Siang Santai dan Kartinah Gadis Kontemporer

Jan 19, 2015

Siang Santai dan Kartinah Gadis Kontemporer



Perkenalkan! Namanya Kartinah. Seorang gadis kontemporer yang muncul tak terduga di siang yang membosankan. Kami tak tahu mengapa ia bisa tiba-tiba muncul. Mungkin ia bentuk kejenuhan laknat di hari Sabtu. Perlahan dari kantung mata yang masih mengantuk karena terpaksa bangun pagi buta. Dari kelelahan setelah mengikuti tugas kantor untuk mengikuti tes yang entah berapa nilainya. Dari benang-benang rajut yang baru saja dibeli tapi belum berfungsi sepenuhnya. Dari keinginan untuk menggerakkan tubuh yang kaku. Jadi, begini ceritanya.......









Adalah Kartinah. Seorang gadis yang kusut. Wajahnya tak pernah sumringah. Kusut selalu yang diperlihatkannya. Seperti gulungan benang yang habis dipakai. Entah apa yang membuat wajahnya begitu kusut. Ah ternyata ia merasa dirinya adalah manusia paling merana di dunia. "Bukankah semakin kamu merana maka penghargaanmu semakin tinggi. Maka kamu pun akan mendapat perhatian orang lain. Begitu bukan?" Kartinah berbisik pada dirinya sendiri dalam hati. 

Setiap hari ia bingung. Setiap hari ia bimbang. Setiap hari ia gundah. Pun setiap hari ia galau. Keluhan-keluhan ala iklan pemutih kulit pun tampil setiap hari di akun Twitter-nya. Ia juga selalu berpikir bahwa Tuhan akan membacanya. Maka tak jarang pula ia memanggil Tuhan lewat Twitter. 

Ia merasa dirinya tidak cantik. Melihat gambar Pevita Pearce di siaran gosip televisi, maka ia akan membayangkan bahwa dirinya secantik artis muda berlian itu. Mungkin karena itu juga, kekasihnya belakangan diketahui berselingkuh dengan seorang gadis muda yang mirip Nikita Willy. Ia selalu mengeluh, bertanya mengapa, mengapa, dan mengapa. 

Ia lupa arah. Atau mungkin tak tahu arah.


Semakin hari, semakin ia merasa bahwa ia adalah manusia terburuk yang pernah ada. Buruk rupa, kusut, bodoh, tak tahu apa-apa. "Ah, da apa atuh aku mah ngan kaleng kurupuk," katanya. Tapi, di suatu siang yang membosankan, muncul sesosok makhluk yang tak diketahui identitasnya. Dengan seuntai tali, ia menawarkan sebuah topeng cantik berwarna merah mengkilap. Begitu cantik! Begitu glamor! Kartinah pikir jika ia memakainya maka ia akan berubah. Tapi teman-temannya selalu memberinya semangat untuk tetap menjadi diri sendiri. Maka ia bimbang. Ia bingung untuk mengambilnya atau tidak. "Ambil.. Enggak.. Ambil.. Enggak.." ucapnya dalam hati sambil menghitung jari.




Akhirnya ia kalah. Konflik batin dalam dirinya tentang topeng sempat memanas lantas mereda pada pilihan : "Aku akan pakai topeng itu". Maka ia ambil topengnya. Ah, halus sekali permukaan topengnya. Ia memutar-mutar topengnya. Ia pikir, topeng itu bagus juga. Cukup lama ia memandangi topengnya. Bahagia rasanya. Bahagia yang tidak ada sedikit senyum pun yang tersungging. 

Setelah puas menikmati penemuannya, ia pun perlahan memakainya. Bak ratu pesta yang memakai topeng berharap bertemu seorang pangeran tampan yang kelak akan jadi pasangannya berdansa. 




