SIMULAKRA : Realita Maya Dalam Dunia Kontemporer
Foto diambil dari www.thejakartapost.com |
Konon,
dewasa ini kita dihadapi dalam situasi absurd. Ruang dan waktu telah berpisah.
Majunya peradaban membuat ruang dan waktu dinisbikan. Yang muncul kini adalah
ruang yang tanpa batas. Teknologi kian menghadirkan ‘manusia-manusia hantu’,
yang hadir tapi sesungguhnya absen. Seperti kejadian seorang perempuan berbaju merah (Mila Rosinta) di Jakarta yang berusaha memeluk sang kekasih (I Wayan Adi Gunarta) di Denpasar, Bali.
Pelan-pelan
ia mendekat, dicobanya diraih tangan lelaki pujaan yang mengenakan udeng Bali itu. Kedua telapak tangan itu
tampak saling bersentuhan. Tapi apa lacur, ketika ia mencoba untuk memeluk sang
kekasih, nyatanya yang dipeluk hanyalah kenyataan akan sebuah ketiadaan.
Secuil
adegan tersebut merupakan salah satu gambaran tentang sesuatu yang ada namun
tiada, yang keseluruhannya disajikan secara terpusat dalam pementasan tari bertajuk “Simulakra”
karya koreografer senior Martinus Miroto. Dalam waktu 40 menit, seluruh isi
ruang auditorium Galeri Indonesia Kaya (GIK) dijejali oleh pertanyaan antara
ada dan tiada. Sebagai sebuah respon atas fenomena yang kerap terjadi dalam
kehidupan sehari-hari di tengah semakin berkembangnya teknologi internet dimana
dunia-dunia virtual tercipta di sana. “Seolah nyata padahal belum tentu itu
nyata. Itulah, Simulakra,” ujar Miroto usai pementasan, Minggu (19/4) sore.
Simulacra atau simulakra, bentuk jamak simulacrum, berasal dari kata bahasa Latin simulare yang kurang-lebih berarti "representasi" atau "imaji". Dalam Merriam Webster Dictionary and Thesaurus, disebutkan bahwa kata ini pertama kali tercatat dalam bahasa Inggris pada abad ke-15. Digunakan untuk menggambarkan representasi seperti pada patung atau lukisan.
Sosiolog dan filsuf post-strukturalisme Prancis, Jean Baudrillard, menyebut bahwa manusia abad kontemporer hidup dalam dunia penuh gambar, citra atau simbol yang telah menggantikan pengalaman. Hidup dalam simulakra. Baudrillard menempatkan simulakra sebagai konstruksi pikiran imajiner terhadap sebuah realitas, tanpa menghadirkan realitas itu sendiri secara esensial. Menurutnya, dunia tidak lagi nyata, sebab ''yang nyata'' hanyalah simulasi.
Berangkat dari wacana posmodern yang dijejali oleh pertanyaan antara ada dan tiada, kenyataan dan simulasi, serta seturut perkembangan teknologi internet yang mencipta kenyataan-kenyataan virtual, Miroto menggubah Simulakra.
Sebelumnya,
pementasan ini diawali oleh perempuan berbaju merah yang menari pelan. Gemulai
ia menggerakkan tubuhnya. Seperti gerak tetesan anggur merah yang ditumpahkan
perlahan, yang lama-lama jadi candu dan memabukkan. Gerakan itu disambut oleh
kehadiran tiba-tiba seorang pria (Mugiyono Kasido) yang berjalan cepat tapi
kaku layaknya robot ciptaan teknologi yang mutakhir. Di belakangnya, tampak
gambar tiga dimensi seorang pria (Martinus Miroto) menari bebas seolah
melayang. Tak lama kemudian, terdengar alunan saluang yang mengantar seorang
perempuan berbaju putih (Lora Vianti) untuk menarikan tari lilin.
