Batu Api

Sep 24, 2010

Batu Api


Lelah. Kerikil itu terus membuat kakiku sakit. Kerikil itu memang terlihat indah, tapi di dalamnya banyak duri. Sakit untukku.
Obat merah pun tak mampu meredakan rasa perihku. Plester bergambar pun tak sanggup melindungiku dari perih.
Hei, apa aku salah jalan? Kutengok jalan-jalan yang sebelumnya kulewati. Ah, tidak salah jalan. Itu memang jalan-jalan yang kulewati.
Tak ada kerikil berduri di jalanan yang kulewati sebelumnya. Yang ada adalah rumput hijau bersinar yang bergoyang diterpa semilir angin. Manis. Aku rindu rumput-rumput itu.
Tapi, di tengah hijau yang bersinar itu, kulihat ada batu api. Ya, aku selalu ingat pada batu api itu. Aku ingat bagaimana sakitnya aku ketika aku menginjak batu api itu. Ingatanku tidak pernah hilang pada batu api itu.
Mungkin batu api itu yang membuatku sekarang harus berjalan diatas kerikil berduri.
Biar banyak manis yang kutemukan di jalan yang kulewati sebelumnya. Tapi aku lelah, aku lelah mengingat jalan yang kulewati sebelumnya. Ingin ku lupa. Sulit. Batu api itu terlalu panas untukku. Telapak kakiku pun telah hancur karena batu api. Bahkan kaki kananku hilang. Aku lumpuh, kakiku hanya satu.


Hei, kapan kamu mati?