Lendir Pertama untuk Layung

Feb 17, 2013

Lendir Pertama untuk Layung


Pantai ini adalah pantai tak berpenghuni. Pantai tanpa gaduh suara bising. Putih pasirnya isyaratkan kesunyian yang disembunyikan di balik batu karang yang terbalik. Sungguh pantai yang kosong. Seperti diriny, Layung yang kosong. Layung yang warna merahnya memudar oleh jeritan burung-burung gagak yang terbang mencari mangsa. Layung yang sinarnya sejenak memecahkan pandangan dalam pupil yang mengecil. Layung dengan hamparan air laut yang airnya telah tercampur oleh peluh dengan rasa sendu.


IA berdiri tegak di tengah hamparan pasir putih. Angkuh. Merah kulihat warnanya. Seperti rona pipinya yang memerah ketika kusentuh pundaknya yang suci. Kuning kulitnya setengah tertutup oleh bubuk-bubuk pasir putih yang berterbangan terbawa angin dari selatan. Seluruh tubuhnya diselimuti oleh pertempuran matahari yang memaksa masuk ke bawah permukaan air laut yang biru.

Dari samping, kulihat biru bola matanya melepuh oleh panasnya air mata yang tergenang. Air mata itu hanya tergenang. Tak bisa menetes bebas. Seperti terkungkung oleh benteng batu yang keras. Bahkan aku tak tahu apa yang ditangisinya. Haruskah aku mencari tahu?



"Di depan kau lihat air laut berwarna biru. Ia cukup tenang. Tapi kau tahu? Sekali kau menjamahnya dalam-dalam, kau akan tenggelam ke dasar laut. Itulah perempuan", ucapnya tanpa getar. Tak tega rasanya aku untuk membalasnya. Itulah perempuan. Selalu terlihat tenang. Namun, jangan sampai kau koyahkan sedikitpun ketenangannya.

 
Cukup lama kami terdiam. Memandang pertempuran antara merah menyala dan biru tenang di depan mata kami berdua. Akankah mereka menjadi ungu? Seperti kami. Menyala mataku melihat kedua kaki telanjangnya yang seperti hembusan udara melayang di atas pasir tak bernyawa. Tenang dirinya memandang adu ombak yang perlahan membasahi kedua telapak kakinya. Mungkinkah kami pun menjadi ungu?




Metafora ini tersimpan dalam makna yang serba tak terduga. Ungu, bagaikan metafora yang datang tanpa direncakan. Sekali lagi, akankah kami menjadi ungu?


Pemandangan di depan kami tak kunjung menjadi ungu. Namun, aku sudah bisa merasakan hembusan nafasnya dari jarak terdekat yang kami miliki. Kurasakan sedikit basah di bibirku yang ternyata telah memagut bibirnya yang layu. Tapi ternyata, pertempuran antara merah menyala dan biru tenang masih belum tuntas. Mereka malu-malu. Bersembunyi di balik bibir kami yang saling memagut.


Pasir putih terasa hangat kuraba. Tak sadar, kami sudah terlentang di atas pasir putih yang kelak menjadi saksi. Kuraba kedua kakinya yang murni. Kudekap pinggangnya yang polos. Kubelai wajahnya yang asli. Kusentuh pundaknya yang suci. Yang kelak kutahu, pundak yang tak pernah diraba oleh lelaki manapun.  



KURASA biru ketika aku menciumnya dalam. Kurasa abu ketika kuangkat bibirku perlahan. "Ini yang pertama. Akankah menyenangkan?", tanyanya pelan sembari memalingkah wajahnya ke batu kerikil yang telah setia menjadi penonton adegan demi adegan yang kami buat.
 

Adalah dirinya, yang dengan keras mempertahankan kemurnian mahkotanya. Adalah dirinya, yang terpaksa menganggukkan kepalanya ketika ia diminta untuk menyerahkan mahkotanya pada seorang pria tua demi hutang keluarga. Dan, adalah dirinya, yang lari dari kenyataan yang baru saja terjadi satu hari yang lalu. Ketika seorang pria tua berbadan gemuk mencoba untuk menggerayangi tubuhnya sampai habis. Ia lari. Lepas. Dan pantai sunyi inilah yang ia temukan.

Sekilat cahaya abu melewati pandanganku perlahan. Sekilas, wajahnya nampak semu. Kosong kulihat sorot matanya. Apakah kerikil itu bagaikan kerikil di antara pohon kaktus? Begitu susah dilewati.
               

Kuangkat sedikit gaun merahnya. Sejenak aku tak mengerti apa yang akan kulakukan. Kuraih tubuhnya yang mungil. Kugerayangi perlahan. Polos.

Ia menggerayangi tubuhku. Lembut. Tidak kasar. Aku terkungkung oleh campuran energi positif dan negatif saat ini. Apa jadinya?

Aku lumat bibirnya. Kuharap air liur kami bercampur menjadi satu. Menjadi keunguan, seperti yang kuinginkan.

Zat kimia apa saja yang terdapat di dalam air liur? Apa yang akan terjadi jika air liurku bercampur dengan air liurnya? Ungu, kaukah itu?

Kurasa basah tubuhnya menggerayangi tubuhku. Basah di sela-sela kaki..

Gerakan aneh ini seperti memberikan aliran listrik pada tubuhku. Badanku gemetar. Namun peluhku menjadi saksi keindahan. Apakah ini sementara?



INI basah. Peluh kami bersatu. Pertempuran sengit antara merah menyala dengan biru yang tenang mendadak hilang. Kami tak sadar pertempuran itu sudah hilang. Tergantikan oleh rona keunguan di balik tubuh kami yang berbalut peluh. Pertanda gelap sudah datang.

"Namaku Layung. Terimakasih untuk lendir pertama yang kau berikan."

Layung menghilang. Menjadi sinar keunguan yang tampak dari celah-celah langit malam.
"Layung, akankah ada layung berikutnya di pasir putih ini?