RUNGLA, Part #2

Sep 12, 2011

RUNGLA, Part #2


Dibukanya gagang pintu kamarnya yang telah sedikit berkarat. Merah warna wajahnya. Dilihatnya si hitam melolongkan mata hitam polos menuju ke arahnya.

Hai sayang.. Kau pasti sudah lama menungguku bukan? Kau tahu, malam ini aku bahagia. Kau tahu mengapa? Lihat, apa yang kubawa! Aku membawa seonggok penis! Penis Ranu! Ya, penis milik Ranu! Hahaha. Dia pikir aku mencintainya sehingga aku mau menyerahkan seluruh yang aku miliki kepadanya. Tapi tenang sayang, aku sudah memilikimu. Tak mungkin bila aku mencintainya. Lagipula dia sudah mati. Sebentar lagi dia akan ditemukan dalam keadaan tergelepak lemas tanpa udara, dan dengan penis yang terpotong. Dan semoga aku masih bisa bertemu dengannya di kamar mayat di rumah sakit. Karena aku lupa mengucapkan terimakasih.

Diletakannya penis yang belum membusuk itu ke dalam aquarium di dalam lemarinya. Sehingga ada dua. Ya, ada dua! Yang satu adalah penis milik salah seorang teman kencannya yang lalu. Dan yang satunya lagi adalah penis milik Ranu, pria tampan petualang yang pernah mencintainya. Ya, mungkin mencintainya, atau entah hanya menginginkan tubuhnya. Dan lalu, Rungla berangkat ke singgasananya. Ia tidur, dan tertidur.
--------------------

Dalam benaknya, Rungla bertanya-tanya, apa kabar Ranu? Apakah dia mati? Atau apakah dia masih hidup dengan kelaminnya yang cacat? Di ruang itu, dia memandangi seluruh tubuh-tubuh yang tertutupi kain putih. Di ruang mayat, dia membuka satu persatu kain yang menutupi tubuh-tubuh tak berjiwa di sana. Ah tak ditemukannya sosok Ranu. Kemana Ranu? Namun tiba-tiba segerombolan petugas rumah sakit memasuki ruang mayat dan membawa sepotong mayat.

“Sedang apa kau, Rungla?”
“Ah tidak, aku hanya ingin mengecek keadaan mayat-mayat ini. Aku takut kalau mereka tidak aman. Karena kudengar banyak terjadi penculikan mayat di rumah sakit untuk nantinya dipotong-potong.”
“Ah kau ada-ada saja.. Di sini kan ada satpam. Mereka pasti aman.”

Rungla diam dan beranjak keluar dari ruang mayat. Entah mengapa, rasa penasarannya akan mayat yang baru saja masuk tadi sangatlah besar. Siapa dia? Apa mungkin dia adalah Ranu? Rungla terus terdiam di depan pintu ruang mayat. Dan keluarlah segerombolan petugas yang baru saja menyimpan mayat di dalam.

“Eh, kalau boleh tahu, mayat yang tadi kau bawa, meninggalnya karena apa?”
“Kamu nggak baca Koran hari ini? Mayat itu ditemukan dini hari tadi di bawah monumen. Kamu tahu? Mayat itu laki-laki, tapi penisnya nggak ada. Tapi ada bekas potongan. Ngeri banget ya? Kalau memang dia dibunuh, kok yang membunuhnya bisa sesadis itu?”
“Wah.. Mengerikan! Mengerikan sekali! Memegang pisau pun aku tak berani. Apalagi sampai membunuh orang, dan apalagi kalau harus memotong penis orang. Kurasa pelakunya orang gila, psikopat! Kasihan sekali pria itu ya..”
“Ya begitulah.. Kalau aku menemukan orangnya, mungkin langsung aku akan membawanya ke rumah sakit jiwa. Setidaknya dia aman di sana.”
“Hahaha.. Ya, aku juga akan melakukan hal yang sama kalau aku tahu siapa pembunuhnya. Semoga pembunuhnya itu diberikan hukuman yang setimpal dengan penyiksaan yang dialami lelaki itu.”

