanpa ada perbaikan deh.” cerocos Talia sambil berbisik dari balik pohon.

Kalau saja hidup bisa diatur seperti apa yang diinginkan Talia, Mara pastinya sudah menjadi kota paling becus di dunia. Tapi Talia sungguh naif, dia bisa mengerjai Dom dan membunuh Ketam serta Sera karena merasa mereka memang pantas menerimanya. Tapi dalam hidup setiap manusia, bahkan yang paling keras sekalipun akan ada satu momen dimana kenyataan bisa jadi lebih menyebalkan dari hidup manusia itu sendiri.

*****

Suatu pagi yang cerah, suasanan hati Talia sedang bagus, tapi setiap hari juga begitu. Selalu heboh dan ceria siap membuka salon. Sebenarnya sih salon baru buka pukul 10, tapi okelah demi kepuasan pelanggan dan Nyonya Merau, Talia sengaja datang lebih pagi untuk membersihkan salon. Dia tahu Sali dan Emi habis berkencan dengan pelaut-pelaut dari Laut Seberang semalam, jadi mereka sudah pasti tidak akan datang tepat waktu untuk berbenah.

Jalanan masih sepi, berkas debu menari tertimpa sinar matahari. Dua belokan lagi sebelum sampai salon, tepat di lorong besar penuh dengan sampah dan jemuran, Talia melihat Merau tergesa keluar dari rumah peracik obat sambil membawa bungkusan hitam besar. “Eh mau kemana tuh si Nyonya? Pagi-pagi gini udah ada di jalan ajah.” pikir Talia heran dengan penuh selidik. Diputuskannya untuk mengikuti kemana Merau pergi, salon bisa menunggu.

Seperti detektif, Talia semakin mahir membuntuti orang, sukses dia mengikuti Merau yang ternyata kembali ke rumahnya. “Kok mencurigakan gitu sih. Gak kaya orang abis belanja dari pasar deh, lagian pasar kan bukan di situ tadi.”

Dengan cekatan Talia memanjat tembok pagar rumah dan mengintip ke dalamnya. Dia bisa melihat pemandangan dapur Merau dari situ. Eh apa itu? Tampak Merau sedang mengeluarkan paket-paket bungkusan yang lebih kecil, Talia memicingkan matanya. IDIIIH! Jadi ternyata ternyata…selama ini Nyonya yang jualan obat terlarang pada para penduduk kota! Talia pun tertegun, kepalanya pening, tubuhnya seolah membeku. Haruskah dia mengerjai Nyonya Merau yang selama ini telah begitu baik padanya? Nyonya yang telah memberi kesempatan pada Talia yang hampir dikalahkan oleh kodrat. Segera kau putuskan ya Talia…


(Asri Wuni & Yasmina Anindyajati | Dari Awiligar menuju Gegerkalong)