PROSA

Showing posts with label PROSA. Show all posts
Showing posts with label PROSA. Show all posts

May 30, 2016

Sep 11, 2014

59 Detik Untuk Rasa Yang Dikosongkan


From : www.flickr.com




Berlari ia kemana
Dibelainya selembar kain usang dan bolong,
tanpa ada satu pun bagian tubuhnya yang bergetar

Bernafas ia sampai ujung
Ditiupnya tumpukan kapas putih hingga bercerai berai,
tanpa sedikitpun siulan manis keluar dari mulutnya

Berjaga ia menuju akhir
Ditamparnya hembusan-hembusan nafas kecintaan,
tanpa dilihatnya ruas-ruas jari ternyata sudah berkerut


Suaranya parau
Seperti suara angin yang meniup pohon tanpa daun
Pandangannya buram
Buat dirinya terbang dengan frekuensi radikal bebas
Gerak tubuhnya kaku
Layaknya pohon yang berdiri pongah dengan daun yang perlahan meninggalkannya


Ia bumbu asmara yang,
Mengusir rasa yang terus merana
Menginjak rasa yang terus mencoba mencinta
Menangkap apa yang dirasakan Durga
untuk berlaku keparat padahal kepalanya penuh rasa


Ah, apalah arti rasa. Begitu katanya.
Kubuang jauh saja sang rasa. Katanya lagi.

Aku tak punya radar yang bisa menangkap gelombang rasa. Begitu katanya dengan lunglai.
Aku mati rasa. Katanya sambil membunuh rasa. 

Di balik pohon tanpa daun. Di bawah burung-burung yang terbang bersiul mesra.
Dalam 59 detik, ia bertanya : kosongkah itu?


Rawajati, 11 September 2014 | 00:08 WIB

Dec 3, 2013

Simbiosis Lendir


Sembelih aku dengan belatimu yang kau pakai kemarin untuk menusuk vagina seorang jalang yang habis kau tiduri. Lalu kau tusuk, dia puas.

Bukan hal yang tabu, ketika seorang perempuan mengharapkan lendir sperma untuk memuaskan birahinya yang memanas. Birahi, satu kata yang tak mudah untuk ditolak. Birahi, tak mengenal laki-laki ataupun perempuan.

Belatimu sangat indah, tampan.Tetap inda, biarpun aku tahu di dalamnya bersemayam bekas-bekas penjajahan sel telur yang berkedip nakal. Aku tahu, kau selalu dijajah. Kau selalu dituntut untuk satu kata, kepuasan. Gagahi mereka, puasi mereka.

Kemarilah, tampan.. Menarilah denganku. Kau tak perlu takut harus mengeluarkan seluruh energi tubuhmu. Karena malam ini, izinkanlah aku untuk menggagahimu. Akulah yang akan bekerja sebagai pelayan semalammu. Aku akan menggelinjang dalam keringat basahmu. Karena aku juga manusia. Manusia perempuan. Manusia berbirahi yang tak mengenal kelamin. Aku membutuhkanmu, tampan..

Nov 21, 2013

Purnama Ada di Utara



"Di mana Purnama?", seorang perempuan seraya berkata pada seekor kambing yang sedang memunguti rerumputan di kaki gunung. "Purnama ada di utara. Ia sedang mengumpulkan bintang untuk ia sinari", jawab sang Kambing. Sang perempuan muda pun mengikuti arahan sang Kambing untuk pergi ke utara mencari Purnama.

Ada banyak jalan untuk menemui Purnama. Sang perempuan bertemu rimba. Di sana ia hampir limpung lupa arah. Banyak pohon tinggi tanpa tuan berbuah emas. Tak kuasa ia diterpa kilau keemasan yang terpancar. Tangannya hampir menggenggam bebuahan. Namun seekor burung merpati datang menyampaikan pesan bahwa Purnama sudah menunggunya di utara. Urung pun pada akhirnya sebuah niat untuk menggenggam emas. 

Sang perempuan kembali melanjutkan perjalanan. Tak harus menunggu waktu lama, seekor harimau datang menghampiri. "Hei kau, sombong sekali dirimu ingin bertemu Purnama! Kau pikir kau bisa? Bahkan kau pun akan mati jika kupanggilkan segerombolan semut yang berkoloni untuk merayapi tubuhmu!", tantang sang harimau. Tak lama segerombolan semut merayapi tubuhnya dengan lihai. Sakit dirasanya. Apa lacur, tubuhnya pun lunglai oleh gigitan semut-semut merah. "Haha! Kau ini tidak pantas untuk bertemu Purnama. Kau terlalu buruk rupa untuk menemui Purnama!", kembali sang Harimau menantang. Mendidih darahnya, namun ia tetap gigih. Sang harimau geram melihat tingkahnya hingga tak henti-hentinya untuk menantang hingga bosan dan melesat pergi.

Dengan tubuh lunglai, sang perempuan terus berjalan. Tak jauh dari utara, datang seekor elang menawarkan sebuah tumpangan untuk pergi ke utara. Elang mampu terbang tinggi dengan cepat dan memberinya jalan pintas. Namun ia menolak dan mengucapkan terimakasih. Sampai akhirnya ia menemukan sinar yang benderang. Itukah Purnama? Tanyanya dalam hati. Lantas ia berlari kencang menuju tempat darimana sinar itu berasal. 

Ah Purnama.. Purnama ada di utara. Aku mendekap Purnama. Aku menyinari bintang.

Mar 11, 2013

SU(REAL)IS




Semua warna bercampur di sana, di atas kanvas kusam yang sudah bernoda. Tampaknya, cat dengan segala warna telah sengaja menumpahkan diri di atasnya. Bercampur menjadi satu. Membentuk segala rupa yang tak tertebak. Rupa yang sulit dimengerti. Beribu makna tersembunyi di balik semua coretan di dalamnya. Menjadi sebuah tanda tanya yang tak kumengerti. Hingga sekarang aku masih mempertanyakan maknamu, Ji.
Ji. Begitulah aku memanggilmu. Bahkan aku tak tahu siapa namamu sebenarnya.

Bercerita tentang sore yang kelam di mana air Tuhan akan turun dari langit yang katanya berwarna biru. Sore setelah aku bercinta dengan Valiumku. Sore setelah aku bertemu dengan setan pemangsa pikiran manusia-manusia pongah sepertiku. Sore setelah siang yang hampir terbunuh oleh ribuan serangan optik yang menjalar di sekeliling tubuhnya. Sore di mana aku harus berkata, ANJING! Dan sore, di mana pertemuan pertamaku denganmu, Ji.

Kamu sedang tersenyum. Kamu sangat bercahaya. Tubuhmu mengeluarkan seluruh warna yang dimiliki dunia. Warna cerah yang jarang sekali kujumpai. Lantas kamu tertawa. Bertegur sapa dengan sekawanan tikus yang terus mencicit tak henti-henti. Ah, andai aku seekor kucing, akan kumakan tikus-tikus itu sampai habis. Sungguh, cicitan-cicitan mereka langsung meleleh terbunuh oleh penyaring di dalam otakku.

“Glo, perkenalkan ini temanku, Ji”, teriak salah satu tikus yang sedari tadi ingin kuterkam.

“Hai Glo, aku Ji”, sahut Ji sambil tersenyum bak malaikat kecil yang begitu lucu dengan kedua sayap berwarna kuning yang terlihat mungil di pundaknya.

Itulah pertemuan pertamaku denganmu, Ji. Terlihat cerah dan penuh warna. Seperti pasar malam yang penuh dengan lampu bersama kuda-kuda plastik yang berputar. Seperti seorang bocah kecil yang menjilati permen gulali yang berwarna-warni sambil tertawa-tawa. Menggemaskan.

Ternyata, kita bertemu lagi, Ji. Sungguh, aku tak pernah mengira bahwa kita akan bertemu lagi untuk kedua kalinya. Di sebuah gedung tua. Namun, kali kedua, kita tidak bergabung dengan tikus-tikus si tukang cicit, melainkan dengan singa dan harimau. Ya, singa dan harimau, raja rimba. Apakau kau pikir mereka jahat dan akan menerkam kita? Aku rasa tidak.

“Lihatlah bulan itu, Ji. Ada mata di dalamnya. Begitu bulat. Bagaimana menurutmu, bulan itu cantik bukan?”, tanyaku. Sejenak, Ji menengadahkan kepalanya ke arah mata yang membulat di dalam bulan yang terang itu. Lantas ia tersenyum manis. Manis sekali.

“Mari kita nikmati malam di balik karung goni ini. Tadi sore, aku membelinya dari pasar”, ujar Ji mengajakku beristirahat. “Mandikan matamu dengan cahaya bulan di atas sana, Ji. Selamat malam”, balasku sembari semakin mendekatkan tubuhku dengannya. Lantas, Ji tersenyum dan memasukkan tubuhnya ke dalam karung goni.

Kau tinggal dalam sebuah gudang tua di sebuah perbukitan berkaktus. Mungkin perbukitan itu menyimpan banyak ranjau duri kaktus yang lantas membuat orang-orang yang melewatinya berdarah karena tertusuk oleh duri kaktus. Tapi aku tak peduli, Ji. Aku senang mengunjungi gudang tuamu. Gudang tua yang di dalamnya penuh dengan aroma dupa yang kau bakar tiap hari. Gudang tua tempat kita berpeluh. Gudang tua tempat kita menaruh gejolak yang sifatnya sementara.

Ada pancaran sinar merah yang kulihat dari matamu tiap kali kau menatapku. Matamu bertanduk, Ji. Seperti iblis yang mengerang puas setelah Tuhan mengizinkannya turun ke bumi untuk menggoda manusia-manusia sepertiku. Ada apa di balik matamu yang memerah, Ji? Mungkinkah kau menyembunyikan salah satu duri kaktus dari perbukitan ini di dalam matamu?

Seolah bahaya. Kau beringas seperti macan yang siap menerkam mangsanya. Dan akulah mangsamu. Berbagai warna yang bercampur aduk di dalam tubuhmu menerkamku hidup. Dari tubuhmu muncul duri-duri kaktus tajam yang kau dekap erat tak kau lepas. Mungkin mereka ingin keluar, Ji. Tapi kau tak kunjung melepasnya. Kau hanya mendekapnya. Kau hanya membiarkan warna-warni tubuhmu yang menerkamku.

Dalam waktu yang singkat, tubuhku pun tertular warna tubuhmu. Warna apa yang kau beri, Ji? Kauberi aku merah. Membuatku berani melawanmu. Akupun beringas. Kau pikir aku takut melawanmu? Namun sontak merahmu pudar. Merah matamu melepuh. Beringasmu menipis. Lantas kau tersenyum. Seperti pertemuan pertamaku denganmu. Senyuman bak malaikat kecil dengan kedua sayap kuning di punggungmu.


JI, seperti apakah dirimu sebenarnya? Sudah cukup lama aku mengasingkan diri di gudang tuamu. Berteman dengan sekawanan duri kaktus dan jaring laba-laba yang terkadang menjebakku tersesat. Kau nyata, namun tak cukup nyata. Aku mengenal tubuhmu. Aku mengenal baumu. Namun, aku tak mengenal warna-warna yang tercoret di dalam tubuhmu. Di dalam kanvas usang yang sudah bernoda oleh berbagai jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang terus kau sembunyikan.

Feb 17, 2013

Lendir Pertama untuk Layung


Pantai ini adalah pantai tak berpenghuni. Pantai tanpa gaduh suara bising. Putih pasirnya isyaratkan kesunyian yang disembunyikan di balik batu karang yang terbalik. Sungguh pantai yang kosong. Seperti diriny, Layung yang kosong. Layung yang warna merahnya memudar oleh jeritan burung-burung gagak yang terbang mencari mangsa. Layung yang sinarnya sejenak memecahkan pandangan dalam pupil yang mengecil. Layung dengan hamparan air laut yang airnya telah tercampur oleh peluh dengan rasa sendu.


IA berdiri tegak di tengah hamparan pasir putih. Angkuh. Merah kulihat warnanya. Seperti rona pipinya yang memerah ketika kusentuh pundaknya yang suci. Kuning kulitnya setengah tertutup oleh bubuk-bubuk pasir putih yang berterbangan terbawa angin dari selatan. Seluruh tubuhnya diselimuti oleh pertempuran matahari yang memaksa masuk ke bawah permukaan air laut yang biru.

Dari samping, kulihat biru bola matanya melepuh oleh panasnya air mata yang tergenang. Air mata itu hanya tergenang. Tak bisa menetes bebas. Seperti terkungkung oleh benteng batu yang keras. Bahkan aku tak tahu apa yang ditangisinya. Haruskah aku mencari tahu?



"Di depan kau lihat air laut berwarna biru. Ia cukup tenang. Tapi kau tahu? Sekali kau menjamahnya dalam-dalam, kau akan tenggelam ke dasar laut. Itulah perempuan", ucapnya tanpa getar. Tak tega rasanya aku untuk membalasnya. Itulah perempuan. Selalu terlihat tenang. Namun, jangan sampai kau koyahkan sedikitpun ketenangannya.

 
Cukup lama kami terdiam. Memandang pertempuran antara merah menyala dan biru tenang di depan mata kami berdua. Akankah mereka menjadi ungu? Seperti kami. Menyala mataku melihat kedua kaki telanjangnya yang seperti hembusan udara melayang di atas pasir tak bernyawa. Tenang dirinya memandang adu ombak yang perlahan membasahi kedua telapak kakinya. Mungkinkah kami pun menjadi ungu?




Metafora ini tersimpan dalam makna yang serba tak terduga. Ungu, bagaikan metafora yang datang tanpa direncakan. Sekali lagi, akankah kami menjadi ungu?


Pemandangan di depan kami tak kunjung menjadi ungu. Namun, aku sudah bisa merasakan hembusan nafasnya dari jarak terdekat yang kami miliki. Kurasakan sedikit basah di bibirku yang ternyata telah memagut bibirnya yang layu. Tapi ternyata, pertempuran antara merah menyala dan biru tenang masih belum tuntas. Mereka malu-malu. Bersembunyi di balik bibir kami yang saling memagut.


Pasir putih terasa hangat kuraba. Tak sadar, kami sudah terlentang di atas pasir putih yang kelak menjadi saksi. Kuraba kedua kakinya yang murni. Kudekap pinggangnya yang polos. Kubelai wajahnya yang asli. Kusentuh pundaknya yang suci. Yang kelak kutahu, pundak yang tak pernah diraba oleh lelaki manapun.  



KURASA biru ketika aku menciumnya dalam. Kurasa abu ketika kuangkat bibirku perlahan. "Ini yang pertama. Akankah menyenangkan?", tanyanya pelan sembari memalingkah wajahnya ke batu kerikil yang telah setia menjadi penonton adegan demi adegan yang kami buat.
 

Adalah dirinya, yang dengan keras mempertahankan kemurnian mahkotanya. Adalah dirinya, yang terpaksa menganggukkan kepalanya ketika ia diminta untuk menyerahkan mahkotanya pada seorang pria tua demi hutang keluarga. Dan, adalah dirinya, yang lari dari kenyataan yang baru saja terjadi satu hari yang lalu. Ketika seorang pria tua berbadan gemuk mencoba untuk menggerayangi tubuhnya sampai habis. Ia lari. Lepas. Dan pantai sunyi inilah yang ia temukan.

Sekilat cahaya abu melewati pandanganku perlahan. Sekilas, wajahnya nampak semu. Kosong kulihat sorot matanya. Apakah kerikil itu bagaikan kerikil di antara pohon kaktus? Begitu susah dilewati.
               

Kuangkat sedikit gaun merahnya. Sejenak aku tak mengerti apa yang akan kulakukan. Kuraih tubuhnya yang mungil. Kugerayangi perlahan. Polos.

Ia menggerayangi tubuhku. Lembut. Tidak kasar. Aku terkungkung oleh campuran energi positif dan negatif saat ini. Apa jadinya?

Aku lumat bibirnya. Kuharap air liur kami bercampur menjadi satu. Menjadi keunguan, seperti yang kuinginkan.

Zat kimia apa saja yang terdapat di dalam air liur? Apa yang akan terjadi jika air liurku bercampur dengan air liurnya? Ungu, kaukah itu?

Kurasa basah tubuhnya menggerayangi tubuhku. Basah di sela-sela kaki..

Gerakan aneh ini seperti memberikan aliran listrik pada tubuhku. Badanku gemetar. Namun peluhku menjadi saksi keindahan. Apakah ini sementara?



INI basah. Peluh kami bersatu. Pertempuran sengit antara merah menyala dengan biru yang tenang mendadak hilang. Kami tak sadar pertempuran itu sudah hilang. Tergantikan oleh rona keunguan di balik tubuh kami yang berbalut peluh. Pertanda gelap sudah datang.

"Namaku Layung. Terimakasih untuk lendir pertama yang kau berikan."

Layung menghilang. Menjadi sinar keunguan yang tampak dari celah-celah langit malam.
"Layung, akankah ada layung berikutnya di pasir putih ini?