Rungla selalu memiliki lidah yang lihai untuk menjawab. Diperlihatkannya wajah takut karena merasa ngeri atas perlakuan si pembunuh terhadap korban yang sudah ada di dalam ruang mayat, yang adalah Ranu. Selepas bercakap-cakap Rungla beranjak pergi meninggalkan temannya. Rungla merasa lega, karena Ranu telah mati. Dan mungkin lain kali, sebelum Ranu dipulangkan, Rungla ingin untuk terakhir kalinya menikmati wajah Ranu yang tampan itu.
--------------------

Anak laki-laki itu terus meringis kesakitan. Tulang di pahanya masih saja terasa begitu linu dan membuatnya tak nyaman. Bergerak pun baginya begitu susah. Kecelakaan yang terjadi padanya seminggu lalu ternyata memberikan penyiksaan tersendiri untuknya.

Anak laki-laki itu menjatuhkan diri dari lantai dua rumahnya. Dia berniat untuk mengakhiri hidupnya. Umurnya baru saja menginjak 17 tahun. Namun, di umur ke-17 ini dia mendapatkan hadiah yang begitu indah, yang tak pernah disangka-sangka. Ya, hadiah perasaan gelisah dan depresi setiap saat. Sampai beberapa kali mencoba untuk bunuh diri dengan berbagai cara. Namun, Tuhan masih menginginkan dia hidup. Percobaan bunuh dirinya selalu gagal. Dan dia kembali depresi, gelisah, dan mencoba lagi untuk bunuh diri. Begitu seterusnya.

“Sande, bagaimana keadaanmu sekarang?”, tanya Rungla.
“Beginilah suster, mungkin aku memang ditakdirkan untuk selama-lamanya menikmati kasur dan bercinta dengan bantal dan guling”, jawab Sandekala yang selalu pesimistik.
“Kau tak boleh berkata begitu sayang. Aku yakin, kau pasti sembuh.”
“Bagaimana aku bisa sembuh kalau kakiku saja sangat sulit digerakkan? Kau tenang saja suster, aku sudah tak berharap banyak. Aku sendiri bingung, kenapa yang namanya Tuhan tidak mengizinkanku untuk mati? Kalau orang-orang bilang Tuhan menyayangi umatnya, dan dia juga menyayangiku, mengapa dia sama sekali tidak mengabulkan permintaanku?”
“Untuk apa kamu mati, Sande? Kamu pikir di sana kamu bisa bergerak bebas? Lebih baik kamu terus hidup, biarpun dengan kecacatanmu ini, aku yakin kamu akan terus maju. Atau jangan-jangan yang kamu takuti adalah tidak akan ada seorang perempuan yang mau denganmu?”, tanya Rungla sambil tersenyum manis.
“Ah perempuan.. Aku tidak perduli dengan perempuan. Makhluk apalah itu!”
“Hahaha.. Sudahlah, lebih baik kamu makan saja makanan yang aku bawa. Aku sudah capek-capek loh bawa makanan-makanan ini khusus untukmu.”
Penolakan Sande untuk makan sepertinya sudah biasa didapati Rungla. Namun dengan segala rayuan mautnya, Rungla selalu berhasil memberikan beberapa suap bubur masuk ke dalam lobang dua bibir Sande yang merah merona. Dan kau tahu? Rungla pun diam-diam gemas para kemerahan bibir Sande. Ingin rasanya Rungla menciumi dan menjilati bibir merah itu yang tampaknya haus sekali akan nafsu liar.
“Suster, temani terus aku di sini!” pinta Sande saat Rungla hendak beranjak pergi dari kamarnya. “Ya sayang, tapi aku harus keluar dulu sebentar. Ada hal yang harus aku lakukan dulu. Nanti aku pasti kembali ke sini.”
-------------------

Dibukanya satu persatu kain yang menutupi tubuh-tubuh yang tertidur pulas di ruang gelap itu. Mana? Tanyanya dalam benak. Mana Ranu? Ada sekitar dua puluh lima mayat di ruangan itu. Namun yang mana tubuh Ranu? Rungla tak tahu.

Tapi ternyata, Tuhan memang mengizinkan mereka bertemu sebelum tubuh Ranu habis termakan belatung-belatung di dalam tanah. Rungla membuka kain putih itu perlahan. Dilihatnya mata Ranu yang tertutup, namun dirasanya dalam mata yang tertutup itu tersirat sebuah dendam yang begitu membabibuta. Disentuhnya pipi Ranu yang putih, mengingatkan Rungla ketika pertama kali ia mengecup pipi itu. Diusapnya hidung mancung Ranu. Ia teringat, setiap bercinta dengannya, Ranu selalu berkata, “Aku punya hidung ini untuk bisa mencium wewangianmu, Rungla”. Dikecupnya bibir Ranu yang membisu namun seperti banyak amarah yang meluap cuat di dalamnya.

