Lelaki Fiksi Penyembur Ludah dan Perempuan Gila Berkacamata Hitam

Oct 5, 2014

Lelaki Fiksi Penyembur Ludah dan Perempuan Gila Berkacamata Hitam


Credit by 'tempotantrum'

Mulutnya kocar kacir. Entah sudah berapa banyak ludah yang disemburkannya, kepada perempuan gila berkacamata hitam yang merasa dirinya patetik. Bak seorang superhero, ia berdiri pongah di depan pintu kamar si perempuan gila. Ia dekati si perempuan gila berkacamata hitam, yang lantas dikecupnya. 

"Kamu akan baik-baik saja. Aku di sini, di sampingmu," ucapnya. 

Itu ludah pertama. Ludah yang bagaikan tiupan angin segar di telinga si perempuan gila berkacamata hitam. Yang lantas membuat perempuan gila itu melepas kutangnya. Tanpa melepas kacamata hitamnya, ia berikan wujudnya pada sang superhero. Ciuman mesra didapatnya saat itu juga. Birahi tanpa rasa yang mengisi ruang kamar berukuran tiga kali tiga meter.

Kulit penuh keringat tertembak sedikit cahaya kuning redup. Dinding seolah menjadi layar tempat gambar bayangan maju-mundur yang ditembak oleh proyektor di depannya. Bayangan hitam, tak terlihat percis gambar wajahnya. Hanya lekukan tubuh dan gerak maju-mundur.

Tak dinyana, dalam waktu yang cukup singkat, terasa juga akhirnya tembakan jitu sang superhero. "Aku sayang kamu," kata si perempuan gila yang masih saja menggunakan kacamata hitamnya. Sang superhero menjawab : hanya dengan sebuah anggukan kepala dan senyuman yang kali ini tidak berludah, mungkin.

Tujuh puluh delapan hari terasa sungguh sangat berwarna bagi si perempuan gila. Anehnya, biarpun warna kian terlihat, si perempuan gila tidak juga melepas kacamata hitamnya. Pasalnya, sang superhero pernah berkata : "Kamu terlihat begitu cantik dengan kacamata hitam-mu". Siapa yang tidak gembira? Terbang ke langit bersama burung-burunglah akhirnya si perempuan gila. Berharap masih banyak lagi kegembiraan-kegembiraan lain yang bisa dirasakan.

"Aku ingin bercinta denganmu, di bulan," ujar si perempuan gila.
"Kenapa tidak di bumi saja?" tanya sang superhero.
"Di bulan lebih indah. Bercinta sambil melihar kerlarp-kerlip cahaya. Lagipula, kata temanku, di bulan masih ada coklat," jawab si perempuan gila.
"Tapi aku ingin coklat buatanmu, bukan coklat yang ada di bulan," kata sang superhero yang sekaligus menutup perbincangan kali itu, yang juga menciptakan senyum simpul dari wajah si perempuan gila.

******

Sore ini, si perempuan gila menyiapkan secangkir kopi hitam untuk sang kekasih - sang superhero - yang berjanji akan datang. Katanya, ia berjanji akan bercerita tentang putri salju yang bangun dari tidur lamanya oleh ciuman seorang pangeran. 

Dua cangkir kopi hitam siap disantap. Di depannya, dua tubuh yang duduk berhadapan siap bermain drama tentang putri salju. "Kamu jadi putri salju, aku jadi pangeran. Anggaplah bahwa di sekelilingmu ada tujuh kurcaci," kata sang superhero. 

Setelah bermain-main dengan tujuh kurcaci yang abstrak, si perempuan gila melentangkan tubuhnya di atas kasur. "Kacamatamu tidak usah dilepas, agar tetap cantik," ucap sang superhero sembari bersembunyi di balik tembok kamar mandi. Lantas, mereka lanjutkan juga drama Putri Salju. Sang Superhero berlari pendek, duduk di samping kasur. Ia mencium bibir mungil si perempuan gila dengan begitu lembut. Percis seorang pangeran. Ciuman lembut seorang pangeran yang lagi-lagi membuat si perempuan gila harus melepas kutangnya. 

Hai, bukankah cerita Putri Salju berakhir sebuah roman bahagia? Namun dalam sore dimana sinar matahari menembus kaca jendela memberi barik-barik lembut pada udara, cerita Putri Salju berakhir dengan birahi. Fiksi yang dibuat menjadi semakin fiksi. 

Hari-hari terus berlanjut. Hari-hari dimana si perempuan gila tidak bisa membedakan mana yang hitam dan mana yang putih, mana yang fiksi dan mana yang bukan fiksi. Ia gundah. Ia lempar semua bonekanya (boneka-boneka pemberian sang superhero) hingga membuat kamarnya seolah menjadi istana boneka yang baru kedatangan maling. Tapi beberapa saat kemudian, ia peluk lagi bonekanya satu persatu. Lalu, ia lempar lagi dan peluk lagi. Lempar lagi dan peluk lagi. Gambaran fluktuatif dari dirinya yang sedang dirundung tanda tanya. 

Di hari ke delapan puluh lima, telepon genggamnya berdering. Nama "superhero" muncul di layarnya. Katanya :

"Kamu tidak akan baik-baik saja. Aku tidak akan ada di sampingmu."
"Aku tidak menganggukan kepala ketika kamu bilang sayang. Aku hanya membenarkan leherku yang pegal."
"Kamu tidak cantik dengan kacamata hitammu. Kamu aneh, seperti orang buta."
"Aku tidak suka coklat buatanmu. Terlalu manis."
"Tapi aku menyayangi kutangmu."

Nada bicaranya naik turun. Mungkin di seberang sana, ia berbicara sembari menyemburkan ludah kesana kemari. Suaranya keras hingga tak sedikit pun memberikan kesempatan si perempuan gila untuk bicara. 

Tepat pukul dua belas siang, mata si perempuan gila menyeringai. Mungkin sinar matahari terlalu terik untuk menyorotnya dengan begitu biadab. Matanya pegal. Ia lepas juga kacamata hitamnya, tanpa harus menyeringai karena sorot matahari. Badannya berputar-putar. Berputar di antara angka satu hingga angka ke delapan puluh lima. 

Dalam jurnal hariannya, ia tulis :

Delapan puluh empat hari kamu adalah fiksi, satu hari kamu adalah fakta. Iya, delapan puluh empat hari kamu hanya cerita fiksi yang hanya muncul dalam khayalku, yang nyatanya batang hidungmu saja tidak bisa kusentuh. Tapi hari ini kamu adalah fakta yang pantas menjadi headline surat kabar. Ah dasar, lelaki fiksi.


Rawajati, 5 Oktober 2014


** Sedang mencoba belajar membuat cerita cinta yang sehari-hari mungkin bisa kita lihat di kehidupan nyata. Maaf jika cerita cintanya terasa membingungkan. Salam bahagia!