Yang Mencari : Koma Berkelok

Oct 24, 2011

Yang Mencari : Koma Berkelok


Sebilah kisah tentang makna hidup. Aku menyebutnya, pencarian. Bagaimana pendapatmu tentang hidup? Hidup memang untuk mati. Ada kehidupan dan ada kematian. Aku percaya itu. Pertemuan berjodoh dengan perpisahan. Namun bagaimana jalan menuju mati? Bukankah selalu ada jalan? Hari demi hari adalah sebuah jalan, adalah sebuah proses. Dan aku menyebutnya proses pencarian.
**********

Angin malam menemani kami yang kelelahan. Langit tanpa bintang menemani kami yang mencari. Mencari bintang penerang raga yang sempat limpung lupa arah tersapu angin topan di padang pasir Gunung Bromo.

Satu gelas teh, untukku. Satu botol minuman keras, untuknya dan untuknya. Puntung-puntung rokok dengan setianya mendengarkan perbincangan kami, para pemuda-pemudi yang mencari. Mungkin puntung-puntung rokok pun sebenarnya ingin ikut mencari, mencari tempat sampah, untuk akhirnya dibuang, dan ia mati.

"Kalian tahu, di sinilah tempat aku selalu mengeluarkan seluruh amarahku pada Tuhan. Aku selalu marah pada Tuhan di sini. Aku bebas berteriak, mencaci maki. Hanya untuk Tuhan!", teriak Ladhu lantang. Si lumpur dari gunung berapi.
"Kenapa kamu harus marah-marah pada Tuhan?" tanyaku.
"Ya buktinya dia selalu memberiku kepedihan demi kepedihan. Kamu tahu? Aku tak punya kenangan hidup yang kata orang itu manis. Kenanganku selalu pahit! Bohong jika orang-orang berkata kalau Tuhan menyayangi hambaNya. Inikah yang Ia lakukan jika Ia sayang? Dan aku memilih untuk mengumpatNya, dan aku tidak percaya kalau Dia benar-benar ada."

Puntung rokok, segelas teh, satu botol ciu menjadi saksi perkataannya. Alas, yang sedari tadi hanya diam, tiba-tiba tersenyum. Alas, sama seperti kami, dia juga mencari. Alas, kusebut dia si pengembara. Hutan ke hutan dilewatinya tanpa rasa takut. Tengah malam pun ia lalui dengan berdiam diri di pohon-pohon rindang yang menancapkan dirinya di hutan rimba. Dulu, dia seorang Katolik, karena berbagai alasan, dia memutuskan untuk menjadi seorang mualaf. Dan saat ini, kembali lagi ia memilih. Sebuah aliran kepercayaan kuno. Sebuah agama bumi di tatar Sunda.

Dan aku, Ara. Si ilalang yang terus menari mengikuti kemana arah angin bertiup. Si ilalang yang sulit untuk berdiri kokoh. Kepercayaan? Sampai sekarang aku masih berkata kepada setiap orang, kalau Islam adalah agamaku. Namun, harus kuakui sekarang, tak pernah kulakukan tata cara beragama Islam. Aku tahu, namun aku tak mengerti.
**********

Sepuluh pil habis dihantamnya. Masuklah ia ke dalam tidur panjang. Dua hari dua malam membawanya ke alam petualangan mimpi yang tiada henti. Aku merasa tenang sekarang, aku terbebas dari segala beban yang menimpaku berhari-hari kemarin. Ujarnya dalam mimpi.

Ia membuka matanya, dilihatnya sesosok makhluk yang entah itu apa. Abstrak. Didengarnya makhluk itu berkata :

"Kau adalah Ladhu. Si lumpur dari letusan gunung berapi. Namun kau sudah jauh terperosot licin ke bawah. Menggapai jurang yang tanpa batas. Percayalah, kau akan limpung di sana. Di sana tidak ada pohon tempatmu bisa berlindung. Di sana tidak ada sungai yang airnya bisa kau minum. Di sana tidak ada lampu atau obor yang bisa menerangimu dari kegelapan. Percayalah, di sana kau akan tersesat. Tak usahlah kau luncurkan lumpurmu ke bawah. Meluncurlah pada perumahan penduduk di atasnya. Setidaknya kau tidak sendiri. Akan ada lampu yang membimbingmu mengalir. Akan ada air yang membuat hausmu hilang. Dan akan ada pohon ataupun atap rumah tempatmu berlindung. Sadarlah, Ladhu. Percayalah, aku menyayangimu.”

Ladhu meronta. Ladhu meraung. Ladhu ingin melepaskan dirinya, dari.. Dari sesosok abstrak yang berbicara padanya. Ladhu terus meronta. Ladhu berteriak sampai parau. “ANJING!” Ladhu memaki. Ladhu kecewa. Dan Ladhu menangis.
**********

Kuraih gagang pintu rumahku, dan kubuka pintu perlahan. Aku melihat sesosok pria di depannya. Alas, dialah Alas.

