SU(REAL)IS

Mar 11, 2013

SU(REAL)IS




Semua warna bercampur di sana, di atas kanvas kusam yang sudah bernoda. Tampaknya, cat dengan segala warna telah sengaja menumpahkan diri di atasnya. Bercampur menjadi satu. Membentuk segala rupa yang tak tertebak. Rupa yang sulit dimengerti. Beribu makna tersembunyi di balik semua coretan di dalamnya. Menjadi sebuah tanda tanya yang tak kumengerti. Hingga sekarang aku masih mempertanyakan maknamu, Ji.
Ji. Begitulah aku memanggilmu. Bahkan aku tak tahu siapa namamu sebenarnya.

Bercerita tentang sore yang kelam di mana air Tuhan akan turun dari langit yang katanya berwarna biru. Sore setelah aku bercinta dengan Valiumku. Sore setelah aku bertemu dengan setan pemangsa pikiran manusia-manusia pongah sepertiku. Sore setelah siang yang hampir terbunuh oleh ribuan serangan optik yang menjalar di sekeliling tubuhnya. Sore di mana aku harus berkata, ANJING! Dan sore, di mana pertemuan pertamaku denganmu, Ji.

Kamu sedang tersenyum. Kamu sangat bercahaya. Tubuhmu mengeluarkan seluruh warna yang dimiliki dunia. Warna cerah yang jarang sekali kujumpai. Lantas kamu tertawa. Bertegur sapa dengan sekawanan tikus yang terus mencicit tak henti-henti. Ah, andai aku seekor kucing, akan kumakan tikus-tikus itu sampai habis. Sungguh, cicitan-cicitan mereka langsung meleleh terbunuh oleh penyaring di dalam otakku.

“Glo, perkenalkan ini temanku, Ji”, teriak salah satu tikus yang sedari tadi ingin kuterkam.

“Hai Glo, aku Ji”, sahut Ji sambil tersenyum bak malaikat kecil yang begitu lucu dengan kedua sayap berwarna kuning yang terlihat mungil di pundaknya.

Itulah pertemuan pertamaku denganmu, Ji. Terlihat cerah dan penuh warna. Seperti pasar malam yang penuh dengan lampu bersama kuda-kuda plastik yang berputar. Seperti seorang bocah kecil yang menjilati permen gulali yang berwarna-warni sambil tertawa-tawa. Menggemaskan.

Ternyata, kita bertemu lagi, Ji. Sungguh, aku tak pernah mengira bahwa kita akan bertemu lagi untuk kedua kalinya. Di sebuah gedung tua. Namun, kali kedua, kita tidak bergabung dengan tikus-tikus si tukang cicit, melainkan dengan singa dan harimau. Ya, singa dan harimau, raja rimba. Apakau kau pikir mereka jahat dan akan menerkam kita? Aku rasa tidak.

“Lihatlah bulan itu, Ji. Ada mata di dalamnya. Begitu bulat. Bagaimana menurutmu, bulan itu cantik bukan?”, tanyaku. Sejenak, Ji menengadahkan kepalanya ke arah mata yang membulat di dalam bulan yang terang itu. Lantas ia tersenyum manis. Manis sekali.

“Mari kita nikmati malam di balik karung goni ini. Tadi sore, aku membelinya dari pasar”, ujar Ji mengajakku beristirahat. “Mandikan matamu dengan cahaya bulan di atas sana, Ji. Selamat malam”, balasku sembari semakin mendekatkan tubuhku dengannya. Lantas, Ji tersenyum dan memasukkan tubuhnya ke dalam karung goni.

Kau tinggal dalam sebuah gudang tua di sebuah perbukitan berkaktus. Mungkin perbukitan itu menyimpan banyak ranjau duri kaktus yang lantas membuat orang-orang yang melewatinya berdarah karena tertusuk oleh duri kaktus. Tapi aku tak peduli, Ji. Aku senang mengunjungi gudang tuamu. Gudang tua yang di dalamnya penuh dengan aroma dupa yang kau bakar tiap hari. Gudang tua tempat kita berpeluh. Gudang tua tempat kita menaruh gejolak yang sifatnya sementara.

Ada pancaran sinar merah yang kulihat dari matamu tiap kali kau menatapku. Matamu bertanduk, Ji. Seperti iblis yang mengerang puas setelah Tuhan mengizinkannya turun ke bumi untuk menggoda manusia-manusia sepertiku. Ada apa di balik matamu yang memerah, Ji? Mungkinkah kau menyembunyikan salah satu duri kaktus dari perbukitan ini di dalam matamu?

Seolah bahaya. Kau beringas seperti macan yang siap menerkam mangsanya. Dan akulah mangsamu. Berbagai warna yang bercampur aduk di dalam tubuhmu menerkamku hidup. Dari tubuhmu muncul duri-duri kaktus tajam yang kau dekap erat tak kau lepas. Mungkin mereka ingin keluar, Ji. Tapi kau tak kunjung melepasnya. Kau hanya mendekapnya. Kau hanya membiarkan warna-warni tubuhmu yang menerkamku.

Dalam waktu yang singkat, tubuhku pun tertular warna tubuhmu. Warna apa yang kau beri, Ji? Kauberi aku merah. Membuatku berani melawanmu. Akupun beringas. Kau pikir aku takut melawanmu? Namun sontak merahmu pudar. Merah matamu melepuh. Beringasmu menipis. Lantas kau tersenyum. Seperti pertemuan pertamaku denganmu. Senyuman bak malaikat kecil dengan kedua sayap kuning di punggungmu.


JI, seperti apakah dirimu sebenarnya? Sudah cukup lama aku mengasingkan diri di gudang tuamu. Berteman dengan sekawanan duri kaktus dan jaring laba-laba yang terkadang menjebakku tersesat. Kau nyata, namun tak cukup nyata. Aku mengenal tubuhmu. Aku mengenal baumu. Namun, aku tak mengenal warna-warna yang tercoret di dalam tubuhmu. Di dalam kanvas usang yang sudah bernoda oleh berbagai jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang terus kau sembunyikan.