Instalasi Renik Dalam Dunia Terhah

Apr 22, 2016

Instalasi Renik Dalam Dunia Terhah


Foto : syaifulgaribaldi.com

Perkenalkan, ini adalah Dunia Terhah. Sebuah dunia baru yang ada di Planet Bumi. Dunia imajiner tanpa batas yang hadir dengan liar dan tumbuh tak terduga. Dunia yang asyik sendiri dengan eksperimen-eksperimennya yang absurd. Dunia ini bahkan terkadang kasat mata, tapi sebenarnya eksis. Tapi ini bukan khayalan. Ini adalah yang nyata.

“Cgarmnuh homma nossolka aarm tos homma ujmiok bas nosneroah klimuh tos homma porculen,nossolre olarium terhah, atoah tos xem osmun (birbir epoksorban) solka. Porculen sorban uwew katoa manoaki, lowara hiu jiro laeoleou piang gorgor she. Yepii.”

Jangan takut, paragraf di atas bukan lontaran yang keluar dari mulut alien yang akan menginvasi bumi. Itu adalah lontaran yang keluar dari mulut manusia – dengan menggunakan bahasa Terhah - yang tidak takut untuk meyakinkan apa yang telah dipercayainya dan mencoba merekam penuh semua ide yang ada di sana, di dalam setiap kehidupan.

Misalnya, ide tentang dunia renik (mikroorganisme), sebagai konstruksi dari sesuatu yang tak nampak dan diam tak bergerak tapi sebenarnya hidup. Ide itu hadir dalam QUIESCENT. Sebuah pameran tunggal perupa Syaiful Garibaldi, si empunya Dunia Terhah. Hadir selama satu bulan sejak 13 Februari hingga 13 Maret 2016, dalam sebuah ruangan kecil di lantai 40 pada salah satu gedung ‘menak’ di Jakarta. ROH Gallery, yang agak tersembunyi. Seolah tak ingin banyak orang yang tahu. Yah, namanya juga Dunia Terhah. Dunia yang dikira tak ada, padahal ada.

Quiscent sendiri merupakan proses mati suri atau dormant. Dalam dunia biologi, quiescent dikenal dengan kondisi makhluk hidup yang diam tapi sebenarnya tidak mati. “Itu disebutnya dormant,” kata pria yang akrab disapa Tepu ini.

Rupa-rupa itu hadir dengan bentuk yang membingungkan. Bisa-bisa kita mengira kalau kita sedang berada di planet lain. Berbentuk bulat, batang, spiral, tampak memiliki kepala, tampak memiliki kaki. Hadir dengan medium bahasa, lukisan, patung, dan instalasi video. Rupa-rupa itu diam. Seperti patung besar berwarna hijau lumut yang diam di pojokan ruang. Disimpan sebagai imajinasi Tepu tentang lichen (lumut kerak) yang berjudul “Lartucira #12”. Dengan bentuk yang condong dan terpisah-pisah.  

Lichen atau biasa dikenal sebagai lumut kerak, merupakan mikroorganisme hasil simbiosis mutualisme ganggang dan jamur. Dikatakan sebagai makhluk perintis. Karenanya, maka kehidupan-kehidupan baru bermunculan. Landasan empiris bahwa makhluk-makhluk hidup dalam dunia renik yang berinteraksi itulah yang kemudian semakin mendekatkan dunia ‘Terhah’ pada dunia nyata. Di sini, batas antara apa yang imajiner dengan apa yang nyata menjadi kabur.

Lewat 14 karya yang hadir dalam Quiescent itu, Tepu ingin mempreservasi makhluk-makhluk dunia renik itu dalam setiap kondisi tertentu. Seperti interaksi-interaksi simbiosis mutualisme antara ganggang dan alga yang kemudian menghadirkan lichen, yang hadir dalam karya lukisnya yang berjudul “Lartucira #6”, “Lartucira #3”, “Lartucira #5”, dan “Lartucira #4”. Sebagai informasi, ‘lartucira’ yang dijadikan judul dari semua pameran itu, merupakan bahasa ‘Terhah’ yang artinya adalah mati suri.

Tepu selalu meyakini bahwa setiap proses yang dimiliki oleh makhluk hidup memiliki nilai estetis tersendiri. Mereka (makhluk hidup) akan memiliki kepentingan tersendiri bagi makhluk sekitar. Misalnya saja proses pertumbuhan mikroorganisme yang ditunjukannya dalam karya “Lartucira #8” yang dihadirkannya dalam bentuk lukisan. Mulai dari yang masih berukuran sangat mini, bervariasi hingga tampak seperti bahwa ia memiliki mata, kaki, dan tangan. Yang kesemuanya adalah hasil imajinasi Tepu terhadap makhluk-makhluk dunia renik yang diamatinya.