Mereka
seolah berbaur dalam satu ruang, padahal tidak. Pementasan kali itu terbagi
dalam tiga ruang: Denpasar, Bali; Galeri Indonesia Kaya, Jakarta; dan Institut
Seni Indonesia (ISI), Padang Panjang, Sumatera Barat. Nyatanya, teknologi yang
dinamakan internet lah yang menyatukan mereka dalam satu waktu yang nyata
walaupun dari tempat yang saling berjauhan.
Melalui
teknik teleholographic pepper's ghost,
Miroto mencoba bereksperimentasi dengan ruang dan waktu. Sebuah ide untuk
menggabungkan antara yang maya dan yang nyata.
Teknik pepper ghost sendiri
merupakan teknik yang dimunculkan pada sekitar abad ke-18 oleh John Henry
Pepper. Adalah suatu teknik ilusi yang mampu mengubah gambar dua dimensi
menjadi tiga dimensi. Biasanya, teknik tersebut digunakan dalam pertunjukan
teater dan juga sebagai trik-trik sulap pada masanya.
Dalam
pertunjukan tari “Simulakra” ini, Miroto menggunakan bounce screen yang disebutnya sebagai ruang yang memiliki kedalaman
untuk membangun citra dari bentuk-bentuk yang ada. Misalnya saja ketika Mila
menjatuhkan dirinya ke atas bounce screen,
dan menggerakkan tubuhnya yang lalu disinari oleh lampu dari dua sisi kanan dan
kiri. Gambar tersebut dipantulkan oleh holographic
screen, sebuah layar tembus pandang yang terbuat dari foil yang dipasang 45 derajat. Lantas di layar, muncul visual hologram Mila yang
seolah-olah melayang. “Maka itulah yang dinamakan teknik pepper's ghost,” ujar Miroto.
Kemudian,
Miroto menggabungkan teknik pepper's ghost tersebut
dengan teknologi telepresensi yang pada umumnya dikenal dengan video call ataupun teleconference. “Nah jadi pertunjukan ini penggabungan dimana yang
maya merupakan citra dari teleholografis suatu bentuk yang bisa berupa benda
atau manusia, yang posisinya berjauhan,” jelas pria kelahiran Yogyakarta, 23 Februari 1959 ini. Suatu bentuk yang tampak di panggung nyatanya hanyalah
bentuk-bentuk siluman, yang sebenarnya merupakan kiriman secara stimulatif
melalui koneksi internet.
Sebuah
usaha merespon perkembangan zaman yang patut diacungi jempol, khususnya dalam
dunia seni tari. Namun, layaknya siswa baru di sekolah yang masih harus
mencari-cari cara untuk lebih menyesuaikan diri, eksperimentasi Miroto kali ini
pun nyatanya masih menghadirkan beberapa celah yang menjadi hambatan.
Misalnya
saja, kehadiran I Wayan Adi Gunarta di Bali yang menari kecak dengan gerak yang
terpatah-patah. Bukan gerak patah-patah yang disengaja, melainkan patah akibat
koneksi internet yang masih kurang mumpuni. Miroto sendiri mengakui bahwa dalam
‘uji coba’-nya kali ini, insfrastruktur internet di Indonesia yang kacau
menjadi kendala yang paling kentara. “Bagaimana tidak? Di Bali saja,
kecepatannya hanya mencapai 1Mb/s,” katanya santai.
Gangguan
koneksi internet pun dirasakan Lora Vianti di Padang Panjang sana. Usai
pementasan, melalui teleconference yang
dilakukan usai pertunjukan, ia mengaku agak terganggu dengan koneksi internet
yang membuat gambar di akhir pertunjukan sedikit menghilang. “Konsep ini
menarik. Namun kami harus stay di
satu titik demi menjaga kestabilan koneksi internet,” akunya.
