Review : So Real/Surreal (Nugroho Nurarifin)

Sep 17, 2011

Review : So Real/Surreal (Nugroho Nurarifin)




"Hidup sekali pakai". Kalimat tersebut menjadi pembuka sebuah novel kedua karya Nugraha Nurarifin. Saya sebut ini novel komunikasi, walaupun tidak sepenuhnya komunikasi. Novel ini mengangkat mengenai keterasingan manusia, namun bukan dalam konteks klasik Marxisme, tapi lebih cenderung dalam budaya massa atau komunikasi massa saat ini.

Novel itu cukup sederhana dan cenderung mengusung genre pop. Namun di balik kesederhanaan dan genre pop yang pada umumnya dinilai tidak ada apa-apanya dibandingkan novel-novel lain karya para penulis-penulis ternama Indonesia, novel ini memberikan sesuatu yang bagi saya pribadi sungguh nyata, so real. Mengusung kehidupan urban Kota Jakarta yang penuh dengan lika-liku kehidupan yang klasik dan mudah ditemui saat ini. Ditambah dengan ide keterasingan seorang indovidu yang melarikan diri dari kehidupan sosial yang nyata/real, dan memilih melakukan hubungan sosial yang tidak nyata/surreal.

Adalah Bunga, ya sebut saja Bunga. Seorang laki-laki muda dengan masa lalu kelam yang membuatnya memutuskan untuk menganut 'hidup sekali pakai'. Seorang pengagum sebuah blog dengan tulisan-tulisan ringan seputar kehidupan sehari-hari penulis. Bagi Bunga, membaca blog adalah satu-satunya hiburan yang dia miliki.

Adalah Nugi, seorang laki-laki muda yang terobsesi pada threesome. Tapi tak pernah didapatnya, karena sang kekasih sudah tentu menolaknya mentah-mentah. Namun, suatu saat, hadirlah baginya sebuah kesempatan untuk mencapai obsesinya.

Adalah Anisa, seorang perempuan mungil dan menggemaskan, pecinta binatang dan film-film animasi. Seorang perempuan posesif, yang selalu takut kalau kekasihnya melirik perempuan lain.

Adalah Raymond, seorang pria 40tahunan. Tampan, kaya, tentunya, usahanya ada di mana-mana. Seorang biseks sejati.

Empat tokoh di atas mewakili keseluruhan cerita dalam novel ini. Keempat karakter ini bertemu di tengah pesatnya perkembangan teknologi komunikasi dan budaya massa. Terjebak dalam sebuah dunia yang dianggap nyata bisa jadi hanya imaji. Sedangkan yang dianggap hanya sebuah khayalan, justru mungkin adalah kenyataan. Tanpa bisa membedakan batas real dan surreal, mereka tersesat. Tersesat dan tanpa mereka sadari terjebak dalam sebuah lingkaran hidup dengan konsekuensi-konsekuensi yang mereka pun tidak tahu apa.

Dengan dasar teori-teori budaya massa, penulis berhasil menceritakan kondisi kesepian manusia secara mencengangkan. Ditambah dengan gaya penulisannya yang cukup baru, walaupun di luaran saya mendengan bahwa penulis adalah seorang plagiat. Di orisinil atau hasil tiruannya novel ini, ditambah dengan beberapa ilustrasi dan tipografi, penulis berhasil membawa pembaca ke sebuah dunia absurd. Terkadang pembaca, termasuk saya, mencoba memahami kisah perkisah dalam novel ini sebagai sesuatu yang absurd namun nyata. Mungkin, tanpa kita sadari, kisah perkisah dalam novel ini sebenarnya ada di sekitar kita.

Memanglah, perkembangan teknologi komunikasi semakin kesini semakin berkembang. Perkembangan tersebut pun dihadapkan kepada kita, masyarakat di tengah budaya urban perkotaan. Bisakah kita menolaknya? Tentu tidak.