“Hai.. Ada apa? Rasa-rasanya tiba-tiba saja kamu datang ke rumahku”, tanyaku.
“Tak ada apa-apa. Apa kabar Ladhu?” tanya Alas.
“Kemarin-kemarin dia menghubungiku. Dia bilang dia bisa gila kalau sosok itu terus menerus menemuinya ketika ia tak sadarkan diri. Yah aku pikir itu hanya ilusinya. Yang namanya orang tak sadarkan diri, apapun yang ada tidak akan pernah dilihatnya dengan jelas.”
“Aku rasa mimpi itu datang karena dia sudah meninggalkan Gereja beberapa bulan terakhir ini. Padahal dulu aku selalu menemaninya ke Gereja. Tapi entah mengapa, akhir-akhir ini dia berubah. Sebenarnya aku ingin sekali mengingatkannya, namun tampaknya dia selalu menolak dan marah jika aku ingatkan.”
“Ya begitulah.. Terkadang juga aku selalu bertanya mengapa ia meninggalkan Gereja, tapi dia selalu mengelak. Sudahlah.. Lalu, bagaimana denganmu? Bagaimana dengan kegiatanmu di kampung adat tempat kau tinggal sekarang? Kau senang?”
“Ya aku senang.”
“Bagus kalau begitu. Kamu sudah menemukan tempatmu.”
“Tapi..” Alas menahannya, keraguan tampak muncul dalam dirinya. “Tapi akhir-akhir ini aku merasa bimbang. Entah ada apa, yang jelas aku bimbang.”
“Apa yang membuatmu bimbang?”
“Aku butuh kedamaian hati. Kedamaian jiwa dan raga.”
“Kedamaian yang bagaimana? Bukankah kamu selalu bilang padaku kalau kamu begitu nyaman dan damai di kampung itu?”
“Tapi aku rindu saat aku membasuh wajah, membasuh tangan, telinga, rambut, dan kaki. Aku rindu saat aku bersujud diri di hadapanNya. Ada suatu hal yang membuatku begitu gelisah akhir-akhir ini, dan aku tak bisa menyelesaikannya di kampung itu. Aku pun tak tau hal apa yang membuatku gelisah. Tiba-tiba saja dalam hatiku, aku berkata bahwa aku rindu Shalat. Tapi aku bimbang.”
“Shalatlah, Las.. Kau bisa Shalat di sini, atau di depan sana ada Mesjid. Pergilah ke sana, carilah ketenanganmu.”
“Aku tidak bisa. Sering kali aku rindu Shalat. Namun, aku tidak bisa. Kau tahu kan, apa yang kupilih sekarang? Aku tidak bisa, Ara.”
“Alas.. Janganlah terlalu membentengi dirimu. Kau memang bilang kalau kau sudah memilih. Aku tahu kau begitu total dalam hal itu. Tapi untuk mencari rasa damai, aku rasa tidak bisa dipaksakan. Lakukanlah apa yang kau ingin lakukan. Jika memang Shalat membuatmu damai, Shalatlah. Tak perlu kau bangun sebuah benteng.”

Alas menunduk. Aku rasa dia tetap bimbang. Dia si pengembara yang sedang bimbang menemukan arah untuk pulang ke rumah.
**********

Kriiiiing.. Kriiiiiing..

Halo, Ma?
Apa kabarmu, Nak? Kenapa beberapa minggu terakhir
ini kamu begitu sulit dihubungi?
Baik, Ma. Nggak apa-apa, Ma. Mungkin kebetulan aku lagi sibuk. Mama apa kabar? Bagaimana keadaan rumah?
Mama baik. Tapi penyakit Papa kambuh. Kalau bisa,
pulanglah Nak. Mama yakin, Papa ingin bertemu denganmu.
Aku nggak bisa. Aku lagi sibuk banget sekarang, Ma. Tapi, nanti aku usahakan untuk bisa pulang. Sampaikan salam aku buat Papa.
Ya sudahlah.. Tapi Mama benar-benar berharap kamu bisa pulang. Kamu masih ngamen? Kenapa kamu tidak mencari pekerjaan yang jelas saja sih? Kamu kan tidak perlu mengamen lagi.
Setidaknya aku tetap bisa mencari uang sendiri biarpun hanya dengan ngamen di jalanan.
Kau ini selalu saja. Sudahlah, ini hari Minggu. Pergilah ke Gereja saja, doakan Papamu biar cepat sembuh. Papamu juga pasti ingin sekali bisa ke Gereja bersamamu. Sekalian juga kamu berdoa untuk hidupmu sendiri.
Iya Ma.. Bye, Ma.

Tuut.. Tuut.. Tuut..

Ia bersiap diri. Ia nyalakan motornya. Ia melaju. Ia dan motornya menuju ke suatu tempat.

Ia tepat berhenti di depan gerbang Gereja di bilangan Jalan Merdeka. Ia menatap ke dalamnya. Dilihatnya orang lalu lalang. Dan ia kembali melaju bersama motornya. Lalu berhenti. Mengambil telepon genggam di sakunya. Membuat sebuah pesan :

Pa, Mama bilang penyakit Papa kambuh? Kok bisa Pa? Papa istirahat dan jaga pola makan Papa ya. Aku sayang Papa. Aku akan berdoa buat Papa. Aku akan berdoa agar Papa cepat sembuh.

“Berdoa?” bisiknya sambil memejamkan mata. Jantungnya berdetak kencang. Mendadak ia takut. Ia menoleh ke belakang, ke arah sebuah bangunan megah di belakangnya. “Apakah jika aku ke sana, lalu Papa bisa sembuh?” Tanyanya dalam benak. Detak jantung semakin cepat. Gusar.
**********

Matahari pagi belum bangun dari tidurnya. Namun ia sudah bangun dari tidurnya. Ia gusar. Ia menuju ke pancuran air. Ia coba membasuh satu demi satu. Ia kembali. Berdiri menghadap ke arah Barat. Allahuakbar.. Ia diam. Tak satupun yang diucapnya. Ia memejamkan mata. Namun, duduk kembali. Berkata, aku tidak bisa..

Aku tidak bisa.. Ia memejamkan mata. Perlahan terlihat titik-titik air di matanya. Tampaknya sebentar lagi air itu akan turun membasahi pipinya. Claakk.. Air itu turun. Ia menangis perlahan.
**********

“Hei, bangun Kak. Sudah jam setengah enam ini. Shalat Subuh.”

Dia bangun dari tidurnya. Lalu menuju ke kamar mandi. Hanya berdiam diri. Lalu menuju ke kamarnya kembali. Hanya berdiam diri. Dan ia keluar dari kamarnya.

“Sudah Shalatnya?” tanya Ibu.
“Sudah, Bu.”

Ia ambil satu gelas air. Ia teguk. Ia kembali ke kamar. Berdiam diri. Menatap sajadah yang terjuntai di depannya. Ia meringis. Perlahan diraihnya sajadah itu. Ia menatap jam dinding di kamarnya. Masih jam enam, matahari juga belum keluar.. Ia terdiam kembali. Haruskah aku menggelar sajadah ini, lalu kukenakan mukena itu? Ia terdiam kembali. Cukup lama. Sampai dilihatnya sedikit demi sedikit jendela kamarnya menyala oleh sinar yang terpancar dari luar.
ARGHHH! Ia marah. Ia kalut.
**********

Aku tak tahu apa yang terjadi padaku. Juga pada Ladhu dan Alas. Apa yang terjadi pada kami? Apakah ini sebuah proses? Manusia merealisasikan dirinya dengan sadar dan bebas. Namun, apakah manusia harus benar-benar memilih di antara kemungkinan-kemungkinan yang ada?

Manusia itu bebas. Ia sendiri yang memilih dan menentukan. Aku di dunia ini hidup bersama orang lain dan berbagai macam pilihan. Namun aku percaya, semua manusia terarah kepada Tuhan. Berbagai macam teori yang dikemukakan para ilmuwan, tetap tidak bisa menjelaskan bagaimana sebuah dunia yang bulat ini bisa terbentuk. Itulah mengapa, aku selalu percaya manusia terarah kepada Tuhan. Dalam sejarah kebudayaan pun, manusia memperkenalkan diri sebagai homo religiosus, makhluk beragama.

Begitupun dengan Ladhu dan Alas. Yang terjadi sekarang, saat ini, adalah proses. Proses pencarian menuju yang ‘sejati’nya. Sikap Atheis Ladhu, hanyalah salah satu jalan menuju ‘sejati’nya. Begitu pula dengan sikap Alas yang membentengi dirinya, adalah salah satu jalan menuju ‘sejati’nya. Dan aku, yang limpung, adalah salah satu jalan menuju ‘sejati’nya. Jika hidup adalah sebuah kalimat. Maka, saat ini adalah sebuah koma. Koma yang berkelok-kelok kesana kemari. Menuju titik. Bukan titik akhir, namun titik ‘sejati’.

Saat ini, aku adalah aku, tapi juga aku belum aku. Di dalam identitas dengan diriku juga ada suatu nonidentitas. Kualami di dalam diriku suatu ketegangan. Aku tetap berada dalam perjalanan menuju diriku yang sejati. Aku harus merealisasikan diri sehingga aku semakin menuju diriku yang sebenarnya.


Manusia berdiri sendiri.
Manusia adalah faktum sekaligus proyek.
Manusia selalu terarah ke depan.
Manusia hidup bersama manusia lain dan terarah kepada Tuhan.
(Adelbert Snijders)