May 30, 2016

Tanah Merah Padusi




''Semak belukar memerah, lalu musnah.'' Begitu ucap Laksmi Notokusumo di antara sorot sinar lampu kemerahan yang mewarnai Hutan Kota Sangga Buana, Kali Pesanggrahan, Jakarta. Ia bersimpuh di antara empat pemusik yang tergeletak tanpa lupa meniup serunai, dijeridu (didgeridoo, alat musik tradisional Suku Aborigin), pupuik, dan saluang. Ia merintih menyesali rimbun kampung halamannya yang kini musnah rata dengan tanah. 

Sepenggal adegan monolog itu jadi bagian dari pertunjukan berjudul "Tanah Merah". Karya tersebut merupakan bagian dari presentasi besar berjudul Phase karya koreografer Jefri Andi Usman, yang dibawakan pada Sabtu, 23 April lalu di Hutan Kota Sangga Buana Kali Pesanggrahan, Jakarta Selatan. 

Gerimis turun perlahan ketika Laksmi merobek-robek sehelai kertas di antara ribuan surat penyebab hilangnya kampung halaman. ''Kita tahu sekarang lagi musim hujan. Tapi kita tidak menyiapkan pertunjukan untuk kondisi hujan,'' kata Jefri. Ia tidak menyesali hujan yang turun malam itu. 

Alas panggung berbahan kain terpal yang tipis pun lama-lama basah dan licin. Namun, itu tidak menghalangi gerakan dua penari (Maria Bernadeth dan Davit) yang intens mengetengahkan kosagerak ekspresif, lincah, dan tak terlihat ragu. Sebaliknya, hujan yang lama-lama turun dengan deras malah membuat kedua penari itu kian peka dengan improvisasi-improvisasi gerak di beberapa adegan. 

Jefri mengartikulasikan Phase sebagai masa yang ditempuh. Karya ini berbicara tentang waktu yang membuat hubungan antara manusia dengan manusia, juga manusia dengan alam, kian tidak bersinergi. Sebuah pernyataan koreografis tentang isu lingkungan dengan tidak meninggalkan koridor kebudayaan Minang yang melatari kehidupan Jefri. 

Phase terdiri dari dua repertoar gerak. Bagian pertama mengambil tema ''Tanah Merah'', sedangkan bagian kedua bertema ''Padusi''. Dalam keduanya, Jefri merepresentasikan kegelisahannya tentang kerusakan alam dan bergesernya nilai-nilai kultural perempuan dalam budaya matrilineal di Tanah Minang. 

''Berziarahlah... Berziarahlah ke pusara tanah merahmu,'' begitu bunyi pembuka monolog ''Tanah Merah'' yang naskahnya ditulis Damhuri Muhammad. 

Kekuatan repertoar ''Tanah Merah'' tak hanya terletak pada naskah dan kosagerak. Melainkan juga unsur-unsur lain yang dibuat sealami mungkin. Resonansi susunan bambu membuat musik yang dimainkan secara akustik tetap maksimal. Juga set panggung berupa dahan-dahan pohon bambu yang disusun dengan komposisi meniru alur pohon-pohon di sana sebagai visual latar. 

Dari susunan bambu itulah Jefri turun ke arena panggung. Setelah menjejak tanah, lantas ia mengangkat kakinya ke udara. Sekali waktu ia berdiri dengan kepala. Gambaran tentang alam yang keos itu bersambung dengan gerak tubuhnya yang menggelepar lalu jatuh, pasrah. Kemudian ia berguling lambat di atas lantai, pelan-pelan melepaskan bajunya satu per satu, hingga akhirnya ia bertelanjang dada dan menghilang. 

Jefri rupanya begitu nelangsa oleh kerusakan alam sebagai gambaran kekinian. Iya. Dalam dunia kontemporer ini, keluhan tentang kekayaan alam yang semakin tak terurus menjadi obrolan-obrolan yang tak pernah usai. Phase, bagi Jefri, adalah cara untuk mengingatkan bahwa perubahan telah mengubah alam tak lagi alami. Manusia sudah mengintervensi alam sedemikian rupa. 

Hutan telah hilang, menjadi pusara tanah merah. Setelahnya, giliran Jefri bercerita tentang perempuan di Tanah Minang dalam Padusi. Maria muncul sebagai gambaran perempuan Minang di zaman kiwari. Awalnya ia tampak anggun dan penuh wibawa. Tapi kemudian ia mencopot suntiang yang tertancap di kepalanya. Dengan rona getir wajah setiap kali suntiang itu dilemparnya. 

Bagi orang Minang, suntiang adalah simbol rumah tangga dan ikatan suami istri. Seorang perempuan Minang, selain dituntut kuat secara fisik, juga dituntut untuk memiliki kekuatan untuk memikul tanggung jawab dalam kehidupan berumah tangga. 

Adegan melepas suntiang yang dibawakan Maria ini merupakan simbol pembangkangan adat-istiadat di Tanah Minang. Gelegar suara tetabuhan dan tiupan saluang menggema tiap kali Maria melepas dan melempar suntiang-nya jauh-jauh. Seolah ikut meratapi pembangkangan perempuan Minang. 