Dan, Ha! Akhirnya terpasang pun topeng itu di wajahnya. Biarpun tetap menyedihkan, setidaknya kini ada wajah baru yang menempel di kepalanya. Wajah sang topeng baru. Lihat, ia bisa berpose sesukanya. Ia berpose seperti hendak berlari. Semoga topeng itu tidak membuatnya lari dari kenyataan. Ia juga bisa bergaya layaknya seorang model profesional dengan jari jemarinya yang lentik. Begitulah, topeng membuat hidupnya lebih indah. Ia baha666ia! Tidak seperti Kartinah yang sedianya, gadis murung. 



Tapi.. Lama-lama ia lelah juga. Ternyata hidup memakai topeng demi memenuhi persyaratan zaman dirasanya cukup melelahkan. Kepalanya harus terus berkerut karena tertutupi topeng. Lihat, matanya pun menyipit. Mungkin ia kelelahan. Entah berapa pria yang ia beri kedipan mata. Kedipan mata di balik topengnya. Ia kembali galau. Ia kembali gundah. Ia kembali bimbang. Ia kembali bingung. "Haruskah aku terus menggunakan topeng?" tanyanya.

Ia berpikir, dan......


Ia pun melepas topengnya.....


"Maaf topeng.. Aku harus membuangmu. Aku tidak bisa lagi hidup bersamamu," kata Kartinah.


Kartinah pun bebenah. Ia bertekad untuk membenahi hidupnya. Ia telah melepas topengnya. Lalu sekarang ia tak mau lagi menjadi Kartinah yang kusut kemusut. Setelah mendengar ceramah Mario Teguh di salah satu stasiun televisi swasta, ia bertekad untuk menjadi lebih baik. Mario Teguh bilang, cobalah hal yang baru dan keluarlah dari zona nyamanmu. Baiklah, selama ini Kartinah hanya berada di situ-situ saja. Mungkin memang saatnya ia mencoba hal yang baru. Iya, hal baru itu adalah menjadi seorang wirausahawan. 


Atas motivasi Mario Teguh dan atas inspirasi dari benang-benang yang melilit acak di kepalanya,akhirnya Kartinah memutuskan untuk menjadi seorang wirausahawan pernak-pernik wanita. Setelah ia susah payah hidup dengan topengnya untuk menjadi wanita tulen dambaan pria. Kini, ia menghasilkan kalung model terbaru yang berseliweran di pasaran. Siapa sangka, mahakaryanya yang ciamik itu jadi idola semua wanita yang ingin berpenampilan eksentrik. Kini juga, giliran Kartinah benar-benar menjadi idola, baik pria maupun wanita. Ia menjadi idola tanpa topeng. Dan, dalam hatinya ia berdoa: semoga kalung eksentrik buatanku ini bisa menghasilkan topeng-topeng baru. Ha..Ha..Ha..

**********

Begitulah kisah Kartinah Gadis Kontemporer di siang santai yang membosankan ini. Kisah tiba-tiba, dibuat asal-asalan dan apa adanya. Selamat menikmati! Kalau mau langsung tutup halamannya juga boleh. 

Dan ini sedikit gambaran behind the scene. Persiapan saya menjadi seorang Kartinah Gadis Kontemporer. Bersusah payah melilit-lilitkan benang (yang tadinya akan saya pakai untuk variasi di dompet) di kepala saya. Tapi apa daya, siang santai yang membosankan pun membuat saya rela melilit-lilitkan benang di kepala. 




Oya, tak lupa juga memperkenalkan orang-orang di balik kisah ngasal ini. Ada kami. Bapak Hidayat Adhiningrat yang mengambil semua foto yang ada di halaman ini. Juga saya sebagai model dadakan dan pencerita ngasal ini. Dan tak lupa juga sebagai produser, pemerhati, pengkritik, dan penonton setia pertunjukan ini :


Terimakasih kami ucapkan kepada Bapak Asbak yang begitu setia. Begitu tabah juga menerima puntung-puntung rokok yang di ujungnya terdapat air liur kami. Terimakasih banyak!


Salam! Ciao!


Rawajati, 17 Januari 2015