Jiwa Itu, Mati

Mar 7, 2012

Jiwa Itu, Mati


Semesta bergemuruh, tanah bergetar.
Terasa di kepala. Pecah! Hancur!
"Kacau!", dia bilang. Kacau seperti tanah yang diinjak. Tanah yang pudar, retak, sebentar lagi terbelah.

Mau dibawa kemana?
Tak ada susila. Tak ada adat. Tak ada malu-malu.
Semua pesta!
Tak perlu malu bilapun telanjang bulat.
Bersenang, tapi mati.

Anjing-anjing semakin menggonggong. ANJING!

Di mana letak halal?
Mungkin ada di dalam tanah merah bau busuk, tempat dimana orang-orang tak berjiwa bermimpi tentang masa lalu.

TAI! ANJING! BAJINGAN! BANGSAT!
Umpatan itu pun terasa manis.

Ada nyawa, tak ada jiwa.
Jiwa itu, mati.
Untuk apa dipertahankan bila tak berjiwa?

Air di ujung samudera melompat tinggi, mencoba mencakar merpati.
Dia gerah. Dia mengeram. Dia marah. Dia mengaung. Dia mengamuk.
Di keramaian sudah terlihat Messiah.
Bisa apa? Tidak ada.
Patung-patung tak berjiwa pun tinggal menunggu pedang patahkan tulang-tulang batunya.

Hancur kan? Terimalah!

Salah siapa?
Salah yang berjiwa yang terlena dalam gurun pasir. Seperti rumput goyang ikuti irama. Mata terpejam. Tak peduli sekeliling. Tak peduli kanan dan kiri. Hanya nikmat semilir angin yang dirasa.

Memang indah, tapi tak berjiwa.
Lepas semua jiwa.
Mati pun, pada akhirnya.