Petuah Kecil Dari Sang Preman Kecil

Dec 5, 2013

Petuah Kecil Dari Sang Preman Kecil




Tanah masih basah oleh air Tuhan yang baru saja turun dari langit. Nyatanya aroma lengket Jakarta membawaku ke sini. Dalam sebuah tenda putih ditemani oleh tiga pria kesepian. Ada aroma segelas kopi yang kami minum bersama-sama, ada aroma asap yang membumbung dari sebatang kala, ada juga aroma tanah basah yang berhasil membuat hidung kami mengendus-ngendus jenaka. Ternyata hidup itu indah. Seindah semangat yang berpacu.

Di tengah obrolan di depan segelas kopi, tiba-tiba muncul seorang anak laki-laki yang telah lama kami kenal. Nyengir, ekspresi pertama yang dikeluarkannya. Namanya Adit. Aku mengenalnya sejak tiga tahun yang lalu. Dulu aku masih mengenalnya sebagai bocah berusia 14 tahun. Tapi kini ia telah berhasil memiliki satu lembar KTP. 

Dengan sebatang rokok di sela-sela jarinya, ia memamerkan gelang berbahan dasar wagu yang dikeringkan yang mengait di tangan kanannya. Di situlah petuah singkat dimulai..

Yeuh.. Adit nyieunan gelang ti wagu. Nyieun gelang ti wagu mah leuwih gampang daripada nyieun gelang tina awi..” Begitulah Adit membuka petuahnya. Selanjutnya, ia mengajarkan kami bagaimana cara membuatnya. Ajaib memang, ketika sebatang wagu bisa melengkung sesempurna itu.

Tak disadari, satu gelas kopi telah habis. Tanpa menunggu hujan turun lagi, salah satu dari kami pun pergi untuk menyeduh kopi kedua. Apa daya, gelas pun hanya satu. Maka jadilah gelas tersebut sebagai gelas kebersamaan. Mungkin segala jenis air liur bercampur di sana. Seperti campuran diksi yang keluar dari mulut sang preman kecil. Katanya, suatu karya seni tidak bisa dinilai dengan uang. “Karya seni mah enggak bisa dinilai sama uang, tapi dinilainya sama rasa”, celotehnya sembari melakukan transaksi barter gelang wagunya dengan cincin tulang yang diukir milik salah seorang dari kami. “Tah..jiga kieu. Adit mah teu ngajual gelang, tapi barter aja sama karya lain,” tambahnya semakin percaya diri.

“Seni tidak bisa dinilai dengan uang”. Sebuah teori yang keluar dari mulut sang preman kecil. Aku teringat obrolan  bersama seorang kawan yang dengan kerasnya menganggap bahwa seni adalah produksi yang memiliki nilai mata uang. Bisakah ia melawan sang preman kecil? Mungkin ia bisa berargumen bahwa teori yang keluar dari mulut sang preman kecil itu adalah semata-mata semangat yang membara. Tapi sekali lagi, semangat itu indah, kawan!

Sembari menunggu kopi kedua habis, kami terus biarkan si preman kecil itu berceloteh. Hingga muncul celoteh yang berisi: “Sebenarnya mah apa aja pasti bisa, asal ada niat kuat mah.”Seperti niat untuk menghargai alam, salah satunya.

Tak ada salahnya jika kita memburu batang pohon. Asalkan, menurut si preman kecil, sebelumnya kita pun harus mampu menghargai batang pohon yang akan kita tebang. “Batang pohon juga makhluk hidup euy, bernyawa eta teh..”. Lantas kami pun kompak memberikan tepuk tangan untuk si preman kecil. Atau mungkin itu pertanda rasa malu karena kalah oleh anak 17 tahun?

Karena malu, aku pun menawarinya sebatang rokok dengan alibi agar terasa lebih santai. Tapi nyatanya darah yang mengalir di dalam tubuhnya terus mendidih. Seperti seorang kakek tua yang selalu punya kisah tentang hidupnya. Mulutnya terus berkicau tanpa tahu di mana ia harus berhenti. Kami pun kompak memujinya. Ia makin bangga. “Aslina Teh, Adit mah di rumah sampai disangka gelo ku tatangga..”, kembali ia melanjutkan ceritanya. Ternyata banyak orang yang menyangkanya tidak waras karena banyak berpikir terlalu dalam. “Tapi da kumaha? Da Adit mah hayang terus mikiran naon deui nu bisa dijadikeun karya ti alam.”  

Hei, preman kecil, sesungguhnya aku malu pada diriku melihat dirimu sekarang. Aku ingat, tiga tahun yang lalu bahkan membaca pun kamu tidak bisa. Kegiatanmu hanya mengamen di persimpangan jalan. Aku ingat melihatmu belajar membaca dengan sembunyi-sembunyi meminjam buku-buku yang kusediakan. Tapi bahkan sekarang kamu mampu menciptakan sebuah puisi yang kamu tulis sebagai status facebook-mu. Terlebih, kamu pun mampu berorasi di tengah-tengah kami muda-mudi gila yang hanya bisa menghabiskan bergelas-gelas kopi dan berbatang-batang rokok.

Ah da Adit mah belajarna ge tina internet. Jang naon atuh aya internet mun teu diajar mah? Sambil ngetik status, sambil belajar..”

Seperti ada tangan-tangan halus yang menampar pipi kami. Siapalah kami? Hanya dua orang pria yang lihai menggesek senar hingga membentuk suatu harmoni, seorang pria pencipta rupa-rupa imajiner dalam lapisan kulit, dan seorang perempuan si juru tulis curahan hati. Bahkan, kami pun tak layak jika dibandingkan dengan semangat si preman kecil.