Kampung Gembira

Jan 19, 2012

Kampung Gembira


Di sini tidak ada tangis yang tersedu-sedu. Di sini tidak ada marah yang membabibuta. Atau tidak ada anak-anak muda yang lantang menyuarakan kegalauan. Tidak ada beban yang harus dipikul. Di sini semua bergembira.

Lihatlah pria yang sedang jongkok di pinggiran sungai yang penuh sampah itu. Bajunya lusuh dan robek-robek. Sandal jepit yang sudah tampak usang karena dipakai untuk berjalan di tengah-tenah lumpur tanpa dicuci. Tapi, pria itu tentu tak lupa dengan kacamata hitam berlabel Oakley. Namanya Mamat. Tapi setiap bertemu orang, dia selalu berkata, "Hai, saya Johnny."

Mamat atau Johnny adalah salah seorang di antara mereka yang berada di kawasan itu. Kawasan yang selalu ramai. Ramai dengan tawa, dengan marah, dengan tangis, yang tanpa memerlukan kesadaran. Banyak orang enggan memasuki kawasan tersebut. Banyak yang bilang kawasan itu angker. Ya, angker. Setidaknya angker bagi mereka yang ketakutan ketika dikejar-kejar seseorang berambut gimbal tak beraturan, tanpa busana, yang berhasil memperlihatkan seluruh tubuhnya tanpa terkecuali, penisnya yang menghitam dan dekil.

Tapi tak usah takut. Percayalah, pria bugil itu tidak berbahaya. Ia tidak akan membuatmu mati atau terluka sedikit pun. Namun, teriakan histeris orang-orang yang melewati kawasan tersebut berhasil membuat hampir semua orang percaya bahwa kawasan tersebut angker dan berbahaya. Sampai-sampai, di ujung jalan menuju kawasan ini, di sela-sela rimbunnya pepohonan, terdapat sepotong kayu tipis bertuliskan, Hati-hati, kawasan berbahaya!

"Aku tak mengerti mengapa semua orang berteriak-teriak ketakutan ketika aku berlari ke arahnya. Padahal aku hanya mencium bau kentut mereka yang seperti malu-malu untuk dikeluarkan. Dan aku hanya ingin bilang pada mereka, jika kalian malu mengeluarkan bunyi dan bau kentut di depan orang banyak, aku akan dengan senang hati bersedia menampungnya." keluh Faka, si pria berambut gimbal yang ditakuti oleh hampir semua orang. Namanya memang Faka. Dulu, sangat dahulu kala, teman-teman sepermainannya memanggilnya Fak, atau kadang beberapa temannya jahil menuliskan namanya dengan ejaan lain, yaitu Fuck. Dan nama itu pun berhasil membuatnya menjadi santapan nikmat teman-temannya yang haus mencela. Tak jarang ia ditelanjangi di toilet pria sekolahnya. Tak jarang juga alat kelaminnya dipermainkan seenaknya. Jika anak-anak itu ditanya, anak itu akan menjawab, "Namanya Fuck. Artinya hubungan intim telah mendapatkan izin dari raja. Kami tidak salah, kami hanya mengartikan namanya saja."

Namun sekarang, keadaan sudah berbeda. Ia tidak lagi menjadi santapan nikmat teman-teman sepermainan. Ia tidak lagi dipanggil Fuck. Ia tidak lagi ditelanjangi, namun menelanjangi diri sendiri. Dan alat kelaminnya tidak lagi dipermainkan seenaknya. Sekarang ia hanya mengejar aroma kentut. Karena entah mengapa, dulu ketika teman-temannya memainkan alat kelaminnya, bukannya ingin mengeluarkan sperma, namun ia selalu ingin mengeluarkan gas yang meracuni pikiran sesaat yang dinamakan kentut. Ia selalu bilang pada teman-temannya, "Kentutku wangi lavender kan?" Teman-temannya pun spontan tertawa. Dari situ, baru ia sadari, puncak kenikmatan bukan hanya air sperma yang keluar, tapi adalah kentut. Dan sekarang, ia bertekad untuk hidup tanpa busana dan mengejar kentut.

