Kicau Ironi dari Keringat yang Mengucur

Jun 6, 2013

Kicau Ironi dari Keringat yang Mengucur



Jalanan yang ramai, penuh dengan lalu lalang masyarakat yang hilir mudik kesana kemari. Sampah-sampah yang berserakan menjadi pemandangan yang selalu saya lihat dari menit ke menit. Tidak! Saya bukan bermaksud untuk menceritakan tentang daerah yang kotor penuh dengan sampah. Ada hal menarik yang saya dapatkan tempo hari, ketika saya harus mengunjungi kantor redaksi salah satu media massa yang berlokasi di ujung Kota Bandung. Hal menarik itu saya dapatkan dari balik jendela angkutan kota.

Angkot dengan rute Caringin - Dago adalah angkot dengan rute terpanjang di Kota Bandung (setidaknya begitu yang saya rasakan selama bertahun-tahun menjajaki angkot-angkot di Bandung). Namun dengan panjangnya rute, panjang juga pengalaman yang didapat. Kalau boleh saya berkata, jalur angkot ini adalah jalur yang sangat merakyat. Bagaimana tidak? Lebih dari dua pasar harus dilewati. Mulai dari pasar tradisional sampai pasar-pasar dadakan di pinggir jalan. Tak lupa, sampah-sampah yang menumpuk pun harus berkali-kali saya lewati. Dan di tempo hari itu, saya menjadi penumpang setia.

----------

Namanya Sukir. Saya memanggilnya Pak Sukir. Seorang supir angkot dengan rute Caringin - Dago. 

"Haduh euy.. Macet kieu atuh jalanan teh.."

Tiba-tiba Pak Sukir mengoceh pelan sambil menggaruk kepalanya yang mungkin sudah penuh dengan keringat lengket karena kelelahan. Lantas, terjadilah obrolan panjang yang menemani setengah perjalanan saya di dalam angkot tersebut.

Sebagai seorang supir angkot dengan rute perjalanan yang begitu panjang, tentunya Pak Sukir merasa terganggu dengan kondisi jalanan yang selalu macet. Masyarakat Bandung pasti tahu, daerah-daerah yang dilewati oleh angkot Caringin-Dago ini adalah daerah-daerah yang sudah terbiasa dengan kemacetan. Menurutnya, pemukiman penduduk di daerah Bandung Barat, Bandung Selatan (daerah-daerah yang dilewati angkot) terlalu padat, sementara lapangan pekerjaan selalu terletak di pusat kota. Seperti masalah klasik yang dialami Indonesia, mengapa pembangunan selalu terjadi di pusat sehingga yang terletak di pinggiran selalu terlupakan? 

"Ah Neng.. Biar saya orang nggak punya cuma bisa jadi supir angkot, tapi saya juga pengen atuh nyaman tinggal di Bandung."

Kenyamanan tinggal di kotanya pasti menjadi keinginan setiap orang. Tapi bagaimana bisa nyaman jika pada kenyataannya kondisi yang ada selalu membuat mereka gundah? 

"Coba Neng, kenapa masyarakat Bandung yang tinggal di daerah Barat atau daerah pinggir yang lain terkesat lebih rendah dibanding yang tinggal di tengah kota?" Saya menggelengkan kepala dan bertanya mengapa. Ternyata jawabannya kembali lagi pada jawaban sebelumnya, karena pembangunan yang tidak merata di seluruh Kota Bandung. Ia bercerita tentang anaknya yang berhasil ia kuliahkan namun sulit mendapatkan pekerjaan. Menurutnya, di daerah pinggir Kota Bandung, pekerjaan yang ada paling mentok menjadi pegawai pabrik atau tidak pegawai toko. Benarkah begitu? Ah saya baru sadar jika saya kurang peka terhadap kondisi kota yang saya tinggali saat ini. Tapi tiba-tiba kami mendengar suara tin.. tin.. tin.. Klakson kendaraan yang seolah-olah berlomba mana yang paling keras. Dan nyatanya, macet lagi dan lagi. 

Dalam hati saya mengumpat, mengapa terus macet. Padahal saya harus mengejar waktu untuk cepat sampai ke tujuan. Akhirnya kembali saya membuka obrolan. Obrolan mengenai kendaraan yang begitu banyak menumpahi jalanan. Saya mengeluh pada Pak Sukir, mengapa banyak sekali motor dan mobil saat ini. Padahal coba perhatikan, di dalam setiap mobil mewah yang kinclong itu hanya terdapat satu penumpang saja. Begitu juga dengan mobil-mobil kinclong yang lain. Mungkin itulah mereka, yang jika anggota keluarganya berjumlah empat orang, maka mobil yang dimiliki pun harus empat biji. 

