Eufimisme Itu Bernama Perubahan Yang (Mungkin) Buruk Rupa (Ayu Utami - MAYA)

Sep 2, 2014

Eufimisme Itu Bernama Perubahan Yang (Mungkin) Buruk Rupa (Ayu Utami - MAYA)


Asri Wuni

Manusia 'dijadikan' kerdil, bukan dilahirkan. Dijadikan oleh nilai-nilai yang mengepung dan membentuk mereka. Dan tak semua mampu membebaskan diri. (Halaman 227)

Kira-kira begitulah kalimat yang dikeluarkan Suhubudi. Siapa yang ingin menjadi kerdil dan buruk rupa? Semua orang menginginkan keindahan toh? 

Adalah Maya, si perempuan cebol buruk rupa berbulu ayam. Salah seorang 'manusia buruk rupa' yang dirawat oleh Suhubudi di padepokannya. Orang-orang melihatnya aneh, bukan takjub. Lebih lagi orang-orang pun melihatnya dengan pandangan jijik. 

Lalu, ingatkah pada kisah Saman yang jatuh cinta pada Upi, perempuan gila yang senang menggesekan selangkangannya? Lagi-lagi, orang-orang melihatnya menjijikan. Terlebih orang-orang merasa takut dengannya. Karena katanya, Upi gila. 

Namun nyatanya, baik Maya ataupun Upi membuat Yasmin dan Saman jatuh cinta. Siapa sangka mereka akan jatuh cinta pada yang buruk rupa? Keindahan tersembunyi di balik yang buruk rupa. 

Bahwa nilai-nilai yang sengaja dibentuk oleh masyarakatlah yang membuat Maya dan Upi buruk rupa. Sama halnya seperti melihat tumpukan sampah yang berair dan penuh lalat, tentu kita sontak akan menutup hidung atau melepaskan pandangan darinya. Bahwa kita dengan mudah melihat yang sesuatu dengan buruk. Tapi kadang kita luput untuk melihat sesuatu yang indah. Ataukah yang indah hanya sebatas langit biru lengkap dengan hamparan rumput hijau yang terasa sejuk?

Sekilas, saya teringat kepada salah satu tulisan Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggir-nya (yang maaf sekali saya lupa judulnya). Tentang Tuhan yang dapat kita temukan dalam hal-hal kecil, baik itu dalam pemukiman padat dan kumuh sekalipun.  Bukankah menemukan Tuhan itu katanya indah? (Maaf lagi, untuk kalimat tadi, mungkin kita tidak perlu menyamakan persepsi.) 

Banyak dari kita yang luput dari keindahan yang tersembunyi di balik yang buruk rupa. Yang mampu membuat kita jatuh cinta dan memberikan segenap rasa sayang. Walaupun terkadang rasanya cara kita memberikan kasih sayang pada yang 'buruk rupa' seringkali salah cara. Seperti yang dilakukan Yasmin dan Saman. Dalam konkretnya, seperti cara kita memjajalkan pemikiran-pemikiran untuk maju kepada berandalan-berandalan jalanan yang tentu akan agak sulit diterima akal. 

Begitulah kira-kira bagian yang menurut saya cukup tercetak di kepala saya setelah membacanya. Selebihnya, maaf harus saya katakan, saya kecewa. Mulai dari Saman, Larung, Bilangan Fu, Manjali Cakrabirawa dan Lalita, rasanya selalu ada penasaran setiap kali menyelesaikan satu halaman. Rasa semangat begitu mendidih untuk terus membuka-buka halaman berikutnya. Tapi tidak untuk kali ini. 

Biasanya, roman-roman karya Ayu Utami akan identik dengan pandangan-pandangan perempuan yang mungkin sedikit meletakkan dirinya di atas atau sejajar dengan laki-laki. Tapi tidak dengan roman Maya. 

Apakah harga seorang manusia? Setiap mahkluk sejatinya adalah abdi. Pilihlah kepada apa engkau akan mengabdi dan berbaktilah dengan sejati. Tidakkah wanita sepantasnya mengabdi kepada lelaki? Sekalipun lelaku itu cebol belang. (Halaman 210)

Sementara, dalam roman Saman, masih tercetak di kepala saya ucapan Yasmin kepada Saman melalui surat elektroniknya yang menyatakan keinginan Yasmin untuk memperkosa Saman. 

Tidak. Tidak ada yang salah memang. Mungkin kodratnya memang seperti itu. Tapi rasanya seperti kurang melihat Ayu Utami. Mungkin jika boleh sedikit nyinyir, ini adalah akibat dirinya yang akhirnya memutuskan untuk menikah dan mengabdi pada sang fotografer, suaminya.

Selain itu, rasanya pun di sini tidak ada semangat yang menggebu-gebu. Yang ada hanyalah dramatika rindu Yasmin kepada Saman yang telah hilang selama dua tahun. Akhirnya, pembaca pun dibawa dalam suasana sendu rasa rindu. Jadi, hati-hati bagi yang sedang merindu kekasih atau mantan kekasih, kamu akan semakin sendu jika membacanya.

Selebihnya, masih sama seperti karya-karya Ayu Utami sebelumnya. Ramai dengan cerita-cerita masa lalu. Yang mungkin kita tidak tahu, atau mungkin kita lupa. Untuk itu rasanya saya tidak perlu membahasnya. Intinya, kekecewaan saya pada roman Maya sama seperti kekecewaan saya pada kicau-kicau Ayu Utami di akun Twitter-nya yang secara eksplosif mendukung Jokowi-JK. Dan terkadang, pun secara eksplosif menghardik mereka yang memilih untuk tidak memilih Jokowi-JK.

Bukankah memilih Presiden dan Wakil Presiden adalah pilihan? Bukankah berubah menjadi yang baru juga sebuah pilihan? Mungkin kali ini Ayu Utami memilih seperti ini. Cukup sopankah saya untuk menggambarkan perubahan Ayu Utami?