Seperti yang dilakukannya sekarang. Jika Jean-Baptiste Grenouille memiliki indra penciuman yang tajam khususnya terhadap aroma-aroma yang memikat, seperti aroma wanginya perawan, maka saat ini, Faka pun berhak disejajarkan dengannya. Bedanya, indra penciuman Faka tajam terhadap aroma kentut. Itulah yang membuatnya selalu mengejar-ngejar banyak orang.

"Apakah aku setan? Apakah aku setan?", ucap Faka sambil menggeleng-gelengkan kepala, membulatkan mata, mengendus-ngendus seperti babi. Dan tepat di belakang Faka berjongkok, seseorang melakukan hal yang sama sepertinya. Ia menggelengkan kepala, mengendus seperti babi, dan membulatkan mata, walaupun yang terakhir ini tidak dapat dibuktikan karena bentuk matanya tertutup oleh kacamata hitam bermerk Oakley. Johnny atau Mamat berjongkok di belakang Faka, mengikuti gerakan Faka. "Setan itu cinta.. Cinta itu setan.. Setan itu cinta.. Cinta itu setan.." Faka tak memperdulikannya. Ia terus menggeleng-gelengkan kepala, sambil berucap, "Apakah aku setan? Apakah aku setan?" Dan Johnny terus membalasnya dengan Setan itu cinta.. Cinta itu setan.. Begitu seterusnya dan begitu seterusnya. Mereka terus mengeluarkan racau yang itu-itu saja. Seolah-olah seperti dua orang yang sedang bermain pantun. Sampai akhirnya Faka lelah. Ia undur diri, membalikkan badan dan membungkukkan badan lalu melesat pergi.

"Setan itu cinta. Cinta itu perempuan. Perempuan itu setan. Setan itu menakutkan. Perempuan itu setan. Perempuan itu menakutkan. Aku takut melihat setan. Setan itu perempuan. Aku takut melihat perempuan. Aku memakai kacamata." Mamat yang takut melihat setan. Mamat yang takut melihat perempuan. Mamat pernah mencintai seorang perempuan bernama Jenifer. Perempuan cantik dan bahenol yang menampilkan foto di friendsternya dengan pose setengah berbungkuk, memakai tank top, ditambah belahan dada yang begitu molek. Tak lupa, senyumannya yang bagai senyuman bidadari ala Nikita Willy pun berhasil menggiurkan hati Mamat untuk meraihnya.

Seiring berjalannya waktu, Mamat tak kunjung juga mendapatkan cinta sang bidadari. Jenifer selalu berkata, "Nama kok Mamat? Mbo ya bagusan dikit gitu kalau punya nama.. Robert misalnya." Selain itu, setiap kali mereka pulang dari acara menonton film-film Bollywood yang diputar oleh bioskop-bioskop ternama di malam minggu, Jenifer selalu meminta Mamat untuk mengajaknya makan di restoran yang terletak di atas bukit dengan secercah sinar lilin dan dengan satu botol mineral water seharga sepuluh ribu rupiah. Spontan Mamat menolaknya. Apa daya? Rupiah di kantong hanya cukup membelikan dua bungkus cilok yang bisa dipilih mau memakai bumbu kacang atau saus merah. Karena itulah, Jenifer pun menolak cintanya. Namun, ia tak pernah menolak jika Mamat mengajaknya menonton film Bollywood di bioskop. Dan biarpun cinta tak kunjung dibalas, Mamat tetap menikmati acara nonton bioskop bersama Jenifer. Tentunya, bukan karena tak ingin ketinggalan film-film terbaru, tapi karena tak ingin ketinggalan perkembangan besarnya payudara Jenifer yang aduhai.