Selain
hambatan dalam koneksi internet, sayangnya pada pementasan kali itu, tata
cahaya pun masih dirasa kurang pas. Dalam satu scene di pertunjukan yang dibuat dengan plot yang random itu,
Mugiyono di Jakarta berkesempatan untuk menari berdampingan bersama dengan Lora
Vianti di Padang Panjang. Mereka tampak berdiri berdampingan dengan ukuran
tubuh yang sama persis, layaknya dua manusia yang berjalan berdampingan. Mereka
menari dengan gerak yang sama, bahkan saling menabrakkan diri. Namun sayang,
perbedaan warna yang kentara di antara keduanya membuat penonton dengan cepat
dapat sadar untuk membedakan mana yang penari nyata dan mana yang penari maya. Mugiyono
yang begitu bersinar kekuningan dengan sorotan lampu pijarnya, sedangkan Lora
begitu pucat dengan warna teleholografis alakadarnya. “Padahal idealnya, tari
dengan teknik seperti ini bisa membuat penonton kebingungan membedakan mana yang
nyata dan mana yang maya,” kata Miroto.
Sebenarnya,
Miroto mengaku sudah menyiapkan lampu yang sesuai dengan warna sosok yang
dihasilkan dari pencitraan teleholografis yang akan ditampilkan. Hanya saja,
karena keterbatasan ruang, lampu tersebut tidak bisa dipergunakan. “Lampunya
besar, 70 sentimeter,” kata pria yang unggul dengan sebuah karya berjudul
“Penumbra” itu. Alhasil, Miroto pun mengakalinya dengan menyoroti para penari
nyata dengan lampu pijar alakadarnya. Walaupun diakuinya hal tersebut membuat
pementasan kali itu tidak maksimal. “Jadi mungkin ini masalah ruang. Mungkin
hanya stage-stage tertentu yang
bisa,” tambahnya.
Celah-celah
kosong yang membuat dahi berkerut mungkin masih muncul dalam pertunjukan tari
“Simulakra” ini. Bagaimana tidak, pementasan tari yang menggabungkan medium
konvensional dan medium kekinian ini masih anak baru dalam dunia tari
Indonesia. Anggap saja uji coba Miroto ini sebagai pesan avant-garde untuk masa yang akan datang. Toh, tak ada salahnya
untuk tetap menghargai pakem namun pun sembari terus menyelaraskannya dengan
perkembangan zaman yang semakin digdaya ini.
Wawancara : Martinus Miroto
Indonesia
dikatakan sedang dihantam oleh perang kebudayaan. Perang kebudayaan di sini
bukan dalam arti saling membunuh, melainkan saling menarik perhatian
masyarakat. Maka itu, Indonesia, khususnya dalam bidang seni budaya, dituntut
untuk suatu strategi yang lebih kreatif sebagai modal bersaing. Dalam dunia
tari misalnya, pementasan tari “Simulakra” yang walaupun masih memiliki
celah-celah yang robek disana-sini, disebut Martinus Miroto, sang koreografer,
sebagai salah satu bentuk pembaruan dunia tari yang menyelaraskan dirinya
dengan perkembangan zaman. Berikut petikan wawancara dengan sang penari lima
topeng ini:
Apa sebenarnya
gagasan awal dari munculnya “Simulakra” ini?
Saya
mendapatkan inspirasi ini dari pengalaman sehari-hari dalam berinteraksi di dunia
maya dengan orang lain. Pengalaman ini memunculkan perasaan dekat tapi jauh.
Rasanya hadir, tapi sebetulnya absen. Ini menimbulkan pertanyaan bagi saya,
apakah bisa pengalaman ini diangkat dalam sebuah seni pertunjukan.
Kemudian
saya membuat tiga konsep, yaitu tema, bentuk, dan medium. Temanya sendiri sudah
jelas, saya mengambil kehidupan antara nyata dan maya. Karena sekarang ini
dengan budaya internet, kita terus menerus masuk ke dalam dunia virtual. Lalu
dalam konsep bentuk, saya mengambil bentuk pertunjukan realitas teleholografis
dimana salah satunya saya adopsi dari teknik pepper's ghost yang digabungkan dengan teknik telepresensi.
