Ada Jakarta Merah Muda dari Metromini

Mar 6, 2015

Ada Jakarta Merah Muda dari Metromini


Foto oleh : Hidayat Adhiningrat


Matahari mungkin sedang marah. Tak karu-karuan ia pancarkan sinar yang menyengat. Belum lagi keringat yang mengucur lantaran suhu udara berada di atas 33 derajat. Lama-lama lelah juga berkali-kali harus bulak balik mengelap leher yang basah. Ditambah macet dan jalanan yang tertutup – yang membuat kami pun harus melalui jalan yang lebih jauh. Aku, perempuan di sebelahku, lelaki di depanku, dan perempuan juga laki-laki yang duduk tidak manis di bus itu mungkin mendumel dalam hati. “Ah, Jakarta”.

Mataku tak pernah berhenti melirik ke kanan. Apa daya, kursiku memang berada di paling kanan. Tidak ada apa-apa yang aneh. Hanya ada gedung-gedung tinggi. Tapi bagaimanapun aku orang Bandung, yang bilamana sudah hijrah menjadi penghuni salah satu kamar kostan di Jakarta, tetap merasa bahwa gedung-gedung tinggi itu tak ubahnya sebuah pemandangan alam pegunungan yang tetap menarik untuk dilihat. Dengan kata lain, orang Bandung akan tetap menjadi orang Bandung, udik dengan gedung-gedung tinggi.

Memasuki kawasan Jalan MH Thamrin, konon sebuah kawasan dimana banyak terdapat pantulan-pantulan sinar dari kaca-kaca yang tidak lain tidak bukan ada dari gedung-gedung tinggi, seperti merasa ada sebuah suara ledakan “Buuumm..”. Hiperbolanya, terkadang aku merasa seperti berada di rumah kaca. Bisa jadi aku menubruk sana dan menubruk sini. Tubruk sana, tubruk sini. Mati pun akhirnya karena kelelahan menubruk. Ditambah dengan suara klakson tan..tin..tan..tin.. Mungkin akan menarik jika suara klakson itu dijadikan sebuah harmoni lelaguan bising.

Tapi eh..bukan lelaguan bising yang nyatanya kudapat. Menjelang akhir perjalananku siang itu, muncul dua orang pengamen lelaki. Keduanya tak ayal kulihat seperti jelmaan Cedric Bixler-Zavala dan Omar Rodriguez-Lopez dari The Mars Volta. Lelaki pertama, berambut semi kribo, berkaos hitam lengkap dengan tattoo di lengan masuk pertama menuju tengah bus. Diikuti oleh temannya yang kribo tulen, layaknya Omar Rodrigues-Lopez sedang mengikuti pertukaran pelajar sebagai mahasiswa Institut Kesenian Jakarta dengan tote bag berwarna merah berisi ukulele.

Awalnya, kupikir aku akan dibawa berhalusinasi dengan karya-karya The Mars Volta dengan bebunyian aneh berkolaborasi dengan suara klakson dan hiruk pikuk jalanan. Nyatanya tidak, mulut duo berambut kribo tapi bukan Duo Kribo itu malah melantunkan “Siapa Suruh Datang Jakarta” milik Koes Plus. Siapa suruh datang Jakarta.. Siapa suruh datang Jakarta.. Siapa suruh datang Jakarta.. Edoe.. Sayang.. Potongan lirik lagu itu terdengar menyapa dari mulut keduanya, terbagi menjadi dua suara yang riuh tapi memberiku colekan mesra (yang juga menggerakkan aku untuk sementara mematikan pemutar musik di gadget-ku).

Malu-malu aku putar kepalaku ke kiri. Ingin membuka mulut (menganga), tapi malu. Kuputar lagi kepalaku menghadap ke depan, tepat ke arah kepala sang supir. Sedikit-sedikit bibirku melebar, menyunggingkan senyum miris. Duh, rasanya ingin juga menertawakan diri sendiri. Aku tidak merasa tertampar. Tapi seperti ada yang mencolek lenganku dan berkata, “Eh, gimana di Jakarta? Enak?” sembari tersenyum tengil dengan alis yang naik turun.

Jakarta, yang menurut data saja dikatakan jumlah penduduknya mencapai di atas angka sepuluh juta. Belum lagi penduduk-penduduk ‘ilegal’ seperti aku yang datang ke Jakarta untuk mencari uang jajan dan ehm.. mungkin ada juga yang sekalian mencari jodoh. Maaf, izinkan lagi aku untuk berhiperbola, bukan main memang kota metropolitan ini.