Halo sayang.. Apa kabarmu sekarang? Lukamu masih terasa sakit? Ah, maafkan aku. Aku tak sengaja melakukannya. Tiba-tiba saja tanganku tergerak untuk mengiris penismu. Tapi kamu tenang saja, barang sakralmu itu aman di tanganku. Tidak akan kuberikan pada orang lain. Tapi akan kujaga dan kurawat baik-baik. Selamat jalan, Ranu! Semoga kamu bisa menemukan gadis-gadis lain yang bisa kau tiduri di sana.
--------------------

Keringat membasahi wajah polos Sandekala. Matanya meringis. Nafas pun tak beraturan. Ia bingung, ia gelisah. Ingin menangis, tapi air mata telah membeku menjadi kristal-kristal tajam yang siap menusuk dan melukai siapa saja yang mengganggunya.

“Sande, ada apa denganmu?”, tanya Rungla sesaat memasuki kamar rumah sakit yang sunyi itu. Namun, tak didengarnya sedikitpun kata-kata dari anak laki-laki itu. Yang didengarnya hanya desahan gelisah seorang anak laki-laki polos, seperti seorang anak yang kebingungan mencari induknya. Dilihatnya tubuh Sande tak bergerak sedikitpun, matanya pilu, bibirnya pucat. Ada apa dengan anak ini? Tanya Rungla dalam benak.
“Sande, kau baik-baik saja?” Digenggamnya tangan anak laki-laki itu. Diusapnya rambut anak laki-laki itu. Pun pada akhirnya, hanya dua kata yang terdengar. “Aku takut.”

Alis Rungla semakin meringis. Semakin heran dilihatnya anak laki-laki yang tampak seperti mayat hidup itu. “Apa yang kau takuti, Sande?”. Sande hanya menberikan jawaban yang sama, takut. Apa yang ia takuti? Aku? Ada apa denganku?

“Kau tak perlu takut, sayang. Ada aku di sini menjagamu. Kau tenang saja, tak akan lagi ada orang lain yang mengganggumu. Mari sini kupeluk..”, rayu Rungla. Dengan manis, Rungla memberikan dekapan hangat pada pasiennya yang entah mengapa begitu saja merasa takut. Kembali dibelainya rambut yang berantakan itu. Diusapnya pipi dan bibir yang pucat itu. Lalu turun menuju usapan pada dada. Dan turun lagu menuju usapan dalam perut. Dan kembali turun lagi hampir menuju usapan di selangkangan. “Hei, masihkah pahamu terasa linu, Sande?”. Diam-diam Rungla begitu gemas dengan daging yang sebentar lagi akan ia sentuh jika usapannya terus menurun.
“Ya masih, memang kenapa?”, jawab Sande selalu polos.
“Tak apa, aku hanya ingin membantumu menyembuhkan retak tulangmu. Kau mau?”
“Tentu saja aku mau. Aku sudah bosan rasanya terus tidur di kasur ini..”
“Baiklah.. Biarkan aku memijit penismu ya. Karena, kau tahu? Jarak antara penis dan bagian tulang pahamu sangatlah dekat. Otomatis, saraf-sarafnya pun saling berkesinambungan. Jadi, biarkan aku memijit penismu agar kau sedikit merasa tenang, nikmat, damai, dan tak perlu kau rasakan ngilu pada pahamu. Nikmatilah..” Rungla berkelit hebat dengan segala tipu dayanya, Sande hanya diam dan meberikan satu anggukan bingung.

Diturunkannya posisi tangan yang tadinya berada hampir di selangkangan, menuju bagian selangkangan. Dan, ya! Didapatinya daging itu seperti sedang tertidur pulas. Ah, dia sedang tertidur pulas. Harus segera dibangunkan, kalau tidak, ia akan mati!

