Hari Jum'at Yang Berwarna Kuning

Sep 7, 2014

Hari Jum'at Yang Berwarna Kuning





Aku punya cerita. Tentang Jum'at malam. Hari itu, selepas menghabiskan waktu di kantor, aku berangkat menuju satu tempat di kawasan Cilandak, Jakarta yang tidak bisa aku jelaskan tepatnya. Yang jelas, tempat itu ada di kolong jembatan Toll TB Simatupang. Aku menemui beberapa temanku di sana. Tapi inti dari cerita ini, adalah suatu bahagia yang sederhana. Dan pertama, akan aku perkenalkan beberapa anggota geng malam itu!


Yang ini namanya Heri. Namun aku memanggilnya Kang Baduy. Seorang musisi jalanan, pemain biola, dan senang berjoged ala Mick Jagger. Ia yang tertua di antara kami.


Ini Edi. Tompel julukannya. Sama, seorang musisi jalanan. Pemain biola juga. Dan percayalah, kamu akan dibuai oleh suaranya yang ciamik.


Yang ini, Bang Jul. Kalau kamu lewat di bawah jembatan itu lalu kamu melihat badut, maka itulah dia. 


Ucup atau Cups! Seorang pegawai yang kerjanya mengotak-ngatik hal yang selalu kupergunakan tapi aku tak mengerti. Seperti aku menulis ini di blog, aku tak tahu bagaimana cara kerjanya dan mengapa bisa seperti itu, tapi ia tahu.


Ini Oxil. Si ganteng yang tidak kalem. Mulutnya berbuih. Musisi jalanan yang bermetamorfosa menjadi seorang pelatih biola.


Ini Asri Wuni. Perempuan yang hobinya meracau. Itu saja.


Sudah berkenalan dengan anggota geng-ku? Maka aku akan bercerita. Cerita yang menyenangkan, setidaknya bagiku. Mulai dari bertemu dengan seorang pria yang kami panggil Pak Jum. Ia tinggal di sekitar sana. Dulu, ia seorang pemain ketoprak di Kebumen. Sekarang ia mencari peruntungan di Jakarta. Namun ia mengaku kalau saat ini, ia masih ingin bergerak di bidang yang sama, berkesenian.

Menarik rasanya mendengarkan cerita-ceritanya yang begitu polos. Mulai dari hobinya 'nginpo' (istilah untuk mendapatkan informasi nomor togel) di kebun belakang, sampai cerita-ceritanya sewaktu masih aktif sebagai pemain ketoprak. Sayangnya, kini kesenian rakyat macam itu sedikit terlupakan. 

Di sana hujan. Akhirnya kami harus menunggu hujan reda untuk melanjutkan perjalanan. Perjalanan yang kami lanjutkan menuju Warung Apresiasi. Sebuah tempat bagi pecinta musik, katanya. Kami berjalan beriringan dengan motor. Di jalan, tepatnya di perempatan jalan ketika lampu merah menyala, Kang Baduy bernyanyi keras-keras. Sontak, semua memandangnya. Dan kami berlima, hanya bisa tertawa melihat tingkahnya.


Sesampainya di Wapres, kami pun memesan minuman ala kadarnya. Cukup dengan susu dan kopi hangat sembari menikmati mereka yang sedang asyik jamming di panggung. Dan kami pun asyik berdendang pelan dengan lagu-lagu milik Rolling Stone.



Di tengah acara, kami tahu bahwa Kang Baduy senang sekali berjoged ala Mick Jagger. Lantas kami pun memprovokasinya untuk maju ke depan untuk ikut bernyanyi sekalian berjoged. Awalnya Kang Baduy masih malu-malu dan mengaku lelah. Tapi lama-lama mungkin ia tak tahan juga. Apa lacur, ia pun berlari ke depan dan tanpa pikir-pikir lagi langsung meliuk-liukan badannya. Pengunjung pun bertepuk tangan. Hah, seorang Kang Baduy mampu membuat gebrakan dengan modal percaya diri. Tapi aku, mana bisa sepercaya diri itu.

Ia lucu sekali dan membuat kami tertawa-tawa di meja. Mungkin gelas-gelas di depan kami pun ikut tertawa. Namun tak dinyana, keberanian Kang Baduy maju ke panggung mempertemukannya dengan sebuah production house yang tertarik padanya. Lengkap sudah kebahagiaan kami hari itu.

Semua dari kami seolah mengeluarkan rona kekuningan. Rona keceriaan dan bahagia.

Hari itu, hari Jum'at, kami bahagia. Bahagia yang begitu saja. Bahagia yang sederhana. Lepas tanpa beban. 


Rawajati, 9 September 2014

Untuk, teman....