Perdebatan di Depan Secangkir Teh Hangat

Dec 10, 2011

Perdebatan di Depan Secangkir Teh Hangat


Ada sebuah kasus yang baru terjadi beberapa hari ini. Kasus yang diberitakan oleh semua media massa. Kasus yang menggemparkan, yang menguak hati nurani. Seorang mahasiswa membakar diri di depan Istana Negara.

Hampir semua media mengatakan bahwa kejadian itu sarat dengan muatan politik. Hal ini tentu dikaitkan oleh profil si pembakar diri yang bisa dikatakan seorang aktivis HAM. Namun, siapa tahu jika ternyata penyebabnya bukanlah seperti yang dibicarakan tiap media? Tidak ada yang tahu, dan belum ada yang tahu.

"Saya salut akan perjuangannya. Demi membela rakyat, dia berani mengorbankan dirinya sendiri," begitu kira-kira katanya. Kata seorang lelaki, sebut saja namanya Ranu. Namun, dengan lantang saya menolaknya. Untuk apa salut pada orang-orang yang tidak berpikir panjang? Bahkan saya menyebutnya sebagai hal yang konyol. Ketika seseorang, atas nama kekecewaan terhadap pemerintah, lalu ia membakar dirinya. Saya berpikir mungkin dia memang sudah bosan hidup. Dan, hal inilah yang mengawali perbincangan kami.

Saya tahu, hal seperti membakar diri sudahlah sebuah hal yang wajar. Banyak aksi-aksi yang terjadi di negara-negara lain yang berdasar atas kekecewaan terhadap pemerintah. Namun, haruskah seperti itu?

Itulah yang membuat saya kontra terhadap gerakan-gerakan masyarakat yang mengatasnamakan membela rakyat. Mungkin ini hanya pandangan saya semata. Tapi banyak saya menemukan kisah seperti ini. Saya selalu menentang aksi anarkis, atau setidaknya aksi yang merugikan orang lain. Seperti cerita di sebuah kota di Jawa Tengah sana. Terlibat konflik antara pedagang pasar dengan pemerintah. Beberapa aktivis masyarakat dengan semangat membela para pedagang. Sampai akhirnya mereka harus bentrok dengan Satpol PP, mereka kalah, dan beberapa dari mereka ada yang dilarikan ke rumah sakit. Atau seperti yang sering kita lihat di televisi. Aksi mahasiswa-mahasiswa yang turun ke jalan. Dan tidak jarang dari mereka yang melakukan aksi brutal. Seperti membakar ban dan lain sebagainya. Dan baru saja kemarin, ketika Indonesia mendapatkan masalah perbatasan wilayah negara dengan Malaysia. Ada sebuah wacana yang mengatakan bahwa kita harus perang melawan Malaysia. Haruskah saya menyebut negara ini sebagai negara 'barbar'?

Pernyataan itulah yang membuat Ranu naik pitam. Ia sangat menyetujui perang, karena menurutnya semua harus diberantas. "Sampai kapan kita akan diam jika mereka-mereka para pejabat tidak peduli pada kita?" begitu jawabnya. Sungguh, saya pun sama dengannya. Menginginkan hal yang sama. Namun, saya hanya bertanya-tanya, apakah cara yang harus ditempuh hanya dengan kekerasan? Namun, saya akui itu benar adanya. Terbukti pada tragedi Mei 1998. Ketika korban berjatuhan, banyak orang yang hilang entah kemana, akhirnya Indonesia mengalami pergantian rezim. Mungkin, saya harus berkata, masalah pemerintah-rakyat adalah masalah yang tak akan pernah ada habisnya. Jika mau habis, jatuhkanlah korban terlebih dahulu. Maka dari itu, lakukanlah perang! Tapi sekali lagi, anggap saja saya seorang pecinta damai. Saya tidak suka kekerasan. Atau ada pihak-pihak yang sebenarnya tidak tahu menahu, lalu menjadi korban. Seperti, ada seorang anak berseragam putih-biru, di tengah-tengah kerumunan massa yang berorasi.

Dan, sekali lagi, dia menyanggah saya. Baginya tak ada cara lain selain melawan dan berontak. Cara dialog pun dirasanya sudah tidak berguna. Seperti mungkin yang dilakukan oleh si pembakar diri. Dia sudah mengalami titik buntu, karena pemerintah tidak pernah melaksanakan tuntutan-tuntutannya. "Lagipula jika kita melihat kasus di pembakar diri, siapa yang dirugikan? Toh dia hanya merugikan dirinya sendiri." Saya menjawab, bahwa memang tidak ada yang dirugikan secara fisik. Tapi bisakah kita membayangkan bagaimana perasaan keluarganya yang tiba-tiba saja mendengar kabar naas tersebut. Hal kecil memang, tapi menyentuh.

