Gelap Sepanjang Raga

Feb 28, 2011

Gelap Sepanjang Raga


Gelap pekat kelam memanggil raga. Keluh beribu jiwa, hitamkan beribu gumpalan. Yang mengawasi tiap gerik lelambai tak mungkin lepas seperti raga bayang kelambu rengeng-rengeng. Keluar nanah dalam tiap remang.

Laksana gaung jijeriju ditiupkan dari langit, menerkam bayang kayangan. Secabik-cabiknya kelakar kerongkongan kering di mata. Debu terbang namun pecah ketika riak mencekik haus cahaya. Panah menusuk tajam sang raja siang. Pecah! Hembuskan benih-benih hitam. Mengalir melalui pipa sunyi tanpa kehidupan. Namun berbuih kejam benih pelacur hina yang menghidupi lingkaran kelamin dalam jelaga . Disimpan di hati yang paling sakit sekalipun.

Satu persatu semak hijau runtuh terkoyah. Langit marah, bernafas berat. Menjunjung tebal langit. Gemetar pilu sekian lama padam di lobang malam.

Bukan melompong kosong yang nyaring. Gelap ini begitu sempit arah tak bergerak menuju kemana sebercak spektrum pun enggan berdenyut. Ilusi menyusut sepanjang kebekuan. Seumur hidup tak ada pagi dipeluk gelap. Sungguh temaram yang peka melebihi mata terhadap warna. Langit sudah memberikan petanda. Lingkaran gelap telah menunggu di ujung sana. Ada tiga ekor babi disana. Jantan, betina, dan entah apa. Itukah sebuah petanda?

Sebentar lagi digulungnya lipatan langit kusam. Dibaliknya, sepasang babi bercinta. Suaranya bergemuruh seperti marah namun aku diajaknya. Percintaan babi memang tak seindah percintaan Layla dan Majnun, namun gelap ditarik didalamnya. Ruh babi bergentayangan di sela-sela langit hitam, menari ronggeng sambil menikmati sepasang babi yang bercinta, yang akhirnya, mati. Jasad kasar tak butuh ruh, karena daging yang segar sudah bisa mengenyangkan yang rakus. Bukan pencari celah yang tekun mengalir mencukil sisipan agar tak gelap.