WARIA JUGA MANUSIA

Jul 21, 2008

WARIA JUGA MANUSIA


Saat ini dimana-mana dengan mudahnya kita menemukan waria. Khususnya di Kota Bandung. Setiap sudut Kota Bandung dipenuhi oleh waria-waria yang sedang beraktivitas. Ada yang mengamen di siang harinya, atau ada yang menjadi pekerja seks komersial di malah harinya. Pada umunya pandangan orang terhadap waria itu menggambarkan sesuatu yang negatif. Tapi apa semuanya negatif?

Waria sangat erat dengan dandanannya yang seronok dan menor. Baju-bajunya yang terbuka, layaknya wanita-wanita malam. Waria adalah lelaki, lelaki yang berdandan seperti wanita. Apa sebabnya mereka seperti itu? Selain karena hal biologi yang entahlah apa itu, sifat ini muncul karena pengaruh lingkungan terdekat. Atau mungkin memang sudah dari sananya seperti itu. Seperti yang diceritakan oleh Mbak Hani, ketua IWABA (Ikatan Waria Bandung), “Saya itu dari SD emang sudah tertarik sama laki-laki. Terus pas SMP saya nyoba-nyoba aja dandan, eh keterusan..”. Lingkungan bisa sangat mempengaruhi pertumbuhan seseorang. Lingkungan yang kurang baik bisa membuat seseorang menjadi buruk. Semua ini terjadi karena proses sosial, dan proses pembentukan jati diri.

Dan seperti yang kita tahu, waria kebanyakan dipandang negatif oleh khalayak. Tapi sebenarnya, waria tidak seburuk yang mereka kira. Ada yang bilang waria itu jahat. Padahal kalau kita mendekatinya dengan baik-baik, mereka juga akan berlaku baik pada kita. Seperti waktu saya menemui seorang waria yang biasa mengamen di bawah jembatan Pasupati, Mbak Ega. Dia menyambut saya dengan ramah. Awalnya saya memang takut, tapi lama kelamaan, saya merasa enak berbincang-bincang dengannya. Banyak sekali pengalaman-pengalaman mereka dalam kehidupan. Dan hal tersebutlah yang patut kita banggakan dari seorang waria.

Mereka tetap bertahan dengan keanehan mereka. Banyak orang mencemooh mereka, tetapi mereka terus bertahan. Waria bukanlah makhluk-makhluk hina. Walaupun tingkah laku mereka bisa dibilang menyimpang dari agama, tapi pada kenyataannya mereka tetap beragama. Ada suatu komunitas waria di Jakarta, yang rutin mengadakan pengajian. Dari situ juga kita bisa lihat, bahwa mereka tetap menjalankan kewajibannya sebagai orang yang beragama. Selain itu, solidaritas antar waria itu sangat tinggi. Dalam IWABA misalnya, kalau ada salah seorang waria yang sakit, waria-waria yang lain akan mengumpulkan uang untuk membantu si waria yang sedang sakit itu. Waria juga suka bersosial. Contohnya, salah satu waria di Kota Yogyakarta, dia sudah mempunyai beberapa anak asuh. Dan ketiga hal itu cukup mebuktikan kalau waria itu tidak selalu buruk.

Mungkin mereka memiliki alasan-alasan tersendiri mengapa mereka memilih menjadi waria. Ada beberapa diantara mereka yang karena memang untuk mencukupi kebutuhan hidup. Dan juga karena ada yang memang karena mereka nyaman dengan wujud dan kehidupannya yang seperti itu. Yang namanya nyaman memang susah diubah. Kita juga sama, kalau sudah merasa nyaman dengan sesuatu hal, kita juga pasti akan memilih hal tersebut.

Tapi sayangnya, perlakuan dari masyarakat masihlah memandang waria sebagai sesuatu yang buruk. Banyak dari mereka yang mencemooh waria. Seperti yang dikatakan Project Pop “Jangan Ganggu Banci!”. Kalau kita tidak mengganggunya, saya yakin mereka juga tidak akan macam-macam kepada kita. Seperti kata pepatah “Don’t judge a book by it’s cover”. Itulah yang seharusnya kita lakukan pada waria. Jangan saja karena waria itu berpenampilan sangat menyimpang lalu kita menganggap mereka juga buruk. Waria juga manusia. Kita sebagai manusia yang diberi kenormalan oleh Tuhan YME, tidak seharusnya mencemooh waria, tetapi mari kita rangkul waria. Mereka juga sama seperti kita, manusia yang memiliki hati dan perasaan.