Tapi di tengah pembangkangan itu muncul Davit. Mereka menari dengan tatapan tajam, seolah saling mencurigai. Di sini ada "pertarungan". Tapi juga ada kekuatan saling tarik-menarik. Momen cinta, hasrat, dan konflik, semua jadi satu dalam kosagerak yang tak tertahankan. 

Dalam babak "Padusi", sosok Jefri yang berdarah Minang terasa begitu kental. Padusi, dalam bahasa Minang, adalah perempuan sebagai simbol bumi yang melahirkan kehidupan. Baginya, padusi bukan hanya sebuah legenda. Justru, realitas mengatakan bahwa perempuan menjadi sosok yang utama. Perempuan naik ke rumah, laki-laki ke luar rumah. Tanpa perlu disejajarkan. Padusi adalah sosok perempuan sebagaimana makna gender dalam konstruksi budaya. 

Belum lagi kosagerak yang hampir menempatkan silek (silat) sebagai gerak dasar keseluruhan pertunjukan. Sajian tari tidak terlepas dari silek kumangosilek ulusilek ambek, dan silek harimau. Melalui seni bela diri Minang itu, Jefri mencoba mengembangkan koreografinya. 

Hujan makin deras. Davit perlahan menjauh. Maria terus bersilat hingga perlahan lunglai. Bersamaan dengan suara derak bambu yang diguncang Teuku Rifnu Wikana dari atas sususan bambu, sembari berkata: ''Kunamai engkau Padusi. Sorot matamu nyala api. Gelang antingmu kawat berduri.'' 


Dipublikasikan di : MAJALAH GATRA (XXII - 28)

Apr 22, 2016

Serangan Optik (Pt. 1)


Pantai Patireuman, Desa Mandrajaya, Kabupaten Sukabumi - Geopark Ciletuh

Pantai Patireuman, Desa Mandrajaya, Kabupaten Sukabumi - Geopark Ciletuh
Pantai Patireuman, Desa Mandrajaya, Kabupaten Sukabumi - Geopark Ciletuh
Pantai Patireuman, Desa Mandrajaya, Kabupaten Sukabumi - Geopark Ciletuh

Pantai Patireuman, Desa Mandrajaya, Kabupaten Sukabumi - Geopark Ciletuh
Taman Fatahillah, Kota Tua, Jakarta

Museum Fatahillah, Kota Tua Jakarta

Museum Fatahillah, Kota Tua, Jakarta

Kawasan Kota Tua, Jakarta

Kostan, Rawajati, Jakarta

Kawasan Juanda, Jakarta

Kawasan Juanda, Jakarta

Pantai Patireuman, Desa Mandrajaya, Kabupaten Sukabumi - Geopark Ciletuh

Kompleks Batu Punggung Naga, Geopark Ciletuh, Kabupaten Sukabumi


Ricoh Panorama LX-125
Kodak Color Plus Exp.2017

Cinta Sarwadi Untuk Kartini




Tahun 1983, sutradara kawakan Sjumandjaja (almarhum) menggubah film R.A. Kartini. Sebuah tawaran awal untuk menggambarkan pemikiran, kehidupan dan perjuangan tokoh pahlawan nasional Raden Ajeng Kartini. Tiga puluh tiga tahun kemudian, sutradara Azhar Kinoy Lubis mencoba memberikan penawaran lain lagi dalam membesut kisah inspiratif Kartini ke dalam layar lebar.

Melalui Surat Cinta Kartini, ia menghadirkan nostalgia tentang sosok pembela dan pejuang kemandirian perempuan pribumi itu dengan gaya fiksi yang kental, dan romantis.

Adalah Sarwadi (Chicco Jerikho), seorang pengantar surat yang kerap mengantarkan materi korespondensi antara Kartini (Rania Putrisari) dan ''dunia luar''. Ia seorang warga Jepara biasa yang bahagia minta ampun lantaran dapat kerja sebagai tukang pos. Pekerjaan itu pulalah yang secara platonis mempertemukannya dengan Kartini.

Awalnya, Sarwadi bingung dengan pendapat banyak orang yang menyebut Kartini sebagai sosok aneh lantaran keinginannya untuk mendobrak tradisi. Tapi perlahan kebingungan itu berubah jadi kekaguman demi mendapati rencana Kartini mendirikan sekolah bagi kaum Bumiputera. Ia terkesima oleh pandangan Kartini yang menganggap bahwa seorang perempuan harus terdidik agar pandai mendidik keluarga.

Dari kagum, Sarwadi bangga mencintai Kartini. Semakin bangga ketika ia mendengar keinginan Kartini untuk bersekolah di Belanda. Seperti lazimnya kisah cinta (meski kisah cinta yang ini tidak bersifat resiprokal), Sarwadi juga merasakan hancur hatinya demi mengetahui perempuan yang dicintainya dian-diam itu dilamar oleh Bupati Rembang. Sarwadi kacau balau, tak mau makan, jatuh sakit, tapi bukan semata-mata dibuat frustasi oleh cinta yang lazim, melainkan juga khawatir pernikahan itu akan menyadera mimpi dan perjuangan Kartini.

Sosok Sarwadi dalam Surat Cinta untuk Kartini ini memberikan penjelasan tentang keberpihakan sutradara kepada unsur fiktif film ini. Sarwadi bagaikan sebuah konsep pandangan masyarakat umum terhadap sosok R.A Kartini. Azhar Kinoy Lubis membungkus fiksi itu dengan catatan-catatan sejarah. Seperti diketahui, surat-surat Kartini adalah dokumen penting yang menunjukkan peran pentingnya dalam perjuangan pemberdayaan perempuan.

Pembagiannya cukup jelas. Hal-hal yang terkait dengan kejadian dalam kehidupan Kartini dan pemikiran-pemikirannya digarap dengan pendekatan historis. Itu ditopang dengan penataan artistik yang berusaha menjangkau akhir era 1800-an. Sementara itu, yang terkait dengan kekaguman, perasaan, dan kehidupan Sarwadi adalah rekaan. Intensitas rekaannya bahkan dibuat berlapis dengan kehadiran narasi dan skena berlatar kiwari dengan gambaran proses belajar mengajar pelajaran sejarah di sekolah dasar.

Bolak-balik sejarah, fiksi perasaan dan narasi sekolah itu, harus diakui, cukup berhasil membuat film ini tidak melelahkan untuk ditonton. Itu membuat Surat Cinta Untuk Kartini sebagai film yang ramah bagi penonton awam dengan pemahaman sejarah terbatas. Meski di lain sisi, hal itu berdampak pada tidak fokusnya pernyataan kekartinian yang hendak ditonjolkan.

Usaha Kinoy untuk menyampaikan pesan-pesan Kartini dengan modus tersebut terasa segar dan boleh dicatat sebagai penawaran berbeda menyambut Hari Kartini yang jatuh saban 21 April. Selain Kinoy, sutradara Hanung Bramantyo juga dikabarkan siap meluncurkan film Kartini, yang mengambil insiprasi dari tokoh yang sama. Bedanya, Hanung lebih memilih pendekatan sejarah; tepatnya masa ketika Kartini dipingit hingga menikah.

--------------------------------------------------
Dipublikasikan di Majalah GATRA - XXII-24

Mengenang Sitor Lewat Pasar Senen


Foto : youtube.com

Ke mana kawan semua/ Supir, tukang delman/ Teman berdampingan/ Kita semua bersenda/ Menampung senyuman/ Si Kebaya Merah/ Dari kepulan asap merekah/ Hai Tukang Becak/ Bilang padaku/ Dewiku/ Ke mana kau bawa (Dari puisi ''Pasar Senen'', Sitor Situmorang)


Malam itu, kursi-kursi Teater Kecil Taman Ismail Marzuki penuh terisi. Ruangan sedikit sesak. Dari pintu masuk saja, orang-orang sudah berdiri, beradaptasi dan ''bertahan hidup'' dengan mengisi area-area pinggir ruang yang tidak berkursi. Riuh rendah. Lalu, di atas panggung, muncul tiga orang dengan masing-masing menenteng sebuah kursi lipat. ''Awas copet! ...Kopi! Kopi! Kopi! ...Mesin tik bekas! ...Mari, Mas, monggo... kehangatan,'' kata satu dari tiga orang itu setengah berteriak.

Begitu, pergelaran instalasi teks berjudul ''Pasar Senen, Sitor, dan Harimau Tua'', Rabu malam pekan lalu. Para penampil merekomendasikan suasana sebuah pasar dalam ruang Teater Kecil, TIM, Jakarta.

Di antara lontaran-lontaran promotif verbal dan peringatan banal khas pasar itu, muncul juga obrolan-obrolan ringan tentang politik, ekonomi, dan kebudayaan antara dua orang lainnya. Semuanya terlontarkan secara bersamaan dan saling beradu secara verbal mengetengahkan tiga teks: ''Mengatakan Jawa Adalah 'Sebuah Happening''' (Christopher John); ''Jawa Tempo Doeloe: 650 Tahun Bertemu Dunia Barat'' (James R. Rush); dan sajak ''Pasar Senen'' gubahan mendiang Sitor Situmorang.

Bersamaan itu, layar di belakang panggung menampilkan visual hitam putih Pasar Senen tempo dulu. Sehingga, semua kegaduhan bunyi, diksi, dan visual itu berhasil membawa penonton pada kenangan masa lampau tentang Pasar Senen.

Pasar Senen yang dimaksud adalah sebuah situs pertemuan yang tidak hanya merujuk pada fungsi-fungsi transaksional serta tukar-menukar barang dan jasa. Melainkan sebuah arena pertemuan lebih luas yang mengakomodir ekspresi kesenian, kebudayaan, sosial hingga politik. Ini tentang Pasar Senen yang kini berada di wilayah adminsitratif pemerintah Kota Madya Jakarta Pusat. Tentang hal-hal nostalgik yang tidak lagi ditemukan di tempat itu.

Obrolan instalatif malam itu terentang mulai dari bioskop Grand yang pasti ramai pada bulan muda. Lalu Restoran Setia yang hanya berjarak sepuluh meter dari bioskop, yang selalu kecipratan ramai ketika Grand memutar film Melayu. Gedung-gedung pertunjukan kesenian tradisional yang pamornya terang nian. Juga cerita tentang ide pembangunan Jakarta oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin untuk menggusur Pasar Senen menjadi Proyek Senen. Hingga akhirnya peradaban Pasar Senen pun lenyap.

Kini model pertemuan di Pasar Senen tidak lagi sehangat, dan sepenting dahulu jika ditinjau dari sudut pandang antropologi kebudayaan. Orang-orang tidak lagi berteriak-teriak saat menjual kopinya. Sudah tak ada lagi tukang becak, tukang delman, penjual mesin ketik bekas. Juga tak ada lagi teman-teman yang saling berdampingan.

''Pasar Senen bukan diubah, tapi dihancurkan,'' ujar Afrizal Malna, yang didaulat sebagai perangkai instalasi teks dalam gelaran malam itu.

Gelaran ''Pasar Senen, Sitor, dan Harimau Tua'' dibuat untuk memperingati momen satu tahun wafatnya penyair Sitor Situmorang. Pasar Senen, lengkap dengan segala tetek bengek yang terjadi di dalamnya, oleh Komunitas Bambu dan Studio Hanafi dijadikan sebagai medium untuk mengingat seorang penyair berjuluk "si anak hilang" itu.

Dulu, Pasar Senen bagaikan mahakarya. Sebuah ekosistem yang tumbuh sedemikian rupa, tempat berbagai suku bangsa mulai membangun budaya urban. Membuat para penjual kopi, tukang becak, dan tukang delman melebur bersama Sitor dan yang lainnya sebagai teman yang saling berdampingan. Situasi yang telah dibaca Sitor lewat sajak ''Pasar Senen'' digubahnya pada 1948.

Bagi Afrizal, ''Pasar Senen'' -yang lewat sebuah model penelusuran arsip oleh J.J. Rizal ditempatkan sebagai puisi pertama Sitor- adalah titik pijak perjalanan kepenyairan Sitor. Melibatkan keberpihakan kepada kelas bawah, senda gurau budaya lisan, dan juga perempuan, sebagai indeks penting yang sering muncul dalam karya-karya Sitor. Indeks yang tidak membuat belahan tajam antara tradisional dan modern, desa dan kota, cinta dan ideologi.

Dalam pergelaran ini, prosesi mengingat kembali penyair kelahiran Samosir, 2 Oktober 1924, itu tak hanya sampai di situ. Ada juga perntunjukan teater yang diadaptasi dari salah satu cerpen Sitor berjudul ''Harimau Tua''.

Narasi lakon ini bergerak antara seorang anak muda berambut pirang dengan dandanan necis perkotaan yang pulang kampung setelah 15 tahun merantau. Ia yang pulang membawa kebingungan lantas bertemu dengan seorang lelaki tua berkaki kiri buntung yang hidup seorang diri di lembah, dan seekor harimau tua, harimau terakhir di gunung. Ketiga sosok ini menjadi metafor hilangnya tanda-tanda di sekitar untuk saling mengenal.

Menurut pimpinan produksi pergelaran ini, J.J. Rizal, ''Harimau Tua'' merupakan pengalaman Sitor terkait kehidupan sebuah desa yang dilupakan. Sitor seolah hidup di dua dunia. Antara masa lalu dan masa kini. Antara desa dan kota. Nyatanya, di zaman kiwari ini, jarak antara desa dan kota menjadi sebuah problematika tersendiri. ''Seolah orang desa dan orang kota itu perbedaannya timpang,'' katanya.

Cerpen ''Harimau Tua'' dan sajak ''Pasar Senen'', bagi Rizal, menjadi bukti bahwa Sitor bukan seorang penyair yang hanya sibuk dengan revolusi pemikiran seorang diri. Ia juga sosok komunal. ''Sitor adalah orang rantau yang mencari tempat di tengah Ibu Kota,'' ujarnya.

Lebih jauh, gelaran ini mencoba menjawab pertanyaan tentang bentuk kebudayaan modern Indonesia dan cara mengontruksikannya melalui pemikiran-pemikiran Sitor Situmorang tentang Pasar Senen.

Sebab, kenyataannya, kini tak ada lagi ruang kerakyatan tempat suatu generasi berkumpul merumuskan pertanyaan-pertanyaan besar. Suatu ruang dan penuh dengan ide telah tamat. Sebuah medan revolusi telah berakhir. Yaitu, Pasar Senen, ''Tempat di mana kita tidak perlu takut gila,'' kata Rizal.

--------------------------------------------------
Dipublikasikan di Majalah GATRA - XXII/13

Instalasi Renik Dalam Dunia Terhah


Foto : syaifulgaribaldi.com

Perkenalkan, ini adalah Dunia Terhah. Sebuah dunia baru yang ada di Planet Bumi. Dunia imajiner tanpa batas yang hadir dengan liar dan tumbuh tak terduga. Dunia yang asyik sendiri dengan eksperimen-eksperimennya yang absurd. Dunia ini bahkan terkadang kasat mata, tapi sebenarnya eksis. Tapi ini bukan khayalan. Ini adalah yang nyata.

“Cgarmnuh homma nossolka aarm tos homma ujmiok bas nosneroah klimuh tos homma porculen,nossolre olarium terhah, atoah tos xem osmun (birbir epoksorban) solka. Porculen sorban uwew katoa manoaki, lowara hiu jiro laeoleou piang gorgor she. Yepii.”

Jangan takut, paragraf di atas bukan lontaran yang keluar dari mulut alien yang akan menginvasi bumi. Itu adalah lontaran yang keluar dari mulut manusia – dengan menggunakan bahasa Terhah - yang tidak takut untuk meyakinkan apa yang telah dipercayainya dan mencoba merekam penuh semua ide yang ada di sana, di dalam setiap kehidupan.

Misalnya, ide tentang dunia renik (mikroorganisme), sebagai konstruksi dari sesuatu yang tak nampak dan diam tak bergerak tapi sebenarnya hidup. Ide itu hadir dalam QUIESCENT. Sebuah pameran tunggal perupa Syaiful Garibaldi, si empunya Dunia Terhah. Hadir selama satu bulan sejak 13 Februari hingga 13 Maret 2016, dalam sebuah ruangan kecil di lantai 40 pada salah satu gedung ‘menak’ di Jakarta. ROH Gallery, yang agak tersembunyi. Seolah tak ingin banyak orang yang tahu. Yah, namanya juga Dunia Terhah. Dunia yang dikira tak ada, padahal ada.

Quiscent sendiri merupakan proses mati suri atau dormant. Dalam dunia biologi, quiescent dikenal dengan kondisi makhluk hidup yang diam tapi sebenarnya tidak mati. “Itu disebutnya dormant,” kata pria yang akrab disapa Tepu ini.

Rupa-rupa itu hadir dengan bentuk yang membingungkan. Bisa-bisa kita mengira kalau kita sedang berada di planet lain. Berbentuk bulat, batang, spiral, tampak memiliki kepala, tampak memiliki kaki. Hadir dengan medium bahasa, lukisan, patung, dan instalasi video. Rupa-rupa itu diam. Seperti patung besar berwarna hijau lumut yang diam di pojokan ruang. Disimpan sebagai imajinasi Tepu tentang lichen (lumut kerak) yang berjudul “Lartucira #12”. Dengan bentuk yang condong dan terpisah-pisah.  

Lichen atau biasa dikenal sebagai lumut kerak, merupakan mikroorganisme hasil simbiosis mutualisme ganggang dan jamur. Dikatakan sebagai makhluk perintis. Karenanya, maka kehidupan-kehidupan baru bermunculan. Landasan empiris bahwa makhluk-makhluk hidup dalam dunia renik yang berinteraksi itulah yang kemudian semakin mendekatkan dunia ‘Terhah’ pada dunia nyata. Di sini, batas antara apa yang imajiner dengan apa yang nyata menjadi kabur.

Lewat 14 karya yang hadir dalam Quiescent itu, Tepu ingin mempreservasi makhluk-makhluk dunia renik itu dalam setiap kondisi tertentu. Seperti interaksi-interaksi simbiosis mutualisme antara ganggang dan alga yang kemudian menghadirkan lichen, yang hadir dalam karya lukisnya yang berjudul “Lartucira #6”, “Lartucira #3”, “Lartucira #5”, dan “Lartucira #4”. Sebagai informasi, ‘lartucira’ yang dijadikan judul dari semua pameran itu, merupakan bahasa ‘Terhah’ yang artinya adalah mati suri.

Tepu selalu meyakini bahwa setiap proses yang dimiliki oleh makhluk hidup memiliki nilai estetis tersendiri. Mereka (makhluk hidup) akan memiliki kepentingan tersendiri bagi makhluk sekitar. Misalnya saja proses pertumbuhan mikroorganisme yang ditunjukannya dalam karya “Lartucira #8” yang dihadirkannya dalam bentuk lukisan. Mulai dari yang masih berukuran sangat mini, bervariasi hingga tampak seperti bahwa ia memiliki mata, kaki, dan tangan. Yang kesemuanya adalah hasil imajinasi Tepu terhadap makhluk-makhluk dunia renik yang diamatinya.

Pada intinya Tepu memindahkan apa yang dilihatnya dalam pengamatan dengan menggunakan mikroskop. Tapi memindahkan di sini bukan berarti apa yang dikaryakannya sama percis dengan yang asli. Tepu mengkonstruksi ulang apa yang telah dilihatnya. Hingga akhirnya memunculkan bentuk-bentuk imajiner dalam dunianya, dunia Terhah.

Konsep visual karya-karya Tepu dalam Quiescent ini diambil dengan cara pembesaran mikroskop. Ia bekerjasama dengan Laboraturium Biologi Institut Teknologi Bandung (ITB). Di sana ia belajar mengamati makhluk-makhluk dunia renik. Melalui pengamatan, Tepu bisa mengetahui apa-apa saja yang terjadi pada si mikroorganisme. Maka ditangkapnya lah bagian-bagian yang menurutnya penting dan menarik untuk kemudian dikonstruksikan dengan berbagai imajinasinya.

Tapi tak dinyana, makhluk-makhluk dunia renik ternyata memiliki kecenderungan untuk mengeluarkan warna yang cerah dan menyala ketika diamati dengan menggunakan mikroskop elektron. “Itu untuk sepuluh ribu kali lipat,” kata Tepu. Yang kemudian dituangkannya dalam beberapa karyanya di Quiescent seperti “Lartucira #6”, “Lartucira #3”, “Lartucira #5”, dan “Lartucira #4” yang menangkap simbiosis mutualisme antara ganggang dan jamur. Makhluk-makhluk renik dalam skala besar itu dilukiskannya dengan warna-warna menyala dan berkilau. Ia menduga, mungkin saja bahwa warna yang menyala itu muncul akibat pewarna yang diinjeksikan ke mikroorganisme tersebut saat akan diamati. “Karena gelap, jadi saya harus kasih warna supaya terang,” ia menambahkan.  

Dari serangkaian percobaan dan eksperimen terhadap lichen, lahir berbagai inspirasi baru yang ia terapkan pada proses penciptaan karyanya. Setiap perubahan bentuk, warna, dan sifat dari mikroorganisme itu kemudian akan jadi sebuah perkembangan yang mampu memperkaya Dunia Terhah.

Eksperimen Tepu dengan lichen yang dihadirkan dalam Quiescent ini memang merupakan eksperimen teranyar yang dilakukannya. Jauh sebelumnya, Tepu tak kuasa untuk menolak keinginannya untuk menciptakan Dunia Terhah yang digagasnya. ‘Terhah’ sendiri berasal dari bahasa Esperanto yang didefinisikan sebagai ‘ide’. Dunia Terhah menjadi wilayah mediasi bagi ilmu pengetahuan untuk berpadu dengan seni melalui imajinasi pada proses berkarya.

Salah satunya dengan menciptakan sistem tanda dan tata bahasa sendiri untuk para penghuni Dunia Terhah pada tahun 2007 silam. Bahkan sebenarnya bahasa Terhah inilah yang menjadi awal pembentukan Dunia Terhah. Sederhana saja, bahasa Terhah ini sebenarnya hanya merupakan celetukan Tepu sehari-hari yang kemudian ia kumpulkan dan catat. Hingga saat ini sudah lebih dari 1.500 kata terdaftar dalam Kamus Terhah.

Abjad dalam Dunia Terhah pun ditemukannya dengan cara mengkultur bakteri yang ada pada e-coli. “Saya kultur dari salah satu unsur yang ada di bakteri ini,” ujarnya. Kemudian, pola-pola itu tumbuh sesuai dengan kemauan si mikroorganisme itu sendiri. Maka muncul lah abjad-abjad ajaib itu.

Seni, bagi Tepu bukan hanya sekedar artefak. Seni adalah ilmu pengetahuan. Pada jaman Renaissance, seniman dianggap sebagai seorang yang universal dimana ia mempelajari segala bidang. “Saya setuju sama hal itu,” katanya.


Tepu mengaku sangat tertarik untuk bekerjasama dengan makhluk hidup seperti mikroorganisme dalam setiap karyanya. Makhluk-makhluk dalam dunia renik adalah makhluk yang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Di sana sering muncul kejutan-kejutan tersendiri. “Misal saya sudah menentukan dia bergerak kemana, kadang-kadang dia sering bergerak dengan keinginannya sendiri,” ia bercerita. Padahal, sebenarnya mereka (makhluk-makhluk dunia renik) itu memiliki dampak yang besar bagi lingkungan dan manusia itu sendiri.


------------------------------------------------------------
Dipublikasikan di Majalah GATRA- XXII/17

Dec 22, 2015

Merespon Ruang - Doing Graffiti Is Like Vacation!


Instagram - @katun_



Banksy, seorang bomber asal Inggris, yang tak pernah diketahui identitasnya, pernah membayangkan bagaimana sebuah kota dimana graffiti tidak ilegal, dimana semua orang bisa menggambar apapun yang mereka sukai, dimana setiap jalan dalam sebuah kota dibanjiri oleh jutaan warna dan frase, dimana berdiri di halte bus tidak terasa membosankan. “Imagine a city like that – it’s wet” – Banksy, Wall and Piece (2005).

Anggap saja sebagai miniatur imajinasi Banksy. Sabtu (19/12) silam, Gudang Sarinah yang terletak di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan, membuat ‘basah’ para pelaku sekaligus pecinta seni jalanan atau biasa dikenal dengan street art. Pasalnya, hari itu dinding-dinding bangunan Gudang Sarinah yang sebelumnya tampak kusam dengan cat yang terkelupas sana sini disulap menjadi hampir habis terpakai untuk menjamu berbagai rupa karya street art.

Bagian dinding selatan salah satu dari tiga bangunan yang ada di Gudang Sarinah misalnya. Sebuah karya ‘narsis’ dari sekawanan street artist Jakarta yang menggambar nama grupnya sendiri, Berandal Aspaleho. Sebuah mural yang menyusupkan rupa-rupa karakter imajiner di sela-sela huruf yang digambarnya. Di sebelahnya, Dinas Artistik Kota seolah tak mau aksi corat-coret dindingnya terganggu dengan memasang plang bertuliskan : “Maap Jalan Anda Terganggu Kami Sedang Berkarya”.

Tak hanya di bagian dinding selatan. Tak jauh dari situ – di bagian timur dinding Gudang Sarinah -  tampak seekor monyet menggunakan topi bisbol terbalik dengan tape combo di tangannya tengah duduk santai di antara dua graffiti berbentuk lettering. Kali ini, Katun (MLY), Haser (NZ), dan TUTS mencoba merepresentasikan apa yang dinamakan dengan street culture yang biasanya diidentikan dengan budaya graffiti dan budaya musik hip-hop yang kerap ditampilkan dengan topi bisbol dan kebiasaan rapping di jalanan sembari menenteng tape combo.

Dua bagian itu merupakan beberapa spot yang dijadikan area menggambar dalam gelaran Street Dealin Festival #9 yang digagas oleh Gardu House, Jakarta. Menjadi salah satu program Jakarta Biennale 2015, Street Dealin Festival kali ini diakui sebagai acara street art terbesar yang pernah digarap oleh Gardu House. “Dari Street Dealin #1 sampai #8 kita biasa di satu spot, di Jalan Veteran Bintaro. Dan biasanya cuma diisi oleh 1-3 bomber saja,” ujar Direktur Street Dealin, Bima Chris, dalam konferensi pers yang digelar sebelum acara dimulai.

Jika biasanya hanya mengundang 1-3 seniman, kali ini sebanyak 27 seniman graffiti turut berpartisipasi dalam agenda Street Dealin #9. Street Dealin kali ini pun turut mengundang seniman graffiti dari beberapa negara tetangga seperti Eggfiasco (Filipina), Haser (Selandia Baru), Katun, Kenjichai, Pakey One (Malaysia), Slap Satu (Singapura), dan Very1 (Jepang). Selebihnya adalah nama-nama yang mungkin sudah tidak asing lagi di kalangan para bomber seperti TUTS, Darbotz, Wormo, Stereoflow, LoveHateLove, Dinas Artistik Kota, Abang8, Adr1, Berandal Aspaleho, Ais Kerim, F21st, Ghost, Jong Merdeka, Hard13, Kimoz, Noah, Older+, Rubs8, Sleeck, dan Sleepyone.

Street Dealin sendiri merupakan gelaran rutin yang digelar sebanyak dua kali dalam setiap tahunnya bagi para pelaku dan pecinta street art. Mengusung tema ‘street culture’, Bima dan kawan-kawan ingin menjadikan Street Dealin sebagai selebrasi street culture itu sendiri. Sekaligus, untuk menampik pandangan-pandangan negatif yang sering terlontar pada budaya skena jalanan. “Skena jalanan biasanya paradigmanya jelek. Ini kita mau menunjukkan bahwa skena jalanan juga ada yang positifnya,” jelas Bima.

Tak bisa ditampik memang, bahwa hingga saat ini pandangan sebelah mata masyarakat yang memandang kegiatan street art sebagai aksi vandalisme masih saja hadir. Padahal, tema-tema street art yang cenderung subversif mengingatkan masyarakat pada realita sekaligus menciptakan kesadaran terhadap hal-hal apa saja yang terjadi di sekitarnya.

Realita mengenai supir bus yang seringkali membawa kendaraan dengan gaya koboi pun menjadi salah satu suguhan beberapa street artist yang berkolaborasi kala itu. Abang8, Stereoflow, Wormo, Ais Kerim, dan Very 1 (JPN) menyulap sebuah bus jurusan Cililitan – Pasar Baru yang kusam menjadi lebih bersemangat dengan berbagai bentuk lettering di sekeliling badan bus. Belum lagi gambar dua mata berukuran besar di bagian depan bus. Seolah-olah menyuruh para pengendara bus untuk lebih awas dalam berkendaraan.

Begitulah. Bagi Bima, para street artist akan menangkap gejolak di masyarakat dengan merespon ruang-ruang publik. Tanpa sadar sebenarnya apa yang ditampilkan para street artist adalah suara-suara masyarakat yang seringkali mendapat perhatian sambil lalu. Sebut saja bahwa street art melucutkan keterbatasan dan mempertemukan berbagai elemen masyarakat dalam wujud rupa. Maka demikian, Bima kembali menegaskan bahwa apa yang disebut dengan street culture bukan selalu hal yang bersifat negatif.

Street culture sendiri merupakan subkultur yang tumbuh di dalam kultur urban masyarakat perkotaan. Dalam Urban Dictionary dikatakan bahwa street culture merupakan gaya popular dari masyarakat perkotaan yang menjadikan jalanan sebagai ruang bersama. Yang kemudian menyerap ide-ide kreatif yang muncul dari jalanan, yang popular disebut street art. Esensi street art sendiri, dikatakan Bima, terletak pada kejelian para street artist dalam menindak dan menyiasati ruang sebagai medium gambarnya.

Di Indonesia sendiri sebenarnya sejak masa perang kemerdekaan, street art dalam bentuk graffiti bisa menjadi alat propaganda yang efektif dalam menggelorakan semangat melawan penjajah Belanda. Misalnya saja, pelukis Affandi yang menuliskan “Boeng Ajo Boeng!” di tembok-tembok jalanan sebagai sebuah slogan yang dibuatnya sendiri.

Sementara secara modern, street art di Indonesia mulai digandrungi pada awal tahun 2000. Hingga sekarang, perkembangan street art di Indonesia begitu masif dan sporadis. Berbeda dengan dulu dimana pelaku street art hanya berada di dalam kalangan mahasiswa di beberapa kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Kini, cakupan pelaku street art semakin panjang secara geografis dan merata. Mulai daari kota besar sampai kota kecil di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan Bali yang semakin banyak memunculkan bomber-bomber baru.

Dalam kurun waktu kurang lebih 15 tahun, street art di Indonesia telah berevolusi menjadi sebuah kultur yang lengkap dengan segala atribut bawaannya. Sebuah kultur yang berhasil menciptakan salah satu skena street art terbesar di Asia. “Ini adalah pencapaian yang layak dirayakan oleh para pelakunya,” kata Bima. Dan saat ini saja, Indonesia sudah menjadi salah satu tujuan berlibur kebanyakan street artist mancanegara.

Tutu a.k.a TUTS, salah seorang street artist dalam Street Dealin #9 mengakui bahwa street art di Indonesia sangat berkembang pesat. “Luar biasa!” katanya. Salah satu penyebabnya adalah era digital yang menghadirkan berbagai macam media sosial yang pada akhirnya membantu para street artist mempublikasikan karya-karyanya. Berbeda dengan awal tahun 2000, ketika media sosial belum terlalu marak. “Kalau dulu sekali gambar, gak lama dari situ udah dihilangin Satpol PP. Enggak sempat dipublikasikan,” tambahnya sedikit mengenang.

Dari segi teknik dan ide pun, Tutu merasa bahwa karya-karya street artist Indonesia sudah tak berbeda jauh dengan karya-karya street artist mancanegara. “Enggak beda jauh kok. Kita sudah cukup liar,” ujarnya. Meskipun begitu, ia mengakui bahwa masih adanya karya-karya street artist Indonesia yang masih terlihat emosional. Tapi dari segi teknik, ia merasa Indonesia mampu menyaingi street artist mancanegara. Terbukti dengan TUTS sendiri yang seringkali hadir dengan gaya 3D dalam setiap karyanya. Selain itu, menurutnya pun banyak street artist Indonesia yang diundang untuk berpartisipasi dalam gelaran-gelaran street art di luar negeri. “Bahkan ada juga yang diminta menggambar untuk komersil,” tambahnya.

Doing graffiti is like vacation! Begitu Tutu berkata. Baginya, menggambar adalah terapi untuk merilekskan tubuh. Oleh karena itu juga, biasanya para street artist jarang mengkonsepkan terlebih dahulu apa yang akan digambarnya. Semuanya dilakukan secara spontan dan bersama-sama.

“Kalau mau dibilang seni, justru itu sisi seru seninya. Kita gambar bareng. Gambar apapun yang kita pikirkan masing-masing. Lalu pas selesai kita lihat, enggak tahunya hasil begini. Itu surprise! Itu chemistry! Karena bagaimanapun street art itu dimulai dari jalan dan dilakukan oleh orang yang berbeda-beda. Bagi kami, jalanan itu seperti medium untuk melahirkan ide,” ujar Tutu.


Mungkin gambar-gambar di dinding itu terkadang akan terasa mengganggu pemandangan, atau terkadang akan terasa menarik untuk dilihat dan dikagumi, pun terkadang bisa hanya untuk dipandang sejenak dan dilewati begitu saja. Terlepas dari apapun impresi yang dirasakan, street art tanpa disadari telah menjadi bagian pengalaman visual sehari-hari masyarakat memberikan gambaran realita masyarakat itu sendiri. Meskipun itu hanya sebatas coretan pensil bertuliskan “Aci Was Here”.