RICOCHET

Oct 26, 2011

RICOCHET


Ikan-ikan kecil berlari kesana kemari, menyebrangi lautan. Lautan dengan pinggiran dinding keramik putih. Lautan dengan air yang tidak lebih dari lima puluh liter. Lautan dengan kedalaman yang tidak lebih dari seratus centimeter. Lautan yang di sekelilingnya terlihat manusia-manusia hilir mudik. Lautan kecil tempat di mana mereka bernaung untuk sementara waktu.

Aku tahu, mungkin mereka bahagia di sana. Tidak perlu menguras tenaga menyebrangi lautan luas yang kedalamannya begitu tinggi. Tapi kau tahu? Di sanalah tempat mereka menghabisi masa hidupnya sebagai ikan yang bebas berenang mengarungi air demi air. Itulah air terakhir yang mereka sentuh. Sebentar lagi tangan iblis akan merebutnya dari genggaman lautan kecil. Dan ia akan disimpan di sebuah papan, tak lama kemudian akan ada sebilah pisau yang mencakarnya.

Hei, apakah kalian pernah tahu apa yang akan terjadi pada kalian? Sebentar lagi kalian akan mati, kawan. Hidup kalian sebentar lagi akan berakhir di tangan ganas sesosok iblis yang haus rupiah. Kalian akan menjadi lembar-lembar rupiah, kawan. Lembar-lembar rupiah yang akan dinikmati iblis-iblis itu. Termasuk Ibuku, iblis yang menginginkan dagingmu.

“Pak, satu kilo ya. Tapi tolong dibersihkan dulu”, pinta Ibu yang dijawab dengan anggukan pria bercelemek di depannya. Ya Tuhan, apakah mereka pernah tahu kalau kolam kecil itu hanya tempat sementara mereka sampai akhirnya mereka dibantai dan dilahap habis? Bagaimana perasaan mereka jika mereka memang tahu kalau di tempat itulah hari-hari terakhir mereka? Apakah mereka takut? Atau mereka pasrah? Jika orang berkata, kelebihan manusia adalah memiliki akal dan perasaan. Namun, bagiku hewan pun memiliki perasaan. Seperti ketika aku melihat seekor sapi yang mengeluarkan air di sela-sela matanya ketika hari-hari menjelang Idul Adha. Mereka tahu, mereka akan disembelih, dan mereka menangis.

Tanpa sungkan-sungkan, pria itu meraih satu demi satu ikan. Ia simpan ikan tersebut di atas sebuah papan. Lalu, ia belah ikan tersebut dengan sebilah pisau. Aku tak mengerti, bahkan ikan itu sama sekali tak menjerit kesakitan. Pria itu memberikan satu kantong plastik pada Ibu yang dibalas dengan penyerahan lembar-lembar rupiah oleh Ibu. Dan Ibu memintaku untuk membawa kantong plastik itu.

Aku raih kantong plastik itu. Eh..kantong plastiknya tiba-tiba saja bergerak! Aku tak tahu apa yang bergerak. Mungkin arwah ikan yang tadi disembelih sedang marah atau meronta-ronta kesakitan. Atau mungkin insang mereka masih sedikit berfungsi? Dan sekarang mereka sedang merasakan perihnya sayatan-sayatan pisau di tubuhnya. Ya Tuhan.. Kenapa Kau masih membiarkan mereka hidup?

Sesampainya di rumah, Ibu langsung meraih kantong plastik yang berisi ikan-ikan yang mungkin masih hidup sampai sekarang, atau mungkin sudah mati dalam perjalanan pulang tadi. Tanpa ragu-ragu, ikan-ikan itu dibersihkan kembali. Lalu dibumbui, dan akhirnya dimasukkan ke dalam penggorengan yang begitu panas. Suara ramai penggorengan memenuhi dapur lengkap dengan asapnya. Dan kau tahu, di dalamnya ada ikan-ikan tak berdosa.

Tak lama kemudian, bau harum mewarnai seisi rumah mungil keluargaku. Ternyata ikan-ikan itu sudah berubah warna menjadi hitam gosong. Ikan itu telah mengeras. Dan ikan itu siap untuk disantap. Dan kami pun, menyantapnya.
*********

Di luar, bulan dan bintang sudah bersinar menemani gelapnya langit. Aku tak mengerti mengapa ketika langit berubah menjadi gelap, aku selalu merasa kelelahan. Dan setiap orang berpikir, itulah waktunya istirahat. Aku juga manusia, dan aku juga akan beristirahat. Kupejamkan mataku. Aku harap, aku tidak bermimpi buruk malam ini.

Puluhan mungkin ratusan orang, termasuk aku, disekap dalam sebuah ruangan berjeruji besi. Kami dipenjara. Namun, kami tak pernah tahu kesalahan apa yang telah kami perbuat. Tiba-tiba saja, kemarin malam, ada seseorang datang ke rumahku, ia mengatakan sesuatu pada Ayah. Dan Ayah bilang pada kami, kalau kami diberikan tempat tinggal lain untuk sementara. Entahlah, mungkin akan terjadi perang, karena ku rasa akhir-akhir ini banyak sekali tragedi di Negaraku ini. Jadi kami, warga yang tak tahu menahu, untuk sementara waktu dipindahkan ke suatu tempat, berkumpul bersama dengan warga lainnya.

Kami pun berkumpul dalam satu ruangan. Tapi entah mengapa ruangan ini harus dilindungi oleh jeruji besi. Apakah mereka pikir kami akan kabur? Ah tidak, kami tak mau jadi korban perang. Namun begitu nikmatnya di dalam sana. Ada kasur yang begitu nyaman, juga kursi-kursi yang membawa kedamaian. Tak lupa juga, makanan-makanan enak pun tersedia di sana. Ah rasanya kali ini kami tak perlu pergi ke pasar dan memasak. Karena semua sudah tersedia di sini.

Dengan bahagia, kami nikmati semua fasilitas yang ada di sana. Berhari-hari kami lewati dengan penuh senyuman. Tak ada lagi kesedihan di sana. Namun, suatu hari, tiba-tiba saja seorang lelaki bertubuh besar laksana prajurit yang siap bertempur di medan perang mendatangi penjara cantik yang kami tempati. Ia tersenyum dan bertanya, “Kalian senang di sini?” Tentu kami menjawab dengan anggukan demi anggukan. Ya, karena kami memang senang. Ia menyambutnya dengan gembira. Ia berbicara panjang lebar tentang segala hal. Namun, di tengah-tengah ucapannya, ada kalimat yang membuat kami semua, penghuni penjara cantik ini, seakan-akan dilindas oleh sesuatu yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Tiba-tiba saja jantung kami seakan-akan berhenti berdetak. Tiba-tiba saja keringat dingin turun membasuh wajah-wajah kami.

“Penjara ini cantik, bukan? Memang penjara ini khusus kami buat untuk kalian. Tapi bukan untuk melindungi kalian dari perang. Karena di luar sana memang tidak pernah ada perang. Tapi, untuk memberikan hari-hari terakhir hidup kalian begitu indah. Karena mungkin beberapa waktu lagi, akan ada orang-orang yang dengan senang hati membeli kalian. Menukar daging kalian dengan sejumlah rupiah. Mereka, para kanibal. Mereka, yang siap menyisihkan rupiahnya demi mendapatkan daging alot manusia yang begitu nikmat untuk disantap. Daging kalian! Selamat, kalian akan menjadi manusia yang begitu berguna, yang rela memberikan daging dan nyawa kalian untuk kelangsungan hidup mereka para kanibal yang mengaku kesusahan mencari makan. Persiapkanlah diri kalian untuk hari yang dinanti-nanti itu.” Dan pria itu pergi.

Serentak kami terjatuh. Serentak kami menangis dalam hati. Serentak kami bertanya apa yang telah kami perbuat sehingga nasib kami akan berakhir di tangan para kanibal. Serentak pun kami menyadari kalau tidak ada yang bisa kami lakukan selain pasrah menerima dan menunggu hari yang dinanti-nanti. Kabur pun, kami tak mampu.

Hari hari kami lewati dengan bermurung durja. Tak ada lagi kebahagiaan. Semua wajah terlihat begitu pucat. Semua wajah terlihat tidak lagi memiliki ekspresi. Seperti tak ada lagi semangat hidup. Tapi, seseorang di antara kami tiba-tiba saja memberi kami semangat. Mungkin dia memang sudah ingin mati. “Hei kawan-kawan semua, untuk apa kalian menekuk wajah? Sebentar lagi kita memang akan habis dibantai oleh mereka. Tapi apa yang bisa kita lakukan? Tidak ada! Lihat, jeruji-jeruji di sekeliling kita ini seakan-akan semakin meneguhkan kaitan lengan-lengannya untuk menjaga kita agar tidak kabur. Sudahlah, mungkin benar kata pria itu, kita akan jadi makhluk yang berguna. Lagipula, untuk apa kita nikmati hari-hari terakhir kita dengan kemurungan? Kita harus bisa menikmati hari-hari terakhir kita dengan penuh kebahagiaan! Ayolah kawan, tersenyumlah! Tunjukkan kalau kita juga kuat, walaupun kita tahu, sebentar lagi kita akan lenyap.”

Mungkin apa yang dikatakannya benar. Untuk apa kami bersedih, toh kami juga tahu tidak ada lagi yang bisa kami lakukan selain membanggakan diri karena kami akan jadi manusia yang berguna yang rela berkorban demi kelangsungan hidup manusia lainnya. Jadi, mari kita tertawa! Dan ruangan itu pun akhirnya riuh ramai. Ratusan tawa menghiasi ruangan berjeruji besi. Ya, kami tertawa! Hahahahaha.. Sampai akhirnya datang sesosok pria besar yang kami lihat kemarin, yang memberi kami kabar yang membanggakan. Sosok itu terus mendekat, namun kami terus melakukan aktivitas kami seperti biasanya tanpa murung. Walaupun dalam hati, rasa takut terus menderu.

“Saya datang kemari untuk mengambil beberapa dari kalian. Ada yang sudah ingin membeli kalian.” Ia masuk, bersatu dengan kami yang masih saja sibuk dengan aktivitas masing-masing. Ia mengambil perempuan muda yang sedang meneguk air, lalu perempuan mungil yang sedang asyik dengan kain rajutannya. Dua perempuan itu digiring keluar. Kami yang di dalam terus beraktivitas tanpa peduli apa yang terjadi pada dua perempuan yang digiring tadi. Beberapa menit kemudian, pria besar itu datang kembali dan mengatakan “Terimakasih”. Kami tetap tak peduli. Mungkin saat itu, dua perempuan tadi sudah berubah menjadi daging-daging alot yang siap disantap.

Dan seterusnya, pria itu terus menerus datang tak henti-hentinya. Mengambil satu persatu dari kami. Sementara kami yang belum diambil tetap terus beraktivitas. Sampai akhirnya, di ruangan itu hanya tersisa tiga manusia. Ada seorang pria muda yang sedang membaca koran, pria muda yang sedang menonton televisi, dan ada aku.

Pria itu kembali datang. Datang untuk mengambil jatah penghabisan. “Ini yang terakhir”, katanya. Aku dan dua orang pria muda itu digiring keluar. Kami jalan terseok-seok. Kami pasrah. Tapi sejujurnya, dalam hatiku, rasa takut terus menghantam. Aku tak tahu bagaimana nanti rasanya aku ditelanjangi, lalu ada belati-belati yang menghunus tubuhku, dan aku akan meronta-ronta kesakitan karena detak jantungku masih berfungsi. Di saat aku meronta, aku akan dikuliti, dikebiri, dan anggota tubuhku akan dipotong. Apakah aku akan merasakan sakitnya? Bagaimana rasa sakitnya? Ah, aku tak tahu. Aku ingin menangis, tapi aku tak bisa. Aku melihat satu keluarga yang sudah menunggu di depan. Mereka keluarga kanibal yang siap menyantap dagingku dan daging kedua temanku. Di tangannya sudah siap segepok rupiah.

“Kami mau tiga-tiganya. Tolong langsung dibersihkan ya.” Pria besar yang menggiring kami mengangguk. Kami tahu, penjara cantik itu hanya tempat sementara kami sampai akhirnya kami dibantai dan dilahap habis. Kami tahu, penjara cantik itulah tempat kami menikmati hari-hari terakhir kami. Kami takut. Namun kami pasrah. Manusia memang selalu memiliki perasaan. Tanpa sungkan-sungkan, pria besar itu menarik kami satu persatu ke dalam sebuah papan besar yang besarnya melebihi tubuh kami. Ia telanjangi kami. Lalu, ia membelah kami dengan sebilah belati tajam. Kami memang tidak menjerit. Tapi dalam hati, kami menjerit kesakitan. Ia memotong-motong tubuh kami. Dan pada akhirnya, potongan-potongan tubuh kami dimasukkan dalam sebuah karung yang begitu besar. Ia memberikan karung itu kepada seorang perempuan paruh baya di depannya yang dibalas dengan penyerahan lembar-lembar rupiah oleh perempuan paruh baya tersebut. Dan perempuan paruh baya itu meminta anak perempuannya untuk membawa karung tersebut.

Dan aku melihat sosok yang begitu kukenal. Sosok perempuan paruh baya yang memberikan lembar-lembar rupiah, dan sosok perempuan mungil yang meraih karung. Ya, tak salah lagi. Itu adalah Ibu, dan perempuan mungil itu adalah aku. Itu adalah Ibu dan aku.

Tanpa direncanakan, air mata sedikit membasahi mataku yang masih tertutup. Mataku terasa semakin basah, dan aku terhenyak dari tidur. Nafasku berat. Memang, malam ini bukan mimpi buruk yang kudapat. Tapi pengalaman buruk yang aku dapat. “Ikan, ayam, sapi, kambing, dan lain-lain. Terimakasih karena kalian telah membantu kelangsungan hidup kami.”