Petuah Kecil Dari Sang Preman Kecil
Tanah masih
basah oleh air Tuhan yang baru saja turun dari langit. Nyatanya aroma lengket
Jakarta membawaku ke sini. Dalam sebuah tenda putih ditemani oleh tiga pria
kesepian. Ada aroma segelas kopi yang kami minum bersama-sama, ada aroma asap
yang membumbung dari sebatang kala, ada juga aroma tanah basah yang berhasil
membuat hidung kami mengendus-ngendus jenaka. Ternyata hidup itu indah. Seindah
semangat yang berpacu.
Di tengah
obrolan di depan segelas kopi, tiba-tiba muncul seorang anak laki-laki yang
telah lama kami kenal. Nyengir, ekspresi pertama yang dikeluarkannya. Namanya
Adit. Aku mengenalnya sejak tiga tahun yang lalu. Dulu aku masih mengenalnya
sebagai bocah berusia 14 tahun. Tapi kini ia telah berhasil memiliki satu
lembar KTP.
Dengan sebatang
rokok di sela-sela jarinya, ia memamerkan gelang berbahan dasar wagu yang
dikeringkan yang mengait di tangan kanannya. Di situlah petuah singkat
dimulai..
“Yeuh.. Adit nyieunan gelang ti wagu. Nyieun
gelang ti wagu mah leuwih gampang daripada nyieun gelang tina awi..” Begitulah Adit membuka petuahnya.
Selanjutnya, ia mengajarkan kami bagaimana cara membuatnya. Ajaib memang,
ketika sebatang wagu bisa melengkung sesempurna itu.
Tak disadari,
satu gelas kopi telah habis. Tanpa menunggu hujan turun lagi, salah satu dari
kami pun pergi untuk menyeduh kopi kedua. Apa daya, gelas pun hanya satu. Maka
jadilah gelas tersebut sebagai gelas kebersamaan. Mungkin segala jenis air liur
bercampur di sana. Seperti campuran diksi yang keluar dari mulut sang preman
kecil. Katanya, suatu karya seni tidak bisa dinilai dengan uang. “Karya seni mah enggak bisa dinilai sama
uang, tapi dinilainya sama rasa”, celotehnya sembari melakukan transaksi
barter gelang wagunya dengan cincin tulang yang diukir milik salah seorang dari
kami. “Tah..jiga kieu. Adit mah teu
ngajual gelang, tapi barter aja sama karya lain,” tambahnya semakin percaya
diri.
“Seni tidak bisa
dinilai dengan uang”. Sebuah teori yang keluar dari mulut sang preman kecil.
Aku teringat obrolan bersama seorang
kawan yang dengan kerasnya menganggap bahwa seni adalah produksi yang memiliki
nilai mata uang. Bisakah ia melawan sang preman kecil? Mungkin ia bisa
berargumen bahwa teori yang keluar dari mulut sang preman kecil itu adalah
semata-mata semangat yang membara. Tapi sekali lagi, semangat itu indah, kawan!
Sembari menunggu
kopi kedua habis, kami terus biarkan si preman kecil itu berceloteh. Hingga
muncul celoteh yang berisi: “Sebenarnya
mah apa aja pasti bisa, asal ada niat kuat mah.”Seperti niat untuk
menghargai alam, salah satunya.
Tak ada salahnya
jika kita memburu batang pohon. Asalkan, menurut si preman kecil, sebelumnya
kita pun harus mampu menghargai batang pohon yang akan kita tebang. “Batang pohon juga makhluk hidup euy,
bernyawa eta teh..”. Lantas kami pun kompak memberikan tepuk tangan untuk
si preman kecil. Atau mungkin itu pertanda rasa malu karena kalah oleh anak 17
tahun?
Karena malu, aku
pun menawarinya sebatang rokok dengan alibi agar terasa lebih santai. Tapi
nyatanya darah yang mengalir di dalam tubuhnya terus mendidih. Seperti seorang
kakek tua yang selalu punya kisah tentang hidupnya. Mulutnya terus berkicau
tanpa tahu di mana ia harus berhenti. Kami pun kompak memujinya. Ia makin
bangga. “Aslina Teh, Adit mah di rumah
sampai disangka gelo ku tatangga..”, kembali ia melanjutkan ceritanya.
Ternyata banyak orang yang menyangkanya tidak waras karena banyak berpikir
terlalu dalam. “Tapi da kumaha? Da Adit
mah hayang terus mikiran naon deui nu bisa dijadikeun karya ti alam.”
Hei, preman
kecil, sesungguhnya aku malu pada diriku melihat dirimu sekarang. Aku ingat,
tiga tahun yang lalu bahkan membaca pun kamu tidak bisa. Kegiatanmu hanya
mengamen di persimpangan jalan. Aku ingat melihatmu belajar membaca dengan
sembunyi-sembunyi meminjam buku-buku yang kusediakan. Tapi bahkan sekarang kamu
mampu menciptakan sebuah puisi yang kamu tulis sebagai status facebook-mu. Terlebih, kamu pun mampu
berorasi di tengah-tengah kami muda-mudi gila yang hanya bisa menghabiskan
bergelas-gelas kopi dan berbatang-batang rokok.
“Ah da Adit mah belajarna ge tina internet.
Jang naon atuh aya internet mun teu diajar mah? Sambil ngetik status, sambil
belajar..”
Seperti ada
tangan-tangan halus yang menampar pipi kami. Siapalah kami? Hanya dua orang
pria yang lihai menggesek senar hingga membentuk suatu harmoni, seorang pria
pencipta rupa-rupa imajiner dalam lapisan kulit, dan seorang perempuan si juru
tulis curahan hati. Bahkan, kami pun tak layak jika dibandingkan dengan
semangat si preman kecil.