Kumpulan Diksi dari Si "Gila"
Photo by Dharma Wijayanto
Yayasan Jamrud Biru
Jalan Benda No. 105, Kelurahan Pedurenan, Kecamatan Mustikajaya, Kota Bekasi
Ssstt.. Jangan
berisik. Ada
yang datang mendekatiku. Warna merah semu hitam. Ia perlahan menjadi hitam yang
ingin menggerayangi tubuhku dengan taring-taringnya yang ranum. Ini menakutkan,
membuatku menggigil, ingin marah! Tapi mengapa mereka, orang-orang yang katanya
‘normal’, memandangku seolah jijik? Bak serangan optik yang menembak perasaanku.
Matanya seolah bertanduk dan mengisyaratkan cibiran.
Ah, apa lacur. Itulah
kami, aku dan kawan-kawanku. Kami, yang belum bisa diterima dengan apa adanya
di dunia nyata. Pun tidak sedikit yang membuang kami layaknya sampah yang wajib
‘dibersihkan’. Sebutan ‘gila’ atau yang dalam bahasa ilmiahnya sebagai skizofrenia melekat jelas pada kami dan
menjadi momok yang menakutkan bagi siapapun. Bahkan termasuk bagi keluarga kami
yang seolah tidak peduli dan lebih memilih untuk menitipkan kami di tempat
seperti ini.
Ya, tempat ini.
Tempat di mana kami berkumpul dan beristirahat sembari menunggu mukjizat
kesembuhan ataupun sekedar menunggu kematian. Dalam ruang berukuran kurang dari
10 x 15 meter inilah kami beserta 40 orang lain saling menatap penuh curiga.
Tak jarang muncul kebencian di antara kami. Menjauh dari dunia luar, menjauh,
dan terus menjauh hingga kami tak tahu lagi apa artinya kehidupan. Kehidupan
yang katanya penuh warna. Jikapun di sini ada tawa, rasanya gelak tawa ini
hanya bagaikan permainan orkes dangdut dengan nada-nada minor.
Seorang pria
bernama Hartono bak seorang pahlawan bagi kami. Setidaknya, begitu yang aku
rasakan. Yayasan Jamrud Biru yang bertempat di Jalan Benda No.105, Kelurahan
Pedurenan, Kecamatan Mustikajaya, Kota Bekasi inilah yang memberi kami tempat
tidur, makanan, dan fasilitas-fasilitas selayaknya manusia normal. Dengan
begitu, kami tidak perlu berkeliaran di jalan yang penuh debu. Belum lagi
sorotan mata menghina dari manusia-manusia pongah di luar sana .
Halusinasi
adalah satu-satunya warna yang mengisi hari-hari kami. Panca indera kami
menangkap semua yang ada. Yang belum tentu nyata, namun bagi kami itu nyata.
Kami yakin, manusia lain belum tentu merasakan apa yang kami rasakan. Mereka
bilang kami gila! Tapi tidakkah mereka tahu bahwa kami pun cukup tersiksa
dengan ‘kegilaan’ ini? Kegilaan yang kami rasakan seperti cambuk yang terus
menerus memecut tubuh kami hingga lunglai.
Mungkin memang
hanya seorang Hartono yang mengerti. Ia mengontrak sebidang tanah yang luasnya
tidak lebih dari 500 meter persegi dengan harga 25 juta rupiah per tahunnya
termasuk biaya makan dan lain-lainnya. Ya! Artinya ia harus rela berbagi dengan
kami dan menghadapi titik terekstrim kami yang mungkin saja bisa buat kacau
balau. Tapi kami tidak tahu persis, apakah kami membebankan Hartono yang harus
membiayai kehidupan kami sehari-harinya.
Zona hitam putih
adalah bagian yang mengkungkung diri kami. Kau tahu? Sesungguhnya kami ingin
keluar dari zona absurd ini. Tapi apa daya, nyatanya Negara kami yang tercinta
ini masuk ke dalam 25 persen Negara di
dunia yang tidak memiliki undang-undang mengenai kesehatan jiwa. Padahal, 2,6
juta penduduk Indonesia
dinyatakan mengidap kelainan jiwa.
Lihatlah, bahkan
Negara yang kami cintai pun seolah
menutup mata dan telinga, juga mendadak dungu terhadap eksistensi kami. Lantas,
ketika kami tetap eksis di tengah-tengah masyarakat, kami dicibir dan tidak
sedikit dari kami yang dibuang. Seolah hanya kami lah biang kerok kondisi
kegilaan zaman ini. Hih, apatis yang menikmati secangkir kopi hangat di teras rumahnya
sembari membaca koar-koar tentang kemanusiaan di surat kabar, tanpa pun menjadikan dirinya
seorang manusia yang memanusiakan manusia.
Kami sadar, mengharapkan
sebuah Negara tanpa adanya manusia-manusia “gila” seperti kami hanyalah sebuah
utopis belaka. Namun, kami hanya mengharap pengakuan atas eksistensi kami di
sini atau di tempat-tempat lainnya.
Oh wahai..
Sesungguhnya kami tidak ingin lahir dengan kondisi seperti ini. Adakah alasan yang
tepat untuk meminta dilahirkan dalam kondisi seperti ini? Tidak ada. Kami hanya
menginginkan belaian manis di pundak kami. Kasih sayang dan kesabaran. Baik itu
dari keluarga, maupun lingkungan terluar kami.
Ya, itu harap
kami. Menjadi bagian dari kehidupan selayaknya seorang manusia sosial. Keluar
dari dunia yang sebatas hitam dan putih, dengan sebuah rangkulan hangat yang
mampu membantu kami berdiri. Membangunkan kami dari tidur panjang dan mimpi buruk.
Mungkin ini
hanya sekumpulan diksi klasik, tapi ini bukan fiksi. Karena aku dan
kawan-kawanku ada di sekeliling kalian, menunggu secercah senyuman dan
dukungan.
#nowplaying: God Is An Astronaut - Fragile
#nowplaying: God Is An Astronaut - Fragile