Dan suatu waktu, seakan-akan ada buldozer yang menggilingnya. Mamat ingin mati, setelah mendapat undangan pernikahan Jenifer dengan pria bernama Johnny. Layaknya di sinetron, saat dilanda putus cinta, ia ingin bunuh diri. Namun dia beruntung. Karena berkali-kali ia melakukan percobaan bunuh diri, Tuhan terus menggagalkannya. Sebagai gantinya, Tuhan mengacak-ngacak otaknya. Tak lupa juga, sempat suatu saat ia mencuri kacamata bermerk Oakley dari seorang turis yang sedang berjemur di pinggir pantai. Dan sekarang, atas izin Tuhan, dia bereinkarnasi menjadi Johnny dengan kacamata hitam sebagai pelindung matanya agar terhindar dari gambaran wanita-wanita aduhai.

"Setan itu cinta. Cinta itu perempuan. Perempuan itu setan. Setan itu menakutkan. Perempuan itu setan. Perempuan itu menakutkan. Aku takut melihat setan. Setan itu perempuan. Aku takut melihat perempuan. Aku memakai kacamata", gumam Mamat yang perlahan terlelap.


MALAM semakin larut. Pasukan bintang berkumpul membuat koloninya masing-masing. Bulan terbangun dari tidur. Jangkrik semakin riuh bersuara. Katak melompat kesana kemari. Dan di luar semuanya, berpuluh-puluh manusia berkumpul di sebuah lapang. Lapang yang penuh dengan sampah. Mereka berkumpul setelah melakukan aktivitasnya masing-masing. Hingar bingar terasa. Mamat dan Faka ada di tengah-tengah kerumunan.

"Haw ar yuuuuuuuuuu?", terdengar salam sapa yang manis dari tengah-tengah kerumunan yang entah berasal dari siapa. Kerumunan pun menjawabnya dengan bersorak gembira. Ada yang sambil menari-nari, ada yang melompat-lompat, ada juga yang hanya berdiri mematung. Di tengah kerumunan yang penuh sesak, tampak dua manusia seperti sedang berbincang-bincang atau berdebat tentang suatu hal.

"Hartaku dicuri. Hahahaha hartaku dicuri! Ada tikus-tikus berseragam yang mencurinya. Aku sedih. Aku merana.."
"Di sana ada setan. Setan itu mengintaiku sedari dulu. Seperti wanita, namun tak berambut. Matanya merah, bibirnya berdarah biru. Payudaranya mengecil sebelah. Mengerikan! Ia terus menerus mengejarku.."
"Oh para pegawai Bank, mengapa kalian mencuri hartaku? Mengapa tidak hatiku saja yang kalian curi?"
"Dia mendekatiku.. Dari mulutnya keluar darah berwarna biru. Ia muntah. Hah? Apa ia sakit?"

Dan, lantas mereka tertawa. Ha Ha Ha.

Suasana malam terus riuh ramai. Mereka berbagi tawa, berbagi kegembiraan. Ada seseorang yang menangis, namun sejenak kemudian ia tertawa. Ada juga seseorang yang tampak asyik mengunyah makanan yang ditemukannya di tempat sampah di depan jalan. Lalu, tiba-tiba seseorang yang lain ikut mengunyah. Mereka tidak bertengkar. Tidak seperti pengusaha-pengusaha yang marah dan melakukan perlawanan ketika lahannya direbut oleh orang lain.

Malam itu, tak satupun kesedihan yang tampak. Seperti hari-hari biasanya, kesedihan selalu tertutupi oleh tawa, oleh luapan kegembiraan. Tanpa seorang pun tahu, bahwa sebenarnya merekalah korban-korban kesedihan. Korban-korban dari sesuatu yang orang bilang penderitaan hidup. Seperti menari di atas warna mejikuhibiniu namun badan tertimbun tanah. Tidak ada warna hitam dan abu-abu. Di sana hanya ada mejikuhibiniu. Warna pelangi yang terlihat ceria setelah gelapnya hujan turun.

Malam semakin larut. Mereka terlelap di atas tanah basah, di dahan-dahan pohon, di atas karung bekas, di atas kayu yang patah, di atas batu pinggir sungai. Mereka tidur sembarangan, di tempat yang didapatkan secara cuma-cuma.


