Hilangnya "Rumah Senang", Datangnya Lingkaran Hitam

Nov 24, 2013

Hilangnya "Rumah Senang", Datangnya Lingkaran Hitam



Pernahkah terlihat kebahagiaan di "Rumah Senang"? Ya, kebahagiaan seperti menyaksikan orkes dangdut bernada minor. Geliat tawa dan canda, semua bersatu dalam sekumpulan jiwa yang meringis kesakitan. Ada transaksi di sana. Transaksi yang menyajikan sejuta layanan duniawi. Mereka dipandang bak sampah yang tertimbun berhari-hari, busuk.

Ada kaum yang menganggap bahwa mereka harus diselamatkan. Mereka berlomba-lomba mengajukan program. Program pelatihan keterampilan kerap menjadi sasaran. Ada juga kaum yang mengganggap bahwa mereka harus diberantas. Mereka dihina dan dimaki. Mereka dipandang dengan sepasang mata yang setengah buta. Mereka dilupakan dari eksistensinya sebagai sejatinya seorang manusia. 

Bisnis tubuh adalah bisnis yang cukup menjanjikan. Alasan klasik minimnya lapangan pekerjaan dan rendahnya tingkat pendidikan menjadi alibi kuat para pelaku bisnis tubuh. Cobalah tanya pada mereka, para PSK, maukah mereka menjual tubuhnya dengan cuma-cuma? Jawabannya akan sama seperti halnya kita bertanya pada para pengamen di persimpangan jalan, maukah mereka menjadi seorang pengamen? Jawabannya adalah tidak. Adakah jawaban lain yang lebih pantas dan masuk akal?

Menilik pada wacana ditutupnya Gang Dolly sebagai salah satu lokalisasi terbesar di kawasan Asia Tenggara, pro dan kontra akan selalu hadir. Alasan pemerintah Kota Surabaya untuk menutup lokalisasi Gang Dolly memang dapat ditangkap oleh nalar. Bahwa banyak efek yang akan muncul dari kian merebaknya lokalisasi tersebut. Mulai dari tersebarnya virus HIV/AIDS dan dampak lain yang didapat dari segala diorama praktek prostitusi.

Pasti masih segar dalam ingatan akan sebuah cerita mengenai seorang balita lanang yang merokok. Kenyataannya bocah lugu tersebut tinggal di kawasan Dolly. Hal tersebut jelas membuktikan bahwa begitu banyak akibat dari merebaknya praktek prostitusi di Gang Dolly dan di manapun. Alasan-alasan tersebut jugalah yang berhasil meyakinkan pemerintah untuk menertibkan kawasan lokalisasi Gang Dolly.

Di luar alasan-alasan yang masuk akal tersebut, tersembunyi sebuah kenyataan bahwa sesungguhnya mereka, para PSK, adalah rantai kehidupan. Dengan tubuh yang dimilikinya, bahkan mereka mampu memberikan kehidupan bagi segala unsur yang berada di lingkungan sekitarnya. Mulai dari pemilik warung rokok, tukang parkir hingga tukang ojek atau para pengangguran yang memilih untuk menjadi calo. Dan tak patut untuk dilupakan bahwa mereka memberikan sumbangsih yang sangat besar terhadap para germo. Lantas, salahkah jika ada yang berpendapat bahwa efek terbesar dari ditertibkannya sebuah praktek prostitusi adalah tumbulnya sebuah lingkaran hitam kehidupan?

Telah banyak upaya-upaya yang dilakukan pemerintah daerah untuk menertibkan praktek prostitusi, seperti halnya penertiban Kramat Tunggak di Jakarta dan Saritem di Bandung. Di Bandung sendiri, kenyataan yang ditemukan setelah ditutupnya lokalisasi Saritem adalah lahirnya prostitusi-prostitusi liar. Saritem memang telah mati, namun para pelakunya terus berupaya untuk berjuang hidup demi sesuap nasi. Karena toh nyatanya untuk menjadi seorang pekerja apalagi dengan latar belakang pendidikan yang tidak mumpuni tetaplah menjadi suatu hal yang sulit didapat. Lalu, siapa yang patut disalahkan?

Dari segi kemanusiaan, mungkin bisa dilihat bahwa praktek prostitusi adalah hal yang sangat tidak manusiawi. Apalagi mengingat pola hubungan eksploitatif yang terjalin antara para PSK dan sang germo. Bagaimana bisa seseorang dengan bangganya mendapati kehidupan mewah dari tubuh para perempuan yang dipaksa menjadi robot untuk melayani para pria yang haus birahi? Dari segi moral, sebutlah bahwa mereka adalah kaum yang mengkhianati moral. Mereka melucuti "tubuh moral" hingga tak bersisa. Tapi apa lacur, semua itu mereka lakukan atas dasar kebutuhan. Sebuah dilema yang pada akhirnya menimbulkan pendapat bahwa menjadi seorang pelacur adalah sebuah solusi atas keterhimpitan ekonomi. Terjun pada lubang hitam pun pada akhirnya.

Dari realita yang bisa diambil saat ini, akuilah bahwa mereka, para PSK, akan tetap eksis bagaimanapun caranya pemerintah melakukan upaya untuk memberantasnya. Lagipula kata "memberantas" tampaknya kurang cocok untuk penanganan sebuah praktek prostitusi. Semua unsur yang ada di dalamnya melakukan kesalahan, pun kebenaran atas dasar alasan realita. Apapun upaya pemerintah, tentunya masyarakat berharap akan sebuah penanganan yang seadil-adilnya. 

Tidak cukup jika dengan hanya pelatihan keterampilan. Lagipula mereka, para perempuan yang menjadi PSK, berhak atas tubuh mereka sendiri. Dan perlu diingat bahwa bisnis tubuh adalah sebuah jaringan. Bukan hanya para PSK yang harus ditangani, tapi jangan pernah lupa pada "jaringan" yang melingkupinya. Selain itu, rasanya sebuah pendekatan personal dan penyadaran pun dirasa lebih baik dalam menangani praktek prostitusi. Maka dekatilah, telusurilah kehidupan mereka. Capailah suatu masa ketika mereka, para PSK, memilih untuk berhenti atas keinginannya sendiri, bukan atas sebuah paksaan yang lengkap dengan iming-iming lainnya.