Laju pertumbuhan penjualan kendaraan di Indonesia memang kencang. Bayangkan, menurut data yang ada, penjualan mobil tumbuh di atas 15% selama tiga tahun belakangan ini. Saya mengumpat terus menerus dalam hati. Sayangnya, malam umpatan kasar yang keluar dari mulut. "Dasar orang kaya! Gampang sekali mengeluarkan uang untuk membeli mobil yang pada akhirnya membuat jalanan semakin padat dan semrawut. Untung mereka orang kaya duit, bukan orang kaya kambing." Pak Sukir tertawa mendengar umpatan saya yang mungkin terlihat menggebu-gebu. Tapi ternyata ia pun setuju dengan apa yang saya katakan. "Bener Neng.. Kalau beli mobil makin gampang, ya orang-orang yang kaya saya ini yang tepuk jidat. Makin kosong deh setoran.. Hahaha."

Dalam kepalanya, Pak Sukir berpikir bahwa laju pertumbuhan penjualan kendaraan bermotor yang terus menerus meningkat dari tahun ke tahun tersebut sangat merugikan pihaknya sebagai supir angkot. Terbukti, menurutnya semakin kemari, jumlah penumpang angkot semakin sepi. Dan pada ujungnya hal itulah yang membuat para supir angkot memberhentikan mobilnya di pinggir jalan, lantas menunggu lama untuk mencari penumpang yang dalam istilah sehari-harinya "ngetem". Kebiasaan "ngetem" yang tidak disukai penumpang seperti saya. "Mau bagaimana lagi, saya kan harus nyetor.. Yah harap saling pengertian aja dari penumpang mah. Namina ge milarian cicis, Neng" Saya tersenyum. Dalam hati saya berpikir, benar juga, setiap orang mempunyai jalannya masing-masing dalam mencari uang. 

Perjalanan terus berlangsung. Perempatan demi perempatan saya lewati. Cuaca terik menyengat kulit saya yang bersembunyi dari balik jendela. Pak Sukir terus meneriakkan "Caringin Neng..Caringin..Hayu!" pada setiap orang yang dilihatnya berdiri di pinggir jalan. Penumpang di dalam angkot pun silih berganti. Mereka datang dan pergi lalu berganti dengan penumpang lainnya. Dan sampailah kami di sebuah pasar tradisional yang begitu kotor. Melihat proses tawar menawar antara pembeli dan penjual. Menyenangkan, angkot yang saya tumpangi harus menyusuri jalanan pasar yang becek dan bau. Pasar Ciroyom. 

Sekalipun sudah dibangun sebuah gedung yang lebih bersih ternyata masih saja ada pedagang-pedagang nakal yang memaksakan diri berjualan di pinggir jalan hingga jalanan menjadi kotor dan becek. Entah apa alasan mereka yang memaksakan diri untuk berjualan di luar gedung pasar. Saya jadi teringat cerita mengenai kawan-kawan saya di Purwokerto sana. Cerita mengenai sekelompok pedagang yang biasanya berjualan di pinggir jalan yang terus menerus mengakibatkan kemacetan. Pada akhirnya pemerintah setempat membangun sebuah gedung untuk mereka. Memang, letaknya agak menjorok ke dalam. Para pedagang pun menolak. Alasannya karena merasa takut akan kehilangan pelanggan jika harus berpindah tempat. Pada suatu hari mereka memaksakan untuk tetap berjualan di pinggir jalan. Akhirnya terjadilah bentrokan antara pedagang, masyarakat dan Satpol PP. Saya menceritakan hal tersebut pada Pak Sukir. Beliau tersenyum sambil berkata..

"Yah Neng, nggak munafiklah saya juga pasti pengen nyaman. Tapi buat orang-orang kaya kita mah, nyaman atau nggak nyaman mah nggak begitu penting. Yang penting itu kita mencari uang untuk kebutuhan sehari-hari. Saya juga capek ngurilingan Bandung, keringat ngucur. Tapi da kumaha deui atuh Neng.. Kehidupanlah, Neng."

Mungkin benar adanya. Mereka mencari kehidupan. Mereka mencari nafkah. Sampah-sampah yang menggunduk itu membuat saya termenung seketika. Ternyata gundukan sampah pun tidak membuat mereka menyerah dan mengeluh. Ah.. Ironi yang tersimpan di balik bangku lusuh dalam angkot.

----------

Roda mobil yang saya tumpangi terus berputar. Dari spion mobil, saya melihat wajah-wajah yang kelelahan menahan panas. Berganti-ganti wajah saya lihat dari tempat saya duduk. Mereka memberikan beberapa lembar ribuan atau bahkan beberapa keping koin receh. Ternyata, hiruk pikuk kicau-kicau mulut di bagian belakang yang sedari tadi ramai semakin menghilang ditelan tujuan. Dan saya, terus menunggu kapan saya bisa melihat kantor redaksi yang saya tunggu sedari tadi? Ternyata sayalah si penumpang setia. 

Bersama Pak Sukir saya mengadu kicau. Bersama saya, Pak Sukir mengadu kicau. Kicauan polos dari seorang supir angkot yang tak pernah berhenti mengelap keringatnya yang kian mengucur.