Metropolhectic: Perlahan Mati

May 26, 2013

Metropolhectic: Perlahan Mati


Aku berdiri di sini. Di tengah persimpangan jalan. Jika kamu melangkah ke utara, kamu akan menemukan berbagai macam mall-mall tempat mereka memamerkan gaya hidup. Dan jika kamu memilih untuk melangkah ke barat, kamu akan menemukan gedung-gedung tinggi perusahaan-perusahaan besar tempat mereka mencuri tenaga mereka-mereka yang kecil. Lalu, apabila kamu melangkah ke timur, kamu akan bertemu dengan gedung yang orang sebut gedung tempat menuntut ilmu namun jadinya gedung untuk mencari jodoh dan menghabis-habiskan uang orang tua. Dan terakhir, jika kamu memilih untuk berjalan ke selatan, kamu akan melihat mobil-mobil mewah yang keluar masuk gerbang sebuah gedung megah tempat mereka-mereka yang katanya mengatur kebijakan Negara.

Bukan aku tak tau mau ke mana. Namun aku bingung. Aku bingung dengan ledakan apa yang ada di kota ini. Mengapa mobil-mobil mengkilap ada di mana-mana? Dan kau tahu, mobil-mobil mengkilap itu dihiasi oleh warna-warni bis-bis kecil yang juga ikut menyemarakkan kota. Ditambah dengan kepulan asap hitam yang menyapu bersih udara segar yang seharusnya kita hirup.

Aku hanyalah seorang pekerja biasa. Aku bekerja di sebuah perusahaan, di mana para pekerjanya hanya diberi upah satu juta lima ratus ribu rupiah per bulan. Padahal jam kerjanya mencapai dua belas jam. Bagiku, itu tidak sebanding dengan pengeluaran sebulanku. Aku harus membayar harga sewa kost kamar, mengirim uang ke kampung, dan juga untuk makan. Di mana ditemukan makan satu piring seharga empat ribu rupiah, di sini?

Selain itu, teman-teman kantorku pun senantiasa mengajakku keluar di malam minggu. Hanya untuk sekedar nongkrong di cafe-cafe ala perkotaan yang artinya, aku pun harus mengeluarkan budget lebih.

Untungnya, hari ini bukan hari Sabtu. Tapi hari Senin, di mana aku harus memulai lagi rutinitasku setelah berleha-leha selama dua hari. Ini pukul tujuh pagi. Lihatlah, bahkan kota ini pun sudah penuh sesak di waktu yang sepagi ini. Di kotaku dulu, jam tujuh pagi adalah waktu yang bagus untuk kita berjalan-jalan. Di sini pun aku berjalan-jalan, menuju kantorku.

Sebenarnya aku masuk pukul sembilan pagi. Namun karena kemacetan yang selalu melanda kota ini, aku harus mengambil ancang-ancang lebih cepat. Lagipula bis yang akan aku tumpangi selalu penuh sesak. Walaupun hanya telat sepuluh menit, bersiaplah kau akan tertinggal oleh bis. Maka dari itu, daripada hanya terus memandangi semrawutnya mobil-mobil berjalan, lebih baik aku bergegas mencari bis-bis yang sedang menunggu penumpang.


"Dimulai ketika ayah pergi.. Kami hidup dalam keterbatasan.. Hal itulah yang membuat aku harus hidup di jalanan.. Saat kami tak mengerti apa arti perceraian.."

SEORANG anak muda dengan pakaian seadanya mendendangkan sebuah lagu sambil memainkan gitar kecilnya. Lirik yang begitu jujur dan apa adanya keluar dari mulut seorang remaja yang terpaksa harus menjadi seorang pengamen karena segala keterbatasan dalam keluarganya. Beberapa orang memberinya receh demi receh, termasuk aku. Bahkan masih banyak juga orang yang acuh tak acuh terhadapnya.

Aku tak menyangka, di kota yang segembira ini, ternyata jumlah pengamen jalanan masih mencapai angka tiga ribu lebih. Dulu, sewaktu masih di kampung, aku berpikir bahwa kota ini adalah kota di mana semua orang bisa mendapatkan kemakmuran dan kesejahteraan materi. Termasuk aku, yang jauh-jauh dari kampung sana pergi ke kota ini untuk mendapatkan uang sebesar satu juta lima ratus ribu rupiah per bulan. Namun ternyata, di sini masih saja ada orang-orang yang tidak bisa mendapatkan kesejahteraannya, bahkan banyak.

Bis ini begitu sesak. Dan benar saja, aku tak kebagian kursi untuk duduk. Aku hanya bisa berdiri sambil menciumi bau-bau tubuh penat setiap orang. Tak apalah, setidaknya aku bisa memperhatikan orang. Dan aku melihat seorang pria dengan tubuh kurus dan mata yang memerah masuk ke dalam bis. Aku tak tahu siapa dia. Namun, aku menaruh perhatian terhadapnya.

Sepanjang perjalanan, aku perhatikan orang-orang yang ada di dalam bis. Dan juga pria bermata merah itu. Dan tiba-tiba saja, di tengah perjalanan, aku melihat pria itu merogoh salah satu tas milik seorang perempuan. Baru kusadari ia adalah seorang pencopet. Aku tak bisa melakukan apa-apa, karena aku pun takut jika ia menyerangku balik. Lagipula aku tak peduli. Aku masih aman dan tidak dirugikan sama sekali. Biarkan saja orang lain yang rugi. Toh kata orang, di sini adalah kota yang dimana orang-orangnya sangat individualis.

