Tuhan Ada di Kamarku

Nov 29, 2011

Tuhan Ada di Kamarku


Aku menyayangi kamar. Bagiku, kamar adalah satu-satunya tempat di mana aku bisa bebas melakukan apapun yang aku mau sesuai yang diteriakkan hatiku. Aku bisa menemukan banyak teman di kamar ini yang tidak kutemukan di luar kamar. Aku bisa menemukan banyak tawa di kamar ini. Memang, di luar kamar pun aku banyak menemukan tawa, namun tawa yang hanya tipuan. Di kamar ini juga aku menemukan kenyamanan yang luar biasa. Aku menyayangi kamar. Entah bagaimana jadinya diriku jika tidak ada kamar.


DIPELUKNYA tangga kayu berwarna coklat pudar yang ada di kamarnya. Seolah-olah ia tak peduli bagian-bagian kayu yang keropos yang mungkin habis digerogoti serangga-serangga busuk. Serangga yang begitu dibencinya. Ia menyenderkan kepalanya di pinggiran kayu. Seperti seorang perempuan yang menyenderkan kepalanya di pundak yang terkasih. Terkadang ia tersenyum. Senyuman lebar yang menyiratkan rasa puas akan kebahagiaan semu yang didapatnya. Terkadang ia juga muram. Dan terkadang, ia juga membuka mulutnya. Berkomat-kamit seperti dukun yang mengucapkan mantra. Namun, ia bukan dukun. Ia hanya berbicara. Berbicara ini dan itu. Berbicara apa yang ingin dibicarakannya.

Lalu, ia berdiri. Tersenyum dan kembali berbicara. Dan ia menjatuhkan badannya, seolah-olah ada orang lain yang menabraknya dari depan, belakang, dan pinggir. Ia tidak menangis karena lututnya terbentur keras ubin lantai. Ia berdiri, tangannya seperti meraih kedua tangan di atasnya yang ingin menolongnya. Ia berdiri, dengan kedua tangan yang menggenggam. Kemudian ia berkata. Mungkin ia mengucapkan terimakasih. Tapi, siapakah gerangan yang akan menjawabnya? Tidak ada. Karena ruangan itu kosong. Ruangan itu hanya sepetak kamar berbentuk balok, yang berisikan kasur, tangga yang dibuat khusus untuk mencapai jendela, rak buku, radio butut, lampu baca. Tak lupa, lemari pakaian yang dipinggirnya terdapat sebuah meja rias lengkap dengan sebuah kaca yang menempel kokoh di dinding. Dinding yang penuh dengan tempelan-tempelan gambar, yang membuat adiknya ketakutan setiap kali hendak memanggilnya untuk makan malam. Itu hanyalah ruang kosong yang berisi benda-benda mati, udara, dan satu benda hidup, yang adalah DIA.



Hei kau! Keluarlah dari kamarmu!
Untuk apa aku keluar dari kamarku? Aku akan keluar jika waktunya makan, dan mandi.

Apa yang kau lakukan di sana?
Banyak.

Apa?
Banyak teman-teman di sini.


Siapa? Ruangan itu kosong! Kamarmu kosong, hanya penuh dengan benda mati.
Tidak! Mereka ada di sini. Teman-temanku.

Kau gila!
Aku tidak gila! Aku benar-benar bersama mereka. Lihatlah, baru saja aku mengebiri dia, si brengsek yang menghancurkan hidupku. Aku begitu membencinya, dan sekarang aku puas. Aku telah mengulitinya. Lihat, ususnya keluar! Dan di depanku ada jantungnya yang baru saja kutusuk-tusuk, sehingga jantung itu berhenti berdetak. Dan, lihat! Aku menggenggam pisau penuh darah!

Keluarlah dari dunia buatanmu..
Aku tidak membuat-buat. Aku serius! Aku baru saja menghancurkannya. Tanganku penuh darah. Hahaha.
Berhentilah berimajinasi, sayang..
Aku tidak berimajinasi, bangsat! Aku benar-benar melihatnya meronta-ronta kesakitan. Dia memohon ampun padaku. Ah, pergilah kau! Kau mengganggu kebahagiaanku.

Sayang, berhentilah.. Buang jauh-jauh khayalanmu.
Aku tak berkhayal. Kau tahu? Baru kemarin aku bertemu lagi dengan teman-teman sekolahku dulu. Teman yang menjauhiku, mencemoohku. Dan aku panah mereka satu persatu. Tidak tepat di jantungnya. Aku hanya memanah tangan atau kakinya. Mereka berteriak kesakitan. Dan akhirnya mereka tahu bahwa aku tak sepayah yang mereka pikir.

Keluarlah sayang.. Kau bisa melakukannya di luar. Datangi mereka. Hardik mereka sepuasmu. Hancurkan mereka.
Aku tak mau.
Mengapa?
Aku tak berani. Aku takut. Lagipula aku benar-benar sudah menghancurkan mereka.
Apa yang membuatmu puas di sana?
Dia selalu tahu apa yang kumau. Dan ia memberikannya.

Siapa?
Sssttt.. Jangan berisik. Tuhan ada di kamarku.