Apa lacur, berpindah pulalah orang-orang dari daerah nun jauh dimana itu ke Jakarta. Alasannya, Jakarta itu katanya gudang duit. Zaman kiwari seperti ini, siapa yang tidak tergoda pada penghasilan tinggi? Kemacetan, banjir, udara panas menyengat, gedung-gedung tinggi yang sedikitnya membuat sakit mata, ditabrak pun pada akhirnya. Semoga tidak mati akhirnya. Rutinitas yang itu-itu saja. Waktu seperti pita kaset yang yang diputar cepat. Mungkin jika waktu di Jakarta ini layaknya pita kaset, Tuhan menekan tombol fast forward setiap harinya.

Belum lagi isu-isu politik skala nasional yang terus bergulir dengan cepat dan kadang – maaf – aku pertanyakan juga. Dimana banyak kutemukan di sudut-sudut kota, mereka-mereka yang menjelma pengamat politik, berlagak idealis, menjunjung tinggi keadilan, menghina penguasaan modal oleh pihak-pihak tertentu, tapi sayang oh sayang, gayanya tetap parlente. Aku pun yakin, mereka tidak sepenuhnya penduduk asli Jakarta. Dan aku, hanya menjadi seorang pengidap “apatis ria” ala Sore.

Modal untuk gaya hidup yang mau tak mau harus dilakukan. Bagiku, minimalnya mengeluarkan kocek untuk karaoke dan ngopi-ngopi cantik di hari-hari pertama gajian.  Atau membeli kutek berwarna merah muda yang manis jelita demi penampilan yang kutuntut harus semakin ciamik. Modal-modal yang pun pada akhirnya membuat akhir bulan mendadak ingin diet dengan alasan kesehatan.

Toh, nyatanya akan selalu ada pola gaya hidup baru ketika kita menginjakkan kaki di Jakarta. Karena aku tak mau disebut hipokrit, aku pun mengaku demikian. Bahwa bagaimanapun kuatnya identitas Bandung menempel dalam diriku (karena dari pertama kali aku membuka mata melihat dunia hingga usia dua puluh enam kemarin aku tercatat sebagai penduduk Kota Bandung dan sampai sekarang), tanpa sadar kepalaku pun menerima identitas baru yang tanpa sengaja kujalani juga.  

Aku, dan mungkin juga para perantau lain, sedikitnya mendumel akan identitas baru yang ‘terpaksa’ masuk ini. Minimal, mendumel di akhir bulan berkoar-koar penyesalan mengapa sebelumnya aku harus keluarkan uang untuk ini dan itu. Mungkin ada juga yang sampai menghardik.

Tapi bukan maksudku membenci dan menyalahkan Jakarta. Toh sudah satu tahun lebih aku di Jakarta, muncul juga perasaan senang dan tak sabar ketika hendak kembali ke Jakarta dari agenda pulang kampung. Ada senyum menyungging ketika aku sampai di Stasiun Gambir ataupun shelter Baraya Travel. Ada pula rasa rindu pada lengketnya Jakarta.

Jakarta memang menyebalkan. Metropol(hectic). Tapi setidaknya ia memberikan aku, juga mungkin kita – para perantau – pelajaran baru: menikmati ledakan bom. Ledakan yang kacau menjalar ke berbagai arah hingga terbentuklah suatu kerusakan. Kerusakan berwarna merah muda, cantik. Kerusakan yang nyatanya tetap menimbulkan rindu dan senyum kecil yang menyungging mesra.

I could never hate you.. I could never hate you..
Let’s kiss and make up.. Let’s kiss and make up.. Let’s you and I.. Kiss and make up..
(Saint Etienne – Kiss and Make Up)

Iya, dulu aku pernah mencaci Jakarta dan para perantau yang ada di dalamnya. Tapi aku tak pernah bisa membencinya. Malah, aku ingin menciummu, Jakarta.

Begitulah Metromini 640 yang kutumpangi siang tadi. Bus berukuran sedang agak kecil, ah entahlah, berwarna merah biru. Hobinya menginjak pedal rem secara mendadak, banting kanan dan kiri. Jalannya ugal-ugalan, sempoyongan setelah sebelumnya mabuk parah lantaran malam tadi meneguk setengah botol Black Label. Mengeluarkan kentut berbau keras, lengkap dengan semburannya yang kehitaman. Memberikan udara pengap dan keringat yang berlomba-lomba membanjiri badan. Si bengal yang selalu memberikan cerita-cerita lucu dalam setiap perjalanannya. Menjadi alat pelengkap bagiku untuk “menikmati ledakan bom”.


Maka, sebelum metromini itu berhenti di pemberhentianku, si jelmaan Cedric berkata padaku: “Turunnya pake kaki kiri ya Kak.” Baiklah siluman Cedric, aku akan turun dengan kaki kiri. Tapi aku tidak akan mengikutimu menyebrang sembarangan. Aku akan gunakan jembatan penyebrangan untuk menyebrang. Aku takut tertabrak. 



Rawajati, 6 Maret 2015 | Dini hari