MATAHARI menguap. Ia bangun dari tidur. Mereka pun terbangun. Ada juga yang memilih untuk tidak tidur karena masih ingin mencari setan-setan yang bergentayangan di malam hari. Mereka membuka mata. Lantas mereka tertawa. Ha Ha Ha.

Tertawa bagaikan suatu kegiatan rutin bagi mereka penghuni kampung itu. Bangun tidur pun harus disambut oleh tawa. Namun ada juga yang langsung menangis, dan juga melamun, atau bergumam ini dan itu tanpa tahu siapa yang menjadi lawan bicara.

Tidak seperti manusia-manusia di luaran sana, yang selepas bangun tidur, mereka melaksanakan rutinitas pagi seperti mandi, sarapan, atau membersihkan halaman rumah bagi mereka yang memiliki halaman rumah. Mereka hanya berdiri, lalu pergi entah kemana. Ada yang keluar dari kawasan tersebut. Ada juga yang kembali bersembunyi di balik semak-semak. Segala macam aktivitas yang tidak dapat ditemui di kehidupan sehari-hari manusia pada umumnya yang terasa monoton.

Ada seorang wanita yang selalu duduk di pinggir tempat sampah. Ia selalu ditemani oleh koleksinya yang berupa tas-tas merk dunia. Setiap hari ia rapikan tas-tas tersebut walau tak kunjung rapih. Ia bersihkan walau tak kunjung bersih. Juga, lihat di pinggir sungai yang kotor itu. Ada seorang pria yang terus menerus menatap ke arah langit. Sambil menatap langit, ia bergumam tak karuan. Padahal, sebenarnya ia mengalami gangguan penglihatan. Namun ia selalu membayangkan awan-awan itu membentuk payudara wanita. Dan sesekali ia tersenyum.

Itulah yang dinamakan gembira. Gembira tanpa harus berpura-pura. Gembira tanpa embel-embel.

Dan ketika semuanya sedang disibukkan oleh kegiatannya masing-masing. Tiba-tiba muncul seorang wanita berbadan tinggi kurus, hanya tulang yang tampak. Sedikit sinar terpancar dari kulitnya yang tampak putih mulus namun berkedok kotoran. Tangan dan kakinya tampak lelah menahan pasungan. Sebenarnya, ia adalah perempuan rupawan. Karena satu dan lain hal, secara tiba-tiba ada yang mengganggu kejiwaannya. Dan membuatnya harus hidup dalam kurungan dengan kaki dan tangan terpasung. Sampai pada akhirnya ia berhasil membebaskan diri dari kurungan. Dan ia bergelandang kemana-mana. Sampai suatu saat ia dibawa oleh sekumpulan orang, dan ia dibuang di dekat kawasan ini. Ia muncul secara tiba-tiba. Dari wajahnya tersirat kebingungan. Ia tak tahu mengapa ia bisa sampai kepada daerah yang tak pernah dikenalnya ini.

Dan seseorang menghampirinya. Berdiri di depannya. Tersenyum padanya. Lalu memberikan jari telunjuk tepat di hidung si perempuan baru sembari membuka mulutnya. Pertanda ia berkata, "Siapa kamu?"

"Aku tak tahu. Aku lupa. Aku hanya ingat bahwa aku dibuang oleh sekumpulan pria berseragam coklat di suatu tempat tadi malam. Dan pagi ini aku tiba-tiba ada di sini. Ini di mana?", tanyanya.

Orang itu tidak menjawabnya. Ia hanya tertawa. Ha Ha Ha. Ia gerakan seluruh tubuhnya, seperti seorang anak kecil yang meluap-luap gembira. Gerakan tubuhnya mengisyaratkan bahwa ia berkata, "Di sinilah kampungmu. Kampung di mana kamu tidak perlu berpura-pura. Kampung di mana tidak ada embel-embel rumitnya kehidupan. Selamat datang di Kampung Gembira.."
















Untuk mereka, para penghuni Kampung Gembira.

Dipublikasikan di Kumcer : Kisah Cinta Manusia dan Setan Pemangsa Berak