Dua Malam

Dec 8, 2011

Dua Malam


Ini bukan kisah cinta seperti yang dinyanyikan pedangdut Melinda dengan "Cinta Satu Malam"nya. Ini hanya sebuah kisah pertemanan yang habis dalam waktu dua malam.

Dalam dua malam kami bertemu. Diawali oleh hujan yang membasahi sebuah gedung tua di bilangan Perintis Kemerdekaan, di sebuah gedung tua yang menjadi saksi bisu begitu garangnya pidato pledoi Soekarno dalam memperjuangkan harkat martabat kemanusiaan di hadapan pengadilan kolonial. Diawali oleh sebuah film dokumenter yang berkisah tentang Tan Malaka. Diawali oleh sebuah diskusi wacana neo-liberal, yang sungguh saya tak mau tahu.

Pertemuan dilanjutkan ke sebuah angkringan di daerah pusat kota, di daerah di mana mereka-mereka para kaum sosialita menghabiskan lembar-lembar uangnya dengan membeli barang-barang berbrand papan atas. Jalan Riau. Tempat yang di siang hari begitu hiruk pikuk, namun di malam hari terlihat sepi. Mungkin hiruk pikuk itu sudah berpindah ke club-club malam.

Kami menikmati masakan-masakan ala kadarnya. Nasi bercampur tempe orek, ditambah lengkap dengan sate usus, sate telur, dan lain-lain. Tidak perlu mengeluarkan kocek yang besar, dengan uang sepuluh ribu rupiah pun, kami kenyang.

Sambil menikmatinya, kami berbincang-bincang beberapa hal. Dimulai dari seorang pria berkulit hitam dan berambut keriting yang masih ingin meneruskan diskusi di gedung tua tadi, diskusi wacana neo-liberal, yang sekali lagi sungguh saya tak peduli. Dari situ, saya tahu, dialah si penggila dunia politik. Dia juga mengaku cukup aktif di beberapa pergerakan dan sempat menulis di beberapa jurnal ekstrim. Bosan dengan perbincangan itu, perbincangan pun berpindah ke wacana keagamaan. Namun, kami sadar, hal itu merupakan hal yang sangat pribadi. Dan saya menghentikannya. Lalu, kami pun berpindah ke wacana geologi. Dimulai dari cerita seorang perempuan dengan perawakan tinggi kurus yang baru saja mengikuti geo-track di sekitaran Gunung Galunggung. Dan di situ juga saya tahu, ia adalah seorang perempuan pecinta alam. Karena tema yang begitu sulit, apalagi masalah geologi, perbincangan pun dipindah arahkan kembali. Dimulai dari pertanyaan si perempuan kurus pada saya, "Bagaimana dengan kampung seni yang kamu garap?". Saya pun menjawab seadanya. Seadanya bahwa kami, para penghuni kampung seni itu berkonflik besar dengan jajaran pemerintah. Dan, si pria hitam keriting tertawa, mengkritik pemerintah dengan janji-janjinya. Dia berkata bahwa itu adalah trik-trik politik pemerintah. Di mana-mana politik. Ya, hidup ini memang penuh dengan unsur politik. Mengalihkan pembicaraan karena saya tidak begitu tertarik pada politik, akhirnya saya mengeluarkan cerita bagaimana pengalaman saya bergaul bersama anak-anak jalanan. Banyak cerita di sana. Namun, jam menunjukkan pukul dua belas malam. Dan pertemuan itu harus ditutup.


NAMUN, tak disangka-sangka. Dua minggu setelahnya, kami bertemu kembali di sebuah acara pemutaran film tentang pelukis wanita kontroversif, Frida Kahlo. Saya masih tetap bersama teman saya, di perempuan tinggi kurus. Mereka juga masih tetap berdua, si pria hitam keriting dengan si pria bertahi lalat.

Film selesai. Kami berbincang-bincang di luar. Si pria hitam keriting dengan jujur berkata bahwa ia sama sekali tak tahu tentang Frida Kahlo. Dan si pria tahi lalat membalas, "Mangkanya yang dipikirin jangan cuma politik..". Kami tertawa. Entah menertawakan si hitam keriting yang selalu tak henti-hentinya dengan politik, entah tertawa karena tak menyangka kami bisa bertemu kembali.

Di luar kami sedikit berbincang-bincang mengenai seni. Mengenai dunia sastra Indonesia. Banyak nama kami sebut. Namun, lagi-lagi, si hitam keriting hanya diam tak tahu menahu. Dan perbincangan pun berpindah tempat. Ke sebuah cafe kecil kelas mahasiswa. Cafe yang cukup remang, dan bising dengan alunan-alunan lagu yang menemani pengunjung. Namun sungguh, bagi saya, lagu itu tidak menemani, namun membuat bising. Kami memilih bangku di pojokan. Kami mulai memilih makanan. Takjub kami dengan judul makanan yang membuat kami penasaran.

Kembali lagi, sambil menikmati makanan, kami tetap berbincang-bincang. Dimulai dari saya yang kagum kepada Frida Kahlo, ketika ia memilih menikah tanpa menggunakan tata cara yang sesuai dengan agama masyarakat. Bukan kagum karena ke-takberagamaannya. Namun, kagum karena keberaniannya dalam memberontak, memecah hal-hal yang sudah menjadi umum. Namun ternyata perbincangan mengenai hal tersebut memancing si perempuan tinggi kurus mengeluarkan sebuah pertanyaan, "Kalau nanti kalian punya anak, terus kalian ajarkan anak kalian tentang nilai-nilai agama yang benar. Tapi nanti ketika mereka dewasa, ternyata mereka malah memilih hal lain. Misal, mereka memilih berpindah agama atau untuk menentang agama itu sendiri. Kalian bagaimana?". Saya mendapat giliran pertama untuk menjawab. Saya menjawab bahwa saya tidak keberatan. Karena bagi saya, ketika ia sudah bisa dikatakan dewasa, ia sudah harus bisa memilih sendiri sesuai dengan apa yang dia mau. Tentu, ia harus tahu segala resikonya. Namun, si hitam keriting dan si tahi lalat menentang saya dengan gahar. Mereka berkata, pada dasarnya mereka memang bebas mencari, namun ujung-ujungnya mereka harus mengikuti orang tuanya. Saya pun langsung menuduh jika mereka memaksakan kehendak tanpa memberikan kebebasan pada anaknya.

Perbincangan terus berlangsung. Sangat alot sampai waktu pun berbicara pada kami, hei kalian, ayo pulang.. Kami pun sadar akan bisikan itu, lalu kami pulang ke masing-masing rumah dan kamar kost. Dan setelah itu, kami tak pernah bertemu lagi. Saya tak tahu bagaimana kabar mereka, si hitam keriting dan si tahi lalat.


DUA malam. Kami habiskan dua malam untuk sebuah pertemanan. Pertemanan yang menyenangkan. Bicara ini, bicara itu. Wacana ini, wacana itu. Namun itulah, teman bukan berarti seseorang yang harus selalu ada, atau menjadi tempat kita menangis. Tapi pertemanan dua malam pun sangat berarti bagi saya.