"Lalu, jika kamu memang tidak ingin ada kekerasan, bagaimana caranya? Bahkan berdialog pun rasa-rasanya sudah tak berguna. Akankah kamu terus menjadi orang yang apatis, tak pernah peduli pada apa yang dirasakan rakyat bawah?"

Sambil meneguk secangkir teh hangat, saya diam sejenak. Dan saya menjawab, tidak. Saya memang tidak bisa berorasi di depan kantor-kantor pemerintahan. Saya juga tidak begitu paham dengan wacana-wacana politik yang begitu membabibuta. Saya juga malas harus berpanas-panasan berdemonstrasi di jalanan. Lagipula, saya merasakan begitu bencinya ketika saya hendak berpergian, lalu tiba-tiba saja ada kelompok masyarakat yang sedang berdemonstrasi, macet! Ya, saya memang malas melakukan semuanya. Tapi perlu kita tahu, sesungguhnya aksi yang dibutuhkan rakyat bukan hanya aksi dengan turun ke jalan menuntut kebijakan pemerintah lalu disiarkan ke seluruh penjuru negara. Pernahkah kita berpikir untuk do something pada mereka, yang kita sebut sebagai rakyat bawah? Apakah pengabdian kita pada rakyat bawah harus selalu dilakukan dengan berteriak menuntus kebijakan pemerintah atas nama rakyat? Saya menjawab, tidak.

Saya memang tidak bisa berorasi atas nama revolusi reformasi. Tapi, saya hanya bisa ikut turun ke jalan untuk 'membantu' mereka. Saya mencoba bergabung dengan mereka-mereka, kawan-kawan dari jalan. Pernah juga, saya bersama beberapa teman menyediakan perpustakaan kecil-kecilan yang dikhususkan untuk kawan-kawan jalanan. Saya juga dengan senang hati akan menjawab bila ada seseorang dari mereka bertanya suatu hal yang tidak mereka mengerti. Atau sekedar memberikan pelajaran mewarnai gambar pada mereka bocah-bocah yang terpaksa harus bergumul dengan kerasnya kehidupan di jalan tanpa bisa membaca dan menghitung. Dan mungkin, berkunjung ke sebuah perkampungan kumuh, memberi bantuan ala kadarnya. Dan mencoba bergaul bersama mereka. Menjadi teman yang baik bagi mereka. Menunjukkan pada mereka, bahwa tidak pernah ada batas antara kita dan mereka.

Atau juga, jika saat ini negara kita sedang goyah karena masalah-masalah budaya lokal negara kita yang seringkali dengan mudahnya direbut oleh negara-negara tetangga. Dan cukup banyak saya mendengar orang-orang berteriak, "Lestarikan kebudayaan lokal Indonesia!". Saya pun melakukannya dengan turut aktif berpartisipasi membantu teman-teman para penggiat seni tradisi dalam menggelar berbagai kegiatan-kegiatan kecil.

Memang, yang kami lakukan hanyalah hal-hal dalam lingkup kecil. Mungkin, tidak ada yang mengetahuinya. Kami juga tidak masuk ke dalam layar televisi. Tapi, kami melakukannya dengan tulus. Biar hanya dalam lingkup kecil, tapi kami melakukannya secara langsung dan berguna.

Seperti perbincangan saya dengan salah seorang seniman sekaligus aktivis di Bandung. Saya ingat, dulu dia sering melakukan aksi di mana-mana. Namun sekarang, dia membangun sebuah kampung budaya dan industri di perkampungan di mana ia tinggal. Ia sadar akan SDM yang ada di wilayah tersebut. Ia mengolah SDM-SDM yang ada di sana untuk bisa produktif. Ketika saya bertanya, mengapa ia jadi lebih fokus di kampung ini, ia menjawab, "Ah, saya capek terus-terusan aksi, nggak ada gunanya. Mending langsung saja aksi dalam bentuk nyata."

Begitulah kira-kira yang saya ambil. Aksi dan orasi tidak menyelesaikan masalah. Memang, jika aksi dan orasi-orasi itu berhasil, akan membawa pengaruh yang sangat besar untuk seluruh lapisan masyarakat. Namun, entah kapan. Dan, bagi saya, lebih baik kita turun untuk melakukan sebuah aksi nyata dan langsung menyentuh mereka yang kita bela. Setidaknya, itu jawaban saya pada Ranu.

Malam semakin dingin, air teh dalam cangkir semakin menyusut. Mungkin sudah waktunya perdebatan ditutup. Pada akhirnya, secangkir teh hangat menjadi saksi perdebatan malam tadi.


Bandung-Sokaraja, 091211