Perlahan, Rungla mengusap daging yang sedang tertidur pulas itu. Sande masih terlihat dengan wajah polosnya yang tidak merasakan apa-apa. Kembali Rungla mengusapnya lebih gemas. Sande pun masih saja dengan wajah polosnya. Dibuatnya Rungla kebingungan. “Sande, kau tidak merasakan apa-apa?”. Sande hanya tersenyum manis. “Bagaimana rasanya, Sande?”. Sande kembali menawarkan senyum manisnya. “Jadi bagaimana, Sande?”. Sande tersenyum dan perlahan memejamkan mata.
---------- ----------

Tiba-tiba bayangan bocah laki-laki yang sedang tersenyum lalu kemudian memejamkan mata muncul di dalam kaca. Sambil terus menyisir rambutnya, Rungla mengamati wajah yang begitu polosnya itu. Mungkinkah Sande benar-benar tidak merasakan apa-apa tadi siang? Angka tujuh belas tampaknya belum cukup membuat Sande menjadi seorang pejantan yang diam-diam diharapkan Rungla.

“Meoong..”, si hitam tiba-tiba membuyarkan lamunan Rungla.
“Hai sayang, ada apa? Kau pasti ingin dibelai?”
“Meoong..”, si hitam terus mengeong sambil membelalakkan matanya.
“Aha.. Kau marah ya gara-gara aku memikirkan Sande?”
“Meoong..”, lagi-lagi si hitam mengeong dengan mata yang membesar.
“Kau tahu? Begitu penasarannya aku pada bocah laki-laki itu. Dia begitu tersiksa dengan kegelisahan-kegelisahan yang ia dapati hampir setiap harinya. Tak jarang aku menemukan dia dengan wajah seperti orang yang ketakutan. Wajahnya selalu pucat, tatapannya selalu dingin.”
“Meoong..”, kembali si hitam mengeong dengan mata besarnya, kali ini tampaknya si hitam menyimpan kecurigaan.
“Tenanglah, sayang. Kau tak perlu takut. Aku hanya menyimpan rasa penasaran yang begitu besar padanya. Aku tak akan meninggalkanmu, sayang.. Dia masih kecil, tak cukup untukku, tenang saja.”
“Meoong..”, kali ini si hitam mengeong dengan wajah yang begitu manja.
“Kemarilah, sayang. Sudah malam, mari kita tidur. Kau ingin tidur di dekapanku?”
“Meoong..”, si hitam mengeong sambil berjalan menuju dada Rungla yang sudah menunggunya di ranjang berkelambu. Seperti pasangan yang baru melakukan bulan madu.
---------- ----------

Seorang pria dengan darah di sekujur tubuhnya muncul membuka gerbang Rumah Sakit. Rambutnya berubah dari hitam menjadi merah. Wajahnya pucat, warna merah busuk membuatnya semakin pucat. Kemejanya yang kehijauan terlihat sepertu ungu yang membusuk diterpa darah. Suasana kikuk. Pria itu meringis, meronta. Dia didorong, dan terus didorong. Dan BRAKK! Pintu UGD ditutup.

Kejadian tadi membuat Rungla meringis, teringat Ranu. Apakah ketika Ranu masuk ke Rumah Sakit ini dia masih dalam keadaan hidup dan meronta-ronta seperti pria tadi? Ia teringat darah yang keluar dari kelamin milik Ranu, begitu banyak, mengalir seperti siap membanjiri tanah. Ingatannya akan Ranu pun membuat Rungla teringat ada seorang bocah laki-laki kesayangannya yang menunggu di kamar. Menurut kabar, hari ini Sandekala akan pulang. Rungla pun beranjak pergi menuju kamar pasien.
---------- ----------

Dalam kamar, Sande masih tertidur pulas. Mungkin dia bermimpi bagaimana hari terakhirnya bersama Rungla. Matanya menutup, lentik bulu matanya semakin tak terlihat jelas. Bibirnya menutup. Mungil, manis, walaupun masih pucat. Rungla begitu menikmatinya. Namun, tiba-tiba mata yang ada di hadapannya terbuka lebar.

“Hai suster, selamat pagi. Kau tahu, hari ini aku akan pulang. Sesungguhnya aku masih ingin dirawat di sini. Di sini aku bebas. Ah biarpun ada kamu, tapi aku tetap merasa bebas.”, sapa Sande.
“Ya aku tahu, kamu akan pulang hari ini. Dokter Dewa memberitahuku tadi pagi. Ah, tak apalah sayang. Di rumah kau juga bisa bebas. Tak usahlah kau banyak mengontrol dirimu. Biarkanlah dirimu lepas, bebas. Lakukan apa yang ingin kamu lakukan.”

Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Seorang Ibu dan seorang Bapak datang. Merekalah orang-orang yang mengasuh Sande sejak bayi dan memberinya nama Sandekala, saat petang menjelang malam. Mereka tersenyum. Sande adalah orang yang begitu mereka rindukan. Hampir satu bulan Sande menjalani perawatan di Rumah Sakit ini, mereka hanya datang pada dua minggu pertama. Dengan alasan urusan bisnis di luar kota, mereka menitipkan Sande pada Rungla. Hanya berbekal teknologi tinggi masa kini, Sande dan kedua orangtuanya masih tetap bisa berkomunikasi lewat yang orang-orang menyebutnya, internet.

“Halo anakku sayang, akhirnya kau pulang juga. Kita bisa berkumpul kembali di rumah ya.. Kami begitu merindukanmu, nak”, ujar sang Ibu sambil menciumi kening Sande. Namun, sang Ibu tak kunjung juga mendapat balasan kecupan dari Sande. Mungkin baginya, Ibunya sudah lama mati.

Sembari membereskan barang-barang Sande, Rungla diam-diam memperhatikan tingkah laku kedua orang tua itu pada anak kesayangannya, Sande. Tahukah kau? Aku menyirat sebuah kepalsuan di sana. Rindu? Dia bilang rindu? Kemana saja mereka akhir-akhir ini? Tidak bisakah mereka sedikit melupakan bisnisnya hanya untuk anaknya semata wayang? Ah, Sande.. Bocah lelakiku.. Kau memang beruntung dengan orang tuamu yang bergelimang harta, tapi aku rasa kau sama tidak beruntungnya denganku, memiliki orang tua yang ‘sakit’. Ibuku memang masih ada, dan aku pun masih menganggapnya ada. Namun, tidak bagi Ayahku. Bagiku, ayah sudah lama mati. Terkubur di dalam tanah, bersama cacing-cacing dan serangga-serangga. Ku harap, tubuhnya sudah membusuk sekarang.

Kedua orang tua itu membantu Sande turun dari kasurnya. Sande turun dan keluar kamar bersama dengan kedua orangtuanya. Namun, sebelum keluar, tak lupa Sande memberi senyumannya pada Rungla. Senyum khasnya, dingin dan berkoar-koar seperti api.

Rungla menghela nafas, sambil mencoba kembali merapikan dan membersihkan kamar. Namun, saat membuka sebuah laci yang ada dalam kamar itu, Rungla terkaget. Ada selembar kertas yang begitu menarik perhatiannya. Selembar kertas dengan tulisan yang cukup acak, seperti tulisan seorang anak tujuh tahun yang baru belajar menulis.

“Jum’at depan, pukul 4 sore di Taman Hutan Raya.”
---------- ----------

Jum’at, 15.00 WIB

Dengan seragam putih perawatnya, Rungla berdiam di tengah hiruk pikuknya jalanan kota. Dilihatnya segerombolan sopir taksi sedang mengadu nasib di tengah teriknya matahari sore itu. Namun, dilihatnya segerombolan sopir taksi yang sedang asik bercengkrama di halte bus tampak asik dengan perbincangannya. Mereka tampak begitu menikmati. Tampak juga seorang nenek-nenek yang hampir setiap hari ada di halte bus itu. Khas dengan rambut putih, kulit hitam yang semakin mengkerut, pakaian batik, sebatang rokok kretek di tangan, dan tak lupa, payungnya. Ya, payungnya yang berbunga-bunga. Rungla ingat, setiap menjelang Maghrib, setiap Rungla keluar dari Rumah Sakit, nenek itu selalu ada di halte bus tersebut. Selalu menunggu bus yang sama, dengan berkata pada setiap orang, “Aku mau ke tempat saudaraku di Leuwi Panjang.” Sambil bercakap-cakap dengan para sopir taksi di sana, terkadang nenek itu tertinggal oleh bus. Rungla pun tak pernah tahu bagaimana Nenek itu bisa pulang.

