Kumpulan Diksi dari Si "Gila"

Jun 13, 2014

Kumpulan Diksi dari Si "Gila"




Photo by Dharma Wijayanto

Yayasan Jamrud Biru
Jalan Benda No. 105, Kelurahan Pedurenan, Kecamatan Mustikajaya, Kota Bekasi


Ssstt.. Jangan berisik. Ada yang datang mendekatiku. Warna merah semu hitam. Ia perlahan menjadi hitam yang ingin menggerayangi tubuhku dengan taring-taringnya yang ranum. Ini menakutkan, membuatku menggigil, ingin marah! Tapi mengapa mereka, orang-orang yang katanya ‘normal’, memandangku seolah jijik? Bak serangan optik yang menembak perasaanku. Matanya seolah bertanduk dan mengisyaratkan cibiran.

Ah, apa lacur. Itulah kami, aku dan kawan-kawanku. Kami, yang belum bisa diterima dengan apa adanya di dunia nyata. Pun tidak sedikit yang membuang kami layaknya sampah yang wajib ‘dibersihkan’. Sebutan ‘gila’ atau yang dalam bahasa ilmiahnya sebagai skizofrenia melekat jelas pada kami dan menjadi momok yang menakutkan bagi siapapun. Bahkan termasuk bagi keluarga kami yang seolah tidak peduli dan lebih memilih untuk menitipkan kami di tempat seperti ini.

Ya, tempat ini. Tempat di mana kami berkumpul dan beristirahat sembari menunggu mukjizat kesembuhan ataupun sekedar menunggu kematian. Dalam ruang berukuran kurang dari 10 x 15 meter inilah kami beserta 40 orang lain saling menatap penuh curiga. Tak jarang muncul kebencian di antara kami. Menjauh dari dunia luar, menjauh, dan terus menjauh hingga kami tak tahu lagi apa artinya kehidupan. Kehidupan yang katanya penuh warna. Jikapun di sini ada tawa, rasanya gelak tawa ini hanya bagaikan permainan orkes dangdut dengan nada-nada minor.

Seorang pria bernama Hartono bak seorang pahlawan bagi kami. Setidaknya, begitu yang aku rasakan. Yayasan Jamrud Biru yang bertempat di Jalan Benda No.105, Kelurahan Pedurenan, Kecamatan Mustikajaya, Kota Bekasi inilah yang memberi kami tempat tidur, makanan, dan fasilitas-fasilitas selayaknya manusia normal. Dengan begitu, kami tidak perlu berkeliaran di jalan yang penuh debu. Belum lagi sorotan mata menghina dari manusia-manusia pongah di luar sana.

Halusinasi adalah satu-satunya warna yang mengisi hari-hari kami. Panca indera kami menangkap semua yang ada. Yang belum tentu nyata, namun bagi kami itu nyata. Kami yakin, manusia lain belum tentu merasakan apa yang kami rasakan. Mereka bilang kami gila! Tapi tidakkah mereka tahu bahwa kami pun cukup tersiksa dengan ‘kegilaan’ ini? Kegilaan yang kami rasakan seperti cambuk yang terus menerus memecut tubuh kami hingga lunglai.

Mungkin memang hanya seorang Hartono yang mengerti. Ia mengontrak sebidang tanah yang luasnya tidak lebih dari 500 meter persegi dengan harga 25 juta rupiah per tahunnya termasuk biaya makan dan lain-lainnya. Ya! Artinya ia harus rela berbagi dengan kami dan menghadapi titik terekstrim kami yang mungkin saja bisa buat kacau balau. Tapi kami tidak tahu persis, apakah kami membebankan Hartono yang harus membiayai kehidupan kami sehari-harinya.

Zona hitam putih adalah bagian yang mengkungkung diri kami. Kau tahu? Sesungguhnya kami ingin keluar dari zona absurd ini. Tapi apa daya, nyatanya Negara kami yang tercinta ini masuk  ke dalam 25 persen Negara di dunia yang tidak memiliki undang-undang mengenai kesehatan jiwa. Padahal, 2,6 juta penduduk Indonesia dinyatakan mengidap kelainan jiwa.

Lihatlah, bahkