Ada Jakarta Merah Muda dari Metromini
Foto oleh : Hidayat Adhiningrat |
Matahari
mungkin sedang marah. Tak karu-karuan ia pancarkan sinar yang menyengat. Belum
lagi keringat yang mengucur lantaran suhu udara berada di atas 33 derajat.
Lama-lama lelah juga berkali-kali harus bulak balik mengelap leher yang basah.
Ditambah macet dan jalanan yang tertutup – yang membuat kami pun harus melalui
jalan yang lebih jauh. Aku, perempuan di sebelahku, lelaki di depanku, dan
perempuan juga laki-laki yang duduk tidak manis di bus itu mungkin mendumel
dalam hati. “Ah, Jakarta”.
Mataku
tak pernah berhenti melirik ke kanan. Apa daya, kursiku memang berada di paling
kanan. Tidak ada apa-apa yang aneh. Hanya ada gedung-gedung tinggi. Tapi
bagaimanapun aku orang Bandung, yang bilamana sudah hijrah menjadi penghuni
salah satu kamar kostan di Jakarta, tetap merasa bahwa gedung-gedung tinggi itu
tak ubahnya sebuah pemandangan alam pegunungan yang tetap menarik untuk
dilihat. Dengan kata lain, orang Bandung akan tetap menjadi orang Bandung, udik
dengan gedung-gedung tinggi.
Memasuki
kawasan Jalan MH Thamrin, konon sebuah kawasan dimana banyak terdapat
pantulan-pantulan sinar dari kaca-kaca yang tidak lain tidak bukan ada dari
gedung-gedung tinggi, seperti merasa ada sebuah suara ledakan “Buuumm..”. Hiperbolanya,
terkadang aku merasa seperti berada di rumah kaca. Bisa jadi aku menubruk sana
dan menubruk sini. Tubruk sana, tubruk sini. Mati pun akhirnya karena kelelahan
menubruk. Ditambah dengan suara klakson tan..tin..tan..tin..
Mungkin akan menarik jika suara klakson itu dijadikan sebuah harmoni
lelaguan bising.
Tapi
eh..bukan lelaguan bising yang nyatanya kudapat. Menjelang akhir perjalananku
siang itu, muncul dua orang pengamen lelaki. Keduanya tak ayal kulihat seperti
jelmaan Cedric Bixler-Zavala dan Omar Rodriguez-Lopez dari The Mars Volta. Lelaki
pertama, berambut semi kribo, berkaos hitam lengkap dengan tattoo di lengan
masuk pertama menuju tengah bus. Diikuti oleh temannya yang kribo tulen,
layaknya Omar Rodrigues-Lopez sedang mengikuti pertukaran pelajar sebagai mahasiswa
Institut Kesenian Jakarta dengan tote bag berwarna merah berisi ukulele.
Awalnya,
kupikir aku akan dibawa berhalusinasi dengan karya-karya The Mars Volta dengan
bebunyian aneh berkolaborasi dengan suara klakson dan hiruk pikuk jalanan.
Nyatanya tidak, mulut duo berambut kribo tapi bukan Duo Kribo itu malah
melantunkan “Siapa Suruh Datang Jakarta” milik Koes Plus. Siapa suruh datang Jakarta.. Siapa suruh datang Jakarta.. Siapa suruh
datang Jakarta.. Edoe.. Sayang.. Potongan lirik lagu itu terdengar menyapa
dari mulut keduanya, terbagi menjadi dua suara yang riuh tapi memberiku colekan
mesra (yang juga menggerakkan aku untuk sementara mematikan pemutar musik di
gadget-ku).
Malu-malu
aku putar kepalaku ke kiri. Ingin membuka mulut (menganga), tapi malu. Kuputar
lagi kepalaku menghadap ke depan, tepat ke arah kepala sang supir.
Sedikit-sedikit bibirku melebar, menyunggingkan senyum miris. Duh, rasanya
ingin juga menertawakan diri sendiri. Aku tidak merasa tertampar. Tapi seperti
ada yang mencolek lenganku dan berkata, “Eh, gimana di Jakarta? Enak?” sembari
tersenyum tengil dengan alis yang naik turun.
Jakarta,
yang menurut data saja dikatakan jumlah penduduknya mencapai di atas angka
sepuluh juta. Belum lagi penduduk-penduduk ‘ilegal’ seperti aku yang datang ke
Jakarta untuk mencari uang jajan dan ehm..
mungkin ada juga yang sekalian mencari jodoh. Maaf, izinkan lagi aku untuk
berhiperbola, bukan main memang kota metropolitan ini.
Apa
lacur, berpindah pulalah orang-orang dari daerah nun jauh dimana itu ke
Jakarta. Alasannya, Jakarta itu katanya gudang duit. Zaman kiwari seperti ini,
siapa yang tidak tergoda pada penghasilan tinggi? Kemacetan, banjir, udara
panas menyengat, gedung-gedung tinggi yang sedikitnya membuat sakit mata, ditabrak
pun pada akhirnya. Semoga tidak mati akhirnya. Rutinitas yang itu-itu saja.
Waktu seperti pita kaset yang yang diputar cepat. Mungkin jika waktu di Jakarta
ini layaknya pita kaset, Tuhan menekan tombol fast forward setiap harinya.
Belum
lagi isu-isu politik skala nasional yang terus bergulir dengan cepat dan kadang
– maaf – aku pertanyakan juga. Dimana banyak kutemukan di sudut-sudut kota,
mereka-mereka yang menjelma pengamat politik, berlagak idealis, menjunjung
tinggi keadilan, menghina penguasaan modal oleh pihak-pihak tertentu, tapi
sayang oh sayang, gayanya tetap parlente. Aku pun yakin, mereka tidak
sepenuhnya penduduk asli Jakarta. Dan aku, hanya menjadi seorang pengidap “apatis
ria” ala Sore.
Modal
untuk gaya hidup yang mau tak mau harus dilakukan. Bagiku, minimalnya
mengeluarkan kocek untuk karaoke dan ngopi-ngopi cantik di hari-hari pertama
gajian. Atau membeli kutek berwarna
merah muda yang manis jelita demi penampilan yang kutuntut harus semakin
ciamik. Modal-modal yang pun pada akhirnya membuat akhir bulan mendadak ingin
diet dengan alasan kesehatan.
Toh,
nyatanya akan selalu ada pola gaya hidup baru ketika kita menginjakkan kaki di
Jakarta. Karena aku tak mau disebut hipokrit, aku pun mengaku demikian. Bahwa
bagaimanapun kuatnya identitas Bandung menempel dalam diriku (karena dari
pertama kali aku membuka mata melihat dunia hingga usia dua puluh enam kemarin
aku tercatat sebagai penduduk Kota Bandung dan sampai sekarang), tanpa sadar
kepalaku pun menerima identitas baru yang tanpa sengaja kujalani juga.
Aku,
dan mungkin juga para perantau lain, sedikitnya mendumel akan identitas baru
yang ‘terpaksa’ masuk ini. Minimal, mendumel di akhir bulan berkoar-koar
penyesalan mengapa sebelumnya aku harus keluarkan uang untuk ini dan itu. Mungkin
ada juga yang sampai menghardik.
Tapi
bukan maksudku membenci dan menyalahkan Jakarta. Toh sudah satu tahun lebih aku
di Jakarta, muncul juga perasaan senang dan tak sabar ketika hendak kembali ke
Jakarta dari agenda pulang kampung. Ada senyum menyungging ketika aku sampai di
Stasiun Gambir ataupun shelter Baraya Travel. Ada pula rasa rindu pada
lengketnya Jakarta.
Jakarta
memang menyebalkan. Metropol(hectic). Tapi setidaknya ia memberikan aku, juga
mungkin kita – para perantau – pelajaran baru: menikmati ledakan bom. Ledakan
yang kacau menjalar ke berbagai arah hingga terbentuklah suatu kerusakan.
Kerusakan berwarna merah muda, cantik. Kerusakan yang nyatanya tetap
menimbulkan rindu dan senyum kecil yang menyungging mesra.
I could never hate
you.. I could never hate you..
Let’s kiss and make
up.. Let’s kiss and make up.. Let’s you and I.. Kiss and make up..
(Saint Etienne –
Kiss and Make Up)
Iya,
dulu aku pernah mencaci Jakarta dan para perantau yang ada di dalamnya. Tapi
aku tak pernah bisa membencinya. Malah, aku ingin menciummu, Jakarta.
Begitulah
Metromini 640 yang kutumpangi siang tadi. Bus berukuran sedang agak kecil, ah
entahlah, berwarna merah biru. Hobinya menginjak pedal rem secara mendadak,
banting kanan dan kiri. Jalannya ugal-ugalan, sempoyongan setelah sebelumnya
mabuk parah lantaran malam tadi meneguk setengah botol Black Label. Mengeluarkan kentut berbau keras, lengkap dengan
semburannya yang kehitaman. Memberikan udara pengap dan keringat yang
berlomba-lomba membanjiri badan. Si bengal yang selalu memberikan cerita-cerita
lucu dalam setiap perjalanannya. Menjadi alat pelengkap bagiku untuk “menikmati
ledakan bom”.
Maka,
sebelum metromini itu berhenti di pemberhentianku, si jelmaan Cedric berkata padaku:
“Turunnya pake kaki kiri ya Kak.” Baiklah siluman Cedric, aku akan turun dengan
kaki kiri. Tapi aku tidak akan mengikutimu menyebrang sembarangan. Aku akan
gunakan jembatan penyebrangan untuk menyebrang. Aku takut tertabrak.
Rawajati, 6 Maret 2015 | Dini hari