Jum’at, 15.30 WIB

Sopir Taksi 1 : “Ah, akhir-akhir ini saya sering kelelahan. Padahal penumpang ngga banyak-banyak amat.”
Sopir Taksi 2 : “Banyak atau ngga banyak penumpang capeknya tetap sama! Sampai-sampai di rumah istri saya mengeluh, sambil bilang ‘mas kok lemas banget sih malam ini?’.
Sopir Taksi 1&2: “Hahahahaha”
Nenek : “Ah kalian ini, terlihat seperti pejantan tangguh tapi kok ya loyo.. Saudaraku di Leuwi Panjang ada tuh susu yang mbikin kuat. Mau? Ada tuh satu gentong.”

Percakapan mengenai pejantan tangguh mengingatkan Rungla kembali pada kertas yang dilihatnya di dalam laci kamar Sande satu minggu yang lalu. Ada apa di hutan? Haruskah aku mengikutinya? Ah, dia kan masih kecil, haruskah aku menuruti kemauan bocah yang masih begitu polosnya itu?

Jum’at, 15.45 WIB

Mengapa aku teringat Sande ketika mendengar percakapan si sopir taksi dan nenek itu mengenai pejantan tangguh? Sande bukan pejantan! Dia masih anak ayam yang menyusu pada induk, dengan mata dan raut muka yang begitu polos.

Namun, entah dorongan apa yang ada dalam dirinya, ia begitu saja memanggil seorang sopir taksi yang sedang asik berguyon. Seakan-akan ada seseorang yang membisik padanya, “Panggillah taksi itu, lalu pergilah ke hutan. Sebentar lagi sudah pukul 4 sore.” Tanpa pikir panjang, Rungla memasuki taksi itu.

“Mau kemana mbak?”
“Ke Taman Hutan Raya ya di atas..”
“Oke deh, Mbak. Tapi ngga takut apa sudah sore begini?” Rungla diam tanpa jawaban. Dalam hatinya, Rungla hanya ingin cepat sampai di hutan itu. Tanpa disadarinya, Rungla begitu menunggu-nunggu sore itu.
---------- ----------

Jum’at 16.17 WIB

Pepohonan di sekitarnya seakan tersenyum jahat padanya. Mereka menari, seperti menari menyambut kematian. Satu persatu pohon dilihatnya. Diikutinya jalan setapak yang penuh dedaunan itu. Rungla tak tahu di mana harus menemukan Sande. Tak disadarinya, pohon-pohon yang menari sinis itu memberikan petunjuk untuknya.

Dilihatnya seorang bocah laki-laki yang sedang duduk termenung di balik semak-semak. Tak salah lagi, itu pasti Sande, pikir Rungla. Rungla mencoba mendekatinya. Rungla berjalan perlahan ke arahnya. Dan..

“Apa kabar, suster?”, suara itu begitu mengagetkan Rungla. Belum sempat ia menyapa bocah laki-laki itu, tapi ia sudah mendapatkan sapaan.
“Aku baik. Bagaimana kakimu? Sudah membaik?”
“Cukup.”
“Cukup membaik? Baguslah, aku ikut senang.”
“Cukup membuatku tersiksa.”

Beberapa lama mereka terdiam tanpa sepatah kata. Rungla dan Sande seperti berlomba-lomba mengeluarkan hembusan nafas. Tidak ada yang berkata. Tidak ada yang memandang. Hanya seekor lebah yang tiba-tiba hingga di antara dedaunan. Namun, tak digubrisnya pun lebah itu. Tak peduli lebah itu akan menyengat kulit-kulitnya, lebah itu dibiarkan terbang bebas mengelilingi tubuh Rungla dan Sande. Deraunya terdengar indah bagi sepasang makhluk yang sedang asik menikmati sepi sore itu.

Jum’at, 17.37 WIB

“Sandekala, sudah hampir petang. Kau yakin kita akan berada di sini terus?”
“Aku ingin menunggu gelap, baru kita pulang.”
“Kau tak takut berada di sini. Jalanan pasti gelap, kau membawa penerangan?”
“Gelap juga petunjuk.”

Kembali terdiam pun, akhirnya.

Jum’at, 18.30 WIB

Gelap sudah. Tanpa sinar. Tanpa suara. Bulan pun seperti masih malu-malu menampakkan wujudnya. Mungkin dia kelelahan karena setiap malam harus terus bekerja menerangi malam. Dan sekarang, ia ingin beristirahat.