Teleholografis sendiri sebenarnya nama yang saya buat sendiri untuk teknik ini,
karena memang belum ada. Awalnya, karena saya terinspirasi juga oleh teori
realitas bertambah. Yang terakhir adalah konsep medium, dimana saya menggunakan
dua medium, yakni penari nyata dan penari maya.
Pada umumnya
pertunjukan menggunakan interaksi antar manusia nyata. Apa ini bisa jadi cara
baru dalam dunia tari?
Sekarang
ide saya ini memang bertabrakan dengan paradigma seni pertunjukan yang
seharusnya hanya menggunakan medium tubuh nyata. Tapi kan sekarang dengan
teknologi internet itu, kenyataannya kita sering bergaul dengan manusia maya
toh? Memang ada aspek paradigma yang baru di sini. Cara pandang pun harus
berbeda daripada cara pandang lazim yang digunakan. Ya tergantung masing-masing
penonton, jika ia terbuka, maka ia akan menganggap ini sebagai sebuah seni
pertunjukan. Jika tidak, ya tidak apa-apa kalau ini tidak dianggap sebagai
sebuah seni pertunjukan.
Lalu, apa yang
mendorong untuk membuat satu teknik seni pertunjukan baru seperti ini?
Bagi
saya, ini adalah sebuah strategi dalam dunia global saat ini. Ini bisa jadi
salah satu modal bersaing kita dalam konteks perang kebudayaan. Saya melihat
dewasa ini masyarakat begitu digandrungi oleh budaya-budaya luar yang
berlomba-lomba menarik perhatian. Sayangnya, kita melupakan apa yang kita
miliki. Padahal kan kita kaya! Mangkanya dibutuhkan pembaruan-pembaruan seperti
ini.
Ketika
kita semakin kreatif melakukan pengembangan-pengembangan, misal salah satunya
dalam bidang seni pertunjukan, saya yakin kok kita bisa mengalahkan
budaya-budaya luar yang digandrungi saat ini.
Artinya seni
kontemporer Indonesia harus lebih dikembangkan lagi sebagai modal saing?
Saya
bilang bahwa karya-karya kontemporer Indonesia saat ini bukan sekedar perayaan
kreativitas dari para seniman untuk mengekspresikan atau merespon jaman. Tapi
sebenarnya ini bisa dijadikan juga sebagai strategi untuk meng-counter kreativitas luar yang datang ke
Indonesia. Indonesia ini kan kaya! Hingga seolah-olah kita kurang agresif dalam
menandingi kreativitas dari bangsa lain.
Dalam pelaksanaan
teknik baru pertunjukan tari ini, apa saja yang menjadi kendala? Lalu,
bagaimana mengakalinya?
Internet.
Tubuh manusia teleholografis itu kan dapat dihadirkan dengan ketergantungan
kita pada koneksi internet. Kalau koneksinya buruk ya jadinya patah-patah
seperti kemarin itu. Saya harap sih ada kebijakan dari pemerintah untuk
meningkatkan kecepatan internet di Indonesia secara merata. Perkembangan jaman
kan sudah direspon, tapi kalau fasilitasnya tetap belum merespon, bagaimana?
Mengakalinya
ya terus jalan saja. Kalau bandwith-nya
rendah ya biarin. Toh ide saya cepat tapi disediakannya segitu ya gimana. Saya
anggap ini sebagai resiko pilihan. Memang sih tidak idealis, tapi bagi saya ini
harus tetap jalan walaupun ini merupakan karya baru yang belum terpenuhi
persyaratannya.
Asri Wuni Wulandari
Diterbitkan di Majalah GATRA Tahun 21, Edisi 26 (30 April - 6 Mei 2015)