Sebuah Satir Untuk Indonesia dari Balik "Kacamata" Bung Karno

Jun 12, 2013

Sebuah Satir Untuk Indonesia dari Balik "Kacamata" Bung Karno



Detail Acara:

Pagelaran Kesenian Rakyat "Membaca Pikiran Bung Karno"
@ Gedung Indonesia Menggugat

Kamis, 13 Juni 2013 (09.00 - 15.30)
Festival Musik Anak Jalanan

Kamis, 13 Juni 2013 (19.30 - 23.00)
Musikalisasi Protes Orang Pinggiran
- Budi Djarot
- Rak Band
- Eros Djarot
- Seniman Bangun Pagi
- Pong Hardjatmo

Jum'at, 14 Juni 2013 (19.30 - 23.00)
Drama Satu Babak: "Setan Dalam Bahaya"
by Teater Populer
Diskusi Teater bersama Slamet Rahardjo & Teater Populer

FREE!


Sebuah Satir Untuk Indonesia dari Balik "Kacamata" Bung Karno


“Jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah!” Begitulah sang Proklamator Indonesia berucap. Sosok yang tidak pernah usang untuk diperbincangkan. Dialah Ir. Soekarno, manusia yang dilahirkan di bumi Nusantara dengan berbagai talenta pada tanggal 6 Juni, 112 tahun silam. Namun sayang, dewasa ini kian lama namanya hampir terlupakan. Bahkan, masyarakat Indonesia pun seolah lupa pada janji proklamasi.

Bulan Juni adalah bulan Bung Karno. Lahir di bulan Juni, dan meninggal di bulan Juni. Dalam rangka mengingat jasa-jasa yang pernah beliau berikan, RAK Band bekerjasama dengan Seniman Bangun Pagi dan Teater Populer bermaksud untuk menggelar sebuah pertunjukan yang bertajuk “Membaca Pikiran Bung Karno”.

Mengapa membaca? Bagi Bung Karno, manusia akan selalu dilihat dari pikiran-pikirannya. Sudah sepatutnya, kita sebagai masyarakat Indonesia untuk menghayati pemikiran-pemikirannya. Memberikan apresiasi terhadap semua pemikiran-pemikiran besar Bung Karno adalah kewajiban bagi semua anak bangsa. “Bukan hanya sekedar membaca, tapi juga mempelajari, menghayati dan mengamalkannya”, tutur Budi Djarot selaku penggagas acara yang juga founder dari RAK Band.

Lewat pagelaran dua hari inilah, kami bermaksud untuk mengenang segala jasanya dengan memberikan apresiasi terhadap pemikiran-pemikiran Bung Karno. Sesungguhnya, bentuk pemikiran tidak hanya disalurkan melalui politik praktis, tapi juga lewat bentuk-bentuk kesenian yang ada.

Pagelaran ini merupakan bentuk protes masyarakat terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai sudah tidak lagi berpihak pada rakyatnya. Di sini, kami memandang semua permasalahan yang ada dengan apa adanya. Seperti dengan adanya Festival Musik Anak Jalanan yang akan menyajikan nyanyian-nyanyian dari kawan-kawan penghuni jalanan yang akan dengan lantang menyuarakan kritik-kritik sosialnya dengan gaya yang apa adanya. “Dibalik kepolosan anak jalanan, mereka mempunyai semangat yang hebat dan kekuatan yang besar untuk sebuah perubahan”, ucap Ketua Seniman Bangun Pagi, Uwie Prabu.

Selain itu, pagelaran tersebut juga akan lebih bermakna dengan adanya Musikalisasi Protes Orang Pinggiran dan drama berjudul “Setan Dalam Bahaya” yang menggambarkan pesan-pesan bernada satir terhadap kondisi Indonesia saat ini.

“Pagelaran ini bukan sebuah pertunjukan, bukan untuk ditertawakan. Tapi sebuah ekspresi masyarakat sebagai ajakan untuk berpikir terhadap kondisi yang ada saat ini di Indonesia”, ujar Slamet Rahardjo, aktor senior yang saat ini membina Teater Populer.

Jadi, sudahkah anda tamat membaca pikiran Bung Karno?