Mengenang Sitor Lewat Pasar Senen

Apr 22, 2016

Mengenang Sitor Lewat Pasar Senen


Foto : youtube.com

Ke mana kawan semua/ Supir, tukang delman/ Teman berdampingan/ Kita semua bersenda/ Menampung senyuman/ Si Kebaya Merah/ Dari kepulan asap merekah/ Hai Tukang Becak/ Bilang padaku/ Dewiku/ Ke mana kau bawa (Dari puisi ''Pasar Senen'', Sitor Situmorang)


Malam itu, kursi-kursi Teater Kecil Taman Ismail Marzuki penuh terisi. Ruangan sedikit sesak. Dari pintu masuk saja, orang-orang sudah berdiri, beradaptasi dan ''bertahan hidup'' dengan mengisi area-area pinggir ruang yang tidak berkursi. Riuh rendah. Lalu, di atas panggung, muncul tiga orang dengan masing-masing menenteng sebuah kursi lipat. ''Awas copet! ...Kopi! Kopi! Kopi! ...Mesin tik bekas! ...Mari, Mas, monggo... kehangatan,'' kata satu dari tiga orang itu setengah berteriak.

Begitu, pergelaran instalasi teks berjudul ''Pasar Senen, Sitor, dan Harimau Tua'', Rabu malam pekan lalu. Para penampil merekomendasikan suasana sebuah pasar dalam ruang Teater Kecil, TIM, Jakarta.

Di antara lontaran-lontaran promotif verbal dan peringatan banal khas pasar itu, muncul juga obrolan-obrolan ringan tentang politik, ekonomi, dan kebudayaan antara dua orang lainnya. Semuanya terlontarkan secara bersamaan dan saling beradu secara verbal mengetengahkan tiga teks: ''Mengatakan Jawa Adalah 'Sebuah Happening''' (Christopher John); ''Jawa Tempo Doeloe: 650 Tahun Bertemu Dunia Barat'' (James R. Rush); dan sajak ''Pasar Senen'' gubahan mendiang Sitor Situmorang.

Bersamaan itu, layar di belakang panggung menampilkan visual hitam putih Pasar Senen tempo dulu. Sehingga, semua kegaduhan bunyi, diksi, dan visual itu berhasil membawa penonton pada kenangan masa lampau tentang Pasar Senen.

Pasar Senen yang dimaksud adalah sebuah situs pertemuan yang tidak hanya merujuk pada fungsi-fungsi transaksional serta tukar-menukar barang dan jasa. Melainkan sebuah arena pertemuan lebih luas yang mengakomodir ekspresi kesenian, kebudayaan, sosial hingga politik. Ini tentang Pasar Senen yang kini berada di wilayah adminsitratif pemerintah Kota Madya Jakarta Pusat. Tentang hal-hal nostalgik yang tidak lagi ditemukan di tempat itu.

Obrolan instalatif malam itu terentang mulai dari bioskop Grand yang pasti ramai pada bulan muda. Lalu Restoran Setia yang hanya berjarak sepuluh meter dari bioskop, yang selalu kecipratan ramai ketika Grand memutar film Melayu. Gedung-gedung pertunjukan kesenian tradisional yang pamornya terang nian. Juga cerita tentang ide pembangunan Jakarta oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin untuk menggusur Pasar Senen menjadi Proyek Senen. Hingga akhirnya peradaban Pasar Senen pun lenyap.

Kini model pertemuan di Pasar Senen tidak lagi sehangat, dan sepenting dahulu jika ditinjau dari sudut pandang antropologi kebudayaan. Orang-orang tidak lagi berteriak-teriak saat menjual kopinya. Sudah tak ada lagi tukang becak, tukang delman, penjual mesin ketik bekas. Juga tak ada lagi teman-teman yang saling berdampingan.

''Pasar Senen bukan diubah, tapi dihancurkan,'' ujar Afrizal Malna, yang didaulat sebagai perangkai instalasi teks dalam gelaran malam itu.

Gelaran ''Pasar Senen, Sitor, dan Harimau Tua'' dibuat untuk memperingati momen satu tahun wafatnya penyair Sitor Situmorang. Pasar Senen, lengkap dengan segala tetek bengek yang terjadi di dalamnya, oleh Komunitas Bambu dan Studio Hanafi dijadikan sebagai medium untuk mengingat seorang penyair berjuluk "si anak hilang" itu.

Dulu, Pasar Senen bagaikan mahakarya. Sebuah ekosistem yang tumbuh sedemikian rupa, tempat berbagai suku bangsa mulai membangun budaya urban. Membuat para penjual kopi, tukang becak, dan tukang delman melebur bersama Sitor dan yang lainnya sebagai teman yang saling berdampingan. Situasi yang telah dibaca Sitor lewat sajak ''Pasar Senen'' digubahnya pada 1948.

Bagi Afrizal, ''Pasar Senen'' -yang lewat sebuah model penelusuran arsip oleh J.J. Rizal ditempatkan sebagai puisi pertama Sitor- adalah titik pijak perjalanan kepenyairan Sitor. Melibatkan keberpihakan kepada kelas bawah, senda gurau budaya lisan, dan juga perempuan, sebagai indeks penting yang sering muncul dalam karya-karya Sitor. Indeks yang tidak membuat belahan tajam antara tradisional dan modern, desa dan kota, cinta dan ideologi.

Dalam pergelaran ini, prosesi mengingat kembali penyair kelahiran Samosir, 2 Oktober 1924, itu tak hanya sampai di situ. Ada juga perntunjukan teater yang diadaptasi dari salah satu cerpen Sitor berjudul ''Harimau Tua''.

Narasi lakon ini bergerak antara seorang anak muda berambut pirang dengan dandanan necis perkotaan yang pulang kampung setelah 15 tahun merantau. Ia yang pulang membawa kebingungan lantas bertemu dengan seorang lelaki tua berkaki kiri buntung yang hidup seorang diri di lembah, dan seekor harimau tua, harimau terakhir di gunung. Ketiga sosok ini menjadi metafor hilangnya tanda-tanda di sekitar untuk saling mengenal.

Menurut pimpinan produksi pergelaran ini, J.J. Rizal, ''Harimau Tua'' merupakan pengalaman Sitor terkait kehidupan sebuah desa yang dilupakan. Sitor seolah hidup di dua dunia. Antara masa lalu dan masa kini. Antara desa dan kota. Nyatanya, di zaman kiwari ini, jarak antara desa dan kota menjadi sebuah problematika tersendiri. ''Seolah orang desa dan orang kota itu perbedaannya timpang,'' katanya.

Cerpen ''Harimau Tua'' dan sajak ''Pasar Senen'', bagi Rizal, menjadi bukti bahwa Sitor bukan seorang penyair yang hanya sibuk dengan revolusi pemikiran seorang diri. Ia juga sosok komunal. ''Sitor adalah orang rantau yang mencari tempat di tengah Ibu Kota,'' ujarnya.

Lebih jauh, gelaran ini mencoba menjawab pertanyaan tentang bentuk kebudayaan modern Indonesia dan cara mengontruksikannya melalui pemikiran-pemikiran Sitor Situmorang tentang Pasar Senen.

Sebab, kenyataannya, kini tak ada lagi ruang kerakyatan tempat suatu generasi berkumpul merumuskan pertanyaan-pertanyaan besar. Suatu ruang dan penuh dengan ide telah tamat. Sebuah medan revolusi telah berakhir. Yaitu, Pasar Senen, ''Tempat di mana kita tidak perlu takut gila,'' kata Rizal.

--------------------------------------------------
Dipublikasikan di Majalah GATRA - XXII/13