"Eh, nanti pas jam istirahat kamu antar aku ke mall ya. Ada tas keluaran terbaru yang ingin kubeli," sahut seorang perempuan di sebelahku kepada temannya.
"Oke, nanti juga aku sekalian mau membeli krim-krim untuk wajahku. Krim wajah dari dokterku habis, aku tak mau wajahku bermegaran," jawab si teman sambil terus memandang ke arah handphone canggih yang sedang digenggamnya. "Eh aku dapat invitation untuk malam minggu nanti di club, untuk dua orang. Kamu mau ikut?", lanjutnya. Dan si teman menjawab dengan anggukan kepala tanpa sedikit pun melepas perhatiannya dari seluler pintar yang terus menerus ia genggam erat.


DUA koran pertama telah aku habiskan. Ya, aku memang rajin membaca koran. Bukan karena ingin, tapi karena memang inilah pekerjaanku. Meringkas semua berita dari koran-koran yang ada. Banyak berita-berita yang berasal dari kota ini. Mataku mendadak miring ketika membacanya. Bukan karena aku juling, tapi sungguh, percayalah, berita-berita ini membuatku bosan. Selalu ini dan itu. Tidak akan jauh dari berita yang berkisar mengenai pejabat yang dinilai lalai dari tugasnya.

Aku tutup koran yang kedua, karena sekarang waktunya istirahat.

"Gi, ayo kita cari makan siang bersama. Anak-anak mau makan siang di Starducks. Kau mau ikut?" seorang teman mengajakku untuk makan siang bersama. Ah, sebenarnya aku malas. Makan siang di Starducks bisa menguras kantongku. Tapi bagaimana, jika aku menolak, nanti bisa-bisa aku disebut sebagai orang yang tidak bisa bergaul. Maka dengan terpaksa aku mengangguk.


SATU gelas Peppermint Mocca Frappucino dan satu box Tuna Salad sudah ada di depan mataku. Aku tak habis pikir, mengapa aku sampai hati mau-maunya melahap makanan-makanan semacam ini. Dulu, sewaktu di kampung, aku biasa makan dengan sayur bening dan telur dadar. Tapi sekarang, karena pergaulanlah aku sedikit demi sedikit meninggalkan sayur bening dan telur dadar.

"Hei, malam minggu nanti kita mau kemana?" tanya Ringgo, si lelaki berbadan besar, namun pasti kau tak akan menyangka jika aku bilang dia menggenggam empat wanita di tangannya. Aku sendiri tak tahu apa kelebihannya sampai-sampai ia bisa mempacari empat wanita sekaligus. Dengan bermodalkan empat handphone alakadarnya, ia berhasil menghindari sebuah kecelakaan yang dinamakan 'salah sms'. Dan setelah itu, terjadilah percakapan remeh temeh yang berhasil membuatku cukup menjadi pendengar yang baik dan pengangguk kepala yang cekatan. Begini, aku salinkan percakapan remeh temehnya.

"Memangnya kamu tak ada janji dengan pacar-pacarmu itu?"
"Oh tenang.. Nanti aku akan pergi bersama Syila."
"Lalu yang lain?"
"Aku bilang saja aku ada acara bersama keluarga, beres kan? Jadi kemana kita nanti?"
"Kita ke club tempat biasa kita main. Gimana?"
"Oke! Setuju."

Dan menganggukkan kepala, lantas tersenyum.


TAK terasa aku sudah berada di hari Sabtu. Hari terakhir dalam satu minggu di mana setiap orang memanfaatkannya untuk bersenang-senang. Ya, dengan alasan lelah dan penat dengan rutinitas sehari-hari yang membosankan. Memang tidak semua, tetapi kebanyakan. Dan aku menjadi bagian dari yang kebanyakan. 

"Gi, siap-siap ya. Satu jam lagi saya sampai di depan kostan, kita langsung berangkat ke club." Begitulah isi pesan singkat yang kuterima dari Ringgo. Aku tak lupa, bahwa hari ini aku akan menjadi yang 'kebanyakan', melepas penat setelah lelah dengan rutinitas sehari-hari.

Satu jam berlalu, dan sekarang aku berada di dalam mobil mewah ber-AC. Aku bisa merasakan nyaman, tidak seperti hari-hari kemarin yang selalu bertarung dengan bau keringat yang berteriak ingin cepat sampai pada tujuan. Lama kunikmati perjalanan yang isinya hanyalah barisan mobil-mobil mewah dan gedung-gedung tinggi menjulang yang seolah-olah hendak mencakar langit. Dan, akupun sampai pada tujuan, sebuah club malam di mana aku akan bersenang-senang di sana.


HENTAKAN tempo musik cepat membuat rona merah di pipiku. Hentakan itu membuat perutku terasa bergoncang kuat. Hentakan itu membuatku merasa mengangkat kepalaku ke atas menuju lampu-lampu yang menari bergoyang ke kiri dan ke kanan. Hentakan itu membuatku lengah, mungkin hampir tak sadarkan diri. Tapi tunggu, selintas kuingat mungkin beberapa jam yang lalu, seorang teman dan teman lainnya membuka tutup botol sambil tertawa terbahak-bahak. Apa aku ikut meminumnya? Sudah tentu.


LEMAS kurasa badanku. Terkapar lemah di kasur kecil yang aku tak tahu siapa pemiliknya. Yang aku ingat, aku rasa tadi ada mobil yang hampir menabrakku ketika aku berjalan tergopoh-gopoh di pelataran gedung, dan mungkin aku ikut masuk ke dalamnya. Dan sekarang, yang kulihat adalah seorang perempuan yang tubuhnya hanya terbungkus kain selimut memandangku sambil berkata, "Mana bayaran saya? Saya harus bekerja lagi.".

Terpaksa aku keluarkan lembar-lembar terakhirku, dan kuberikan padanya. Tinggal menunggu telepon dari istriku di kampung yang mengomel tentang uang yang belum juga kukirim dari sini.

Ya, kota ini membuatku perlahan mati.