Perempuan dan Batang Nikotin

Nov 19, 2011

Perempuan dan Batang Nikotin


Saya perempuan. Saya adalah seorang perokok. Ada yang salah?
Kamu tidak usah menatap saya aneh seperti itu. Kamu juga tidak usahlah memberi saya pandangan jijik sembari mengernyitkan dahimu yang kasar. Kamu juga tidak usah memberi saya cap sebagai perempuan nakal. Kamu juga tidak usah berpikir jika orang tua saya mendidik saya dengan cara yang salah. Dan kamu juga tidak usah mengikuti pandangan-pandangan orang umum tentang perempuan merokok!



Asap itu mengepul. Berwarna putih kebiruan. Cantik, asap yang cantik. Mulut terus menghisap dan menghembuskan kepulan-kepulan asap. Kepulan asap yang kian lama menghiasi udara yang sedari tadi hanya berdiam diri.

Saya adalah perempuan perokok. Kembali lagi saya bertanya, apakah ada yang salah dengan batang rokok yang kucapit dengan jari-jariku? Apakah saya akan mendapatkan pertanyaan serupa bagaimana cara orang tua saya mendidik saya? Saya katakan dengan tegas, mereka mendidik saya dengan benar.

Sekelompok perempuan yang duduk di meja yang tepat berada di depan saya memandang saya sambil sesekali berbisik satu sama lain. Ah, apa yang mereka bisikan? Pakaian saya yang aneh, yang tidak semodis pakaian-pakaian yang mereka pakai? Atau wajah saya yang kusam yang tidak sekinclong wajah mereka? Ataukah batang rokok yang sedang saya isap? Hey, perempuan-perempuan cantik masa kini, sudahlah tak usah kalian pandangi saya seperti itu. Kalian memandang saya karena rokok kan? Memang benar, aku sedang menghisap sebatang rokok. Kalian tidak suka? Saya melawan memandang mereka. Mereka sepertinya tersipu malu, bak perempuan-perempuan cantik yang tertangkap basah karena memandangi seorang pria tampan di depannya.

Sesaat saya ingin sekali mendatangi mereka, duduk bergabung di meja itu, dan menghisap rokok lalu menghembuskan asapnya sebanyak mungkin. Namun, tiba-tiba saja seorang teman mendatangi meja saya. Memang, saya sedang menunggunya saat ini. “Sudah lama?” tanyanya. Ah tidak, cukup empat puluh sembilan menit saja saya menunggumu. Bagaimana menurutmu? Apakah itu waktu yang lama? Setidaknya saya sempat memandangi perempuan-perempuan di meja sebrang sana.

Kami berbincang ini itu. Tak lama kemudian, batang rokok yang saya capit semakin memendek, dan mungkin sebentar lagi jari saya akan terkenal api yang tersulut di depannya. Saya buang rokok itu, dan kembali menyulut rokok berikutnya. Diikuti oleh teman saya yang juga menyulit rokoknya. Dan sesaat kami menyulut rokok, sepasang suami istri, ya mungkin suami istri, memandang ke arah kami. “Kamu tahu? Tadi sewaktu kita menyulut rokok, Bapak dan Ibu di sebalah langsung melihat ke arah kita”.
Kami memang perokok. Dan kami juga perempuan. Haruskah saya bertanya sekali lagi, apakah kami melakukan kesalahan? Kami tahu, sebenarnya rokok juga merupakan salah satu narkotika. Karena rokok memiliki efek yang sama seperti zat-zat narkotika lain. Misalnya rokok juga menimbulkan rasa takut yang menderu dan lain sebagainya. Tapi kami tak peduli. Bukan efek dari narkotika yang kami inginkan. Tapi kami hanya ingin menghisapnya saja. Tidak juga karena alasan depresi lalu kami merokok. Tentu tidak. Kami hanya menginginkannya. Cukup.

Dan tanpa disangka-sangka, tiba-tiba saja pria tua yang tadi memandang kami saat kami menyulut rokok menggeleng-gelengkan kepalanya. Mungkin ia bertanya pada kami, atau mungkin menyindir, atau mungkin juga bergumam.

“Anak muda jaman sekarang aneh-aneh saja ya, Bu” ucapnya kepada seorang perempuan yang mungkin saja istrinya. Istrinya hanya tersenyum. “Ada apa, Pak? Bapak keberatan dengan asap rokok saya?” tanya saya yang akhirnya memberanikan diri. Ia diam sejenak. “Tidak.. Saya juga seorang perokok. Tapi saya laki-laki. Kalian ini kan perempuan, masih muda pula. Kenapa kalian merokok? Apakah orang tua kalian memang mengajarkan kalian untuk merokok?” Jengan saya mendengarnya. Kami hanya membalasnya dengan tersenyum. Ya, saya rasa senyum adalah jawaban yang paling efektif yang ada pada saat itu.