Rungla yang sedari tadi hanya diam, tiba-tiba saja merasakan tubuh Sande berada begitu dekat dengannya. Digenggamnya tangan Sande yang berada tepat di kakinya. Nafas Sande pun terasa begitu dengan dengannya. Dekat dengan lehernya yang sedari tadi kedinginan karena angin. Rungla menoleh. Dan dipagutnya bibir Sande yang sedari tadi berada di dekat lehernya. Sande membalas. Dipagutnya bibir Rungla yang telah memagutnya terlebih dahulu. Dipeluknya tubuh Rungla. Kembali lagi dipagutnya bibir Rungla yang membeku karena dingin itu. Gelap memang petunjuk, petunjuk untuk saling memagut.

Petunjuk bagi Rungla. Petunjuk kalau Sande adalah seorang pejantan. Petunjuk kalau sebentar lagi mungkin Rungla bisa mendapatkan barang kesenangannya lagi. Setelah dua biji tersimpan rapi di lemarinya, akankah hari ini ia akan mendapatkan satu lagi?

Aku yakin, malam ini aku akan mendapatkannya lagi. Ah Sande, begitu bodohnya kau membawaku ke tempat ini sampai gelap. Apa yang kau inginkan sekarang? Tubuhku? Silahkan, kuberi tubuhku untukmu. Tapi jangan lupa, nanti aku juga menginginkah salah satu organ tubuhmu. Boleh, kan? Kau memang anak laki-laki yang manis, sayang..

Tanpa sadar, mereka sudah berada di puncak libido. Dengan sigap, Rungla mencoba memelorotkan celana yang digunakan Sande. Sande pasrah. Ya seperti biasanya, Sande hanya pasrah. Sande terlentang pasrah menunggu apapun yang akan dilakukan Rungla. Dengan gembira, Rungla menari di atas tubuh Sande. Menari kematian, tentunya. Kematian yang ia pikir sebentar lagi akan menjemput Sande.

Tidak seperti lelaki lainnya, Sande tidak terlihat puas ataupun menikmatinya. Sande hanya terdiam, tidak ada sedikit pun desahan yang dikeluarkannya. Sementara Rungla, menari dengan penuh gairah. Mendesah tipis sambil sedikit memberikan ciuman pada Sande.

Namun tiba-tiba, BYARRRRR.. Hujan turun. Cepat-cepat Rungla melepaskan tubuhnya dari Sande. Sande yang sedari tadi terlentang pasrah pun cepat-cepat berlari. Rungla ikut berlari mencari tempat yang teduh. “Ayo Sande, kita ke situ, ada gua di situ!”. Dan tak didapatnya jawaban apapun dari Sande. Tanpa peduli Rungla terus berlari menuju gua. Dipikirnya Sande pasti ada di belakangnya, melindunginya. Dan ia tahu, Sande memang tidak akan berkata apa-apa. Tapi ia yakin, Sande pasti ada di sekitarnya dan melindunginya.
---------- ----------

Beberapa lama Rungla berada dalam gua. Dalam pikirannya, Sande pun ada dalam gua tersebut walaupun sama sekali tak bersuara. Udara dingin gua membuat Rungla semakin meringis ketakutan. Gelap dan dingin. Sungguh tak disangkanya kalau secarik kertas itu akan membuatnya tersiksa seperti saat itu.

Hujan pun reda. Rungla mencoba menyalakan koreknya untuk mencari sesosok Sande yang diyakininya akan selalu ada di sekitarnya. Api menyala kecil. Lalu, mana Sande? Dilihatnya di sekelilingnya hanya ada tembok-tembok bebatuan dan ruang hitam yang gelap. Ia menengok ke luar gua, hanya dilihatnya pepohonan yang terus menari kematian ditemani rintikan air hujan. Hanya gelap dilihatnya.

Mana Sande? Ke mana dia? Bukankah dia mengikutiku? Bukankah tadi aku sudah mengajaknya masuk ke dalam gua ini untuk berteduh?

Tidak butuh waktu lama bagi Rungla untuk menyadari bahwa Sande tidak ada di dekatnya. Entah ada di mana anak yang dipikirnya malang itu. Rungla sadar, ternyata dia telah kehilangan Sande malam itu.

Matanya sayu, rasanya dingin.

Aku memang menang di awal, namun kalah juga pada akhirnya.