Di Sini, Di Tempat Ini : Kenangan Yang Tergusur Oleh Tangan Besi

Dec 14, 2011

Di Sini, Di Tempat Ini : Kenangan Yang Tergusur Oleh Tangan Besi







Di tempat inilah kami bertemu.
Di tempat inilah kami mengasah tawa.
Di tempat inilah kami menyimpan sebongkah harap.







Akhir tahun 2010. Saya ingat, saat itu adalah kali pertama saya menapakkan kaki di tempat ini. Saat itu pula seorang pria yang tidak pernah mau menyebutkan nama aslinya mengajak saya bergabung bersamanya dan kawan-kawan lainnya. Saat itu pula saya mulai mengasah tawa.

Adalah sebuah kampung seni dan budaya yang kami bentuk untuk pertama kalinya di akhir tahun 2010. Di dalamnya terdapat berbagai macam manusia. Ada mereka para seniman-seniman, baik dari ranah seni tradisi, seni rupa, seni musik, dan lain-lain. Ada mereka yang berlatarkan akademis, dan ada mereka juga yang berlatarkan jalanan. Namun, perbedaan-perbedaan itu tidak menjadi sekat di antara kami. Seperti yang selalu Kepala Suku katakan, "Anak jalanan yang ada di kampung ini harus ganti 'baju'. Mereka bukan anak jalanan, tapi mereka adalah orang-orang yang mau berproses dan berkreasi!".

Seperti halnya sebuah pembangunan, banyak gangguan-gangguan dari berbagai macam pihak memekikkan telinga kami. Namun apa daya, gangguan itu tidak pun kami hiraukan terlalu sulit. Tidak juga menyurutkan semangat kami yang menggebu-gebu.

Atas nama melestarikan budaya-budaya lokal, khususnya di tatar Sunda, dengan penuh semangat berbagai macam usaha kami lakukan. Walaupun secara pribadi, saya tahu hal itu hanyalah sebuah distopia yang patut dipertanyakan.

Namun, begitu membanggakan ketika kami menyadari bahwa ini adalah kami yang berjuang di balik celah-celah jerami kering dalam cengkraman pohon batu yang di dalamnya terdapat sebongkah kisah masa lalu yang kini pun sudah menjadi museum tanpa lampu.
Bahwa ini adalah kami yang berjuang memperjuangkan sesuatu yang telah 'terlupakan' di tengah-tengah dunia yang sudah tak bisa berkompromi dengan sejarah.
Bahwa ini adalah kami yang bersama meneriakkan cinta pada kekayaan leluhur di tengah modernisasi yang membabibuta.
Bahwa ini adalah kami yang merangkak di bawah kekuasaan yang buta akan hati atas nama budaya yang masih bermata tanda tanya.

Hey kalian, yang berseliweran di sekitarnya, sadarkah kalian bahwa kami adalah orang-orang kaya? Orang yang kaya akan bambu-bambu yang masih kami tancapkan dengan megah? Orang yang kaya akan jerami-jerami yang kami simpan dengan cantik?

Namun, apa daya. Kekayaan-kekayaan itu terpaksa harus tergusur oleh tangan-tengan besi yang haus akan kekuasaan. Perjuangan itu terpaksa harus luluh lantah bersama dengan debu yang menjadi saksi mereka yang berjuang. Kebersamaan itu pun terpaksa harus hilang direbut oleh mereka yang berseragam.

Mereka berontak. Mereka kepalkan tangan demi sebuah kemerdekaan. Namun, apa lacur, kepalan tangan itu sama sekali tidak menakutkan mereka para pembuat kebijakan yang terhormat. Hey, para pembuat kebijakan yang terhormat, perlukah saya ingatkan kembali, mungkin satu tahun yang lalu ketika kalian meminta kepada seseorang di antara kami untuk membangun sebuah kampung seni budaya di tempat ini? Tapi sudahlah, saya tidak marah sedikit pun. Saya sadar bahwa kalian akan selalu menjadi para pembuat kebijakan yang terhormat. Dan saya akan hormat kepada kalian. Namun, saya yakin, perjuangan kami tidak hanya berhenti di situ. Saya hanya meminta doa restu dari kalian, wahai paduka yang terhormat.


















DAN sekarang, mungkin beberapa bulan atau bahkan satu tahun berlalu. Saya merindukanmu wahai suasana. Suasana di mana saya bisa bercandagurau di sebuah saung yang di depannya berdiri dengan gagah seorang pocong, dan di dalamnya terdapat itik berwarna-warni, merah kuning dan hijau. Suasana di mana saya bisa saling berbagi cerita dengan kawan di dalam saung berlapiskan lembar koran demi koran yang di dalamnya bertebaran buku-buku yang tersimpan acak. Suasana di mana saya mengikuti rapat di sebuah saung yang di dalamnya berjejer alat-alat musik tradisional, mulai dari karinding, celempung, hingga jijeriju. Suasana di mana saya dibuatkan segelas teh oleh seorang Ibu di dalam saung yang penuh dengan lukisan-lukisannya. Atau suasana ketika saya mengikuti sebuah diskusi dadakan di sebuah meja yang terbuat dari kayu yang dikelilingin oleh dedaunan. Ah, terlalu banyak kenangan yang harus saya ceritakan. Karena kenangan itu sekarang telah tergusur oleh tangan-tangan besi yang ingin dihormati.

































DAN, beberapa hari kemarin, sesuai dengan perbincangan dengan beberapa di antara mereka, mari rapatkan kembali jejak-jejak yang pernah menempel di telapak kaki kita. Mari kita buat sesuatu. Tak usahlah muluk-muluk dengan impian sebuah kampung. Mulailah dari yang terkecil. Mari, kawan! Tak usah kita bermain dengan kepalan tangan, mari kita bermain dengan sebuah semangat. Karena sesungguhnya, semangat itu masih membutuhkan jiwanya.


Kampung Seniman Bangun Pagi, Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat (2010-2011)