Dia berkata karena dia adalah seorang laki-laki. Di budaya timur, rokok memang seakan-akan suatu hal yang hanya boleh dimiliki oleh laki-laki. Saya tahu itu. Wajar bagi seorang laki-laki merokok, namun tidak wajar bagi seorang perempuan yang merokok. Saya juga tidak akan menjawab ini karena perkembangan zaman atau globalisasi. Tidak! Saya menolaknya. Inilah yang saya herankan. Saya benci dengan struktur-struktur sosial yang dibangun di atas budaya patriarkhi. Seorang perempuan yang merokok akan mendapatkan pandangan negatif dari masyrakat pada umumnya. Mereka akan dianggap perempuan nakal dan tidak memiliki etika.

Oh, Bapak tua.. Ingatkah anda dengan kisah dari tatar Betawi yang terjadi pada awal tahun 1800-an? Kisah Nyai Dasima, seorang perempuan Betawi yang dijadikan gundik seorang koloni pada jamannya. Ia memiliki perjalanan hidup yang begitu memukau. Sekarang, ia menjadi salah satu tokoh legenda Betawi. Kau tahu, bahwa sesungguhnya ia juga suka mengisap tembakau? Ya, ia mengisap tembakau. Sama seperti kami. Sekarang kau tahu? Tidak pantas anda memberikan kami pandangan sebagai anak muda jaman sekarang yang tidak tahu etika. Karena buktinya, kisah perempuan yang merokok pun sudah ada sejak dahulu kala. Sejak anda pun belum dilahirkan. Sejak anda masih menjadi angan-angan yang begitu jauh.

Oh, Bapak tua.. Mungkin anda juga ingin tahu apa alasan saya untuk merokok. Jika mereka, para feminis, berteriak-teriak kesetaraan gender dalam hal politik, dengan banyaknya perempuan-perempuan hebat yang maju dalam dunia politik, atau juga Megawati yang sempat menduduki posisi presiden. Maka saya akan melakukannya dengan merokok. Kau tahu? Dulu, rokok adalah lambang perlawanan perempuan terhadap penindasan yang dialami kaumnya. Mereka melakukannya sebagai proses untuk memerdekakan dirinya sendiri. Jadi apa yang salah dengan perempuan yang merokok?

Oh, Bapak tua.. Sesungguhnya saya pun bukan anak muda yang bodoh. Saya pun tahu, bahwa secara medis, rokok disebut-sebut para dokter akan membahayakan metabolisme tubuh perempuan. Saya juga cukup membacanya di bungkus rokok yang saya punya ini. Katanya, rokok akan mengganggu kehamilan dan janin. Dan juga menyebabkan kemandulan. Bukankah itu bagus? Dengan banyaknya perempuan yang merokok dan mengakibatkan mandul, itu berarti akan mengurangi populasi manusia di dunia ini yang semakin tidak terkontrol. Lagipula, begitu bodohnya para pencipta rokok dan bungkusnya ini. Cobalah anda lihat di bungkus rokok yang anda pegang itu. “Gangguan kehamilan”. Kalau memang rokok hanya diperuntukkan untuk laki-laki, mengapa harus ditulis “gangguan kehamilan”? Apakah laki-laki juga bisa hamil? Oh, dan saya baru tahu itu, Bapak.

Oh, Bapak tua yang bijak.. Saya tidak akan berkata jika ini adalah hasil dari perkembangan zaman dan globalisasi. Terpaksa saya mengatakannya lagi, karena kebanyakan orang berkata demikian. Saya tahu segala bentuk kerusakan yang disebabkan oleh rokok. Saya tahu kemungkinan-kemungkinan yang bisa menimpa saya jika saya merokok. Mungkin jantung saya tidak akan bekerja dengan baik. Mungkin juga saya akan merasakan batuk-batuk kering yang cukup mengganggu atau merasakan sakit di bagian dada. Atau yang paling parah adalah saya tidak bisa memiliki anak. Saya tahu semuanya. Saya menganggap itu semua hanyalah mitos belaka. Selain itu, saya juga tahu, berdasarkan budaya patriarkhi yang berkembang, dengan saya merokok, saya akan dicap sebagai perempuan nakal. Tapi pernahkah anda lihat, seorang perempuan berjilbab yang juga mengisap rokok atau juga erat dengan kehidupan seks bebas? Bukankah perempuan berjilbab di budaya timur ini selalu dianggap baik? Lalu bagaimana dengan perempuan berjilbab yang merokok? Sekali lagi wahai Bapak tua.. Saya hanya menginginkannya. Saya telah memilih satu pilihan dengan berbagai macam resiko di belakangnya. Dan saya pun akan dengan tegas mempertanggungjawabkannya bila memang perlu.

Jadi, Bapak tua yang tampan, masihkah anda menganggap saya dan perempuan-perempuan lain yang juga seorang perokok adalah perempuan-perempuan nakal yang tidak tahu etika?