Pada intinya Tepu memindahkan apa yang dilihatnya dalam pengamatan dengan menggunakan mikroskop. Tapi memindahkan di sini bukan berarti apa yang dikaryakannya sama percis dengan yang asli. Tepu mengkonstruksi ulang apa yang telah dilihatnya. Hingga akhirnya memunculkan bentuk-bentuk imajiner dalam dunianya, dunia Terhah.

Konsep visual karya-karya Tepu dalam Quiescent ini diambil dengan cara pembesaran mikroskop. Ia bekerjasama dengan Laboraturium Biologi Institut Teknologi Bandung (ITB). Di sana ia belajar mengamati makhluk-makhluk dunia renik. Melalui pengamatan, Tepu bisa mengetahui apa-apa saja yang terjadi pada si mikroorganisme. Maka ditangkapnya lah bagian-bagian yang menurutnya penting dan menarik untuk kemudian dikonstruksikan dengan berbagai imajinasinya.

Tapi tak dinyana, makhluk-makhluk dunia renik ternyata memiliki kecenderungan untuk mengeluarkan warna yang cerah dan menyala ketika diamati dengan menggunakan mikroskop elektron. “Itu untuk sepuluh ribu kali lipat,” kata Tepu. Yang kemudian dituangkannya dalam beberapa karyanya di Quiescent seperti “Lartucira #6”, “Lartucira #3”, “Lartucira #5”, dan “Lartucira #4” yang menangkap simbiosis mutualisme antara ganggang dan jamur. Makhluk-makhluk renik dalam skala besar itu dilukiskannya dengan warna-warna menyala dan berkilau. Ia menduga, mungkin saja bahwa warna yang menyala itu muncul akibat pewarna yang diinjeksikan ke mikroorganisme tersebut saat akan diamati. “Karena gelap, jadi saya harus kasih warna supaya terang,” ia menambahkan.  

Dari serangkaian percobaan dan eksperimen terhadap lichen, lahir berbagai inspirasi baru yang ia terapkan pada proses penciptaan karyanya. Setiap perubahan bentuk, warna, dan sifat dari mikroorganisme itu kemudian akan jadi sebuah perkembangan yang mampu memperkaya Dunia Terhah.

Eksperimen Tepu dengan lichen yang dihadirkan dalam Quiescent ini memang merupakan eksperimen teranyar yang dilakukannya. Jauh sebelumnya, Tepu tak kuasa untuk menolak keinginannya untuk menciptakan Dunia Terhah yang digagasnya. ‘Terhah’ sendiri berasal dari bahasa Esperanto yang didefinisikan sebagai ‘ide’. Dunia Terhah menjadi wilayah mediasi bagi ilmu pengetahuan untuk berpadu dengan seni melalui imajinasi pada proses berkarya.

Salah satunya dengan menciptakan sistem tanda dan tata bahasa sendiri untuk para penghuni Dunia Terhah pada tahun 2007 silam. Bahkan sebenarnya bahasa Terhah inilah yang menjadi awal pembentukan Dunia Terhah. Sederhana saja, bahasa Terhah ini sebenarnya hanya merupakan celetukan Tepu sehari-hari yang kemudian ia kumpulkan dan catat. Hingga saat ini sudah lebih dari 1.500 kata terdaftar dalam Kamus Terhah.

Abjad dalam Dunia Terhah pun ditemukannya dengan cara mengkultur bakteri yang ada pada e-coli. “Saya kultur dari salah satu unsur yang ada di bakteri ini,” ujarnya. Kemudian, pola-pola itu tumbuh sesuai dengan kemauan si mikroorganisme itu sendiri. Maka muncul lah abjad-abjad ajaib itu.

Seni, bagi Tepu bukan hanya sekedar artefak. Seni adalah ilmu pengetahuan. Pada jaman Renaissance, seniman dianggap sebagai seorang yang universal dimana ia mempelajari segala bidang. “Saya setuju sama hal itu,” katanya.


Tepu mengaku sangat tertarik untuk bekerjasama dengan makhluk hidup seperti mikroorganisme dalam setiap karyanya. Makhluk-makhluk dalam dunia renik adalah makhluk yang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Di sana sering muncul kejutan-kejutan tersendiri. “Misal saya sudah menentukan dia bergerak kemana, kadang-kadang dia sering bergerak dengan keinginannya sendiri,” ia bercerita. Padahal, sebenarnya mereka (makhluk-makhluk dunia renik) itu memiliki dampak yang besar bagi lingkungan dan manusia itu sendiri.


------------------------------------------------------------
Dipublikasikan di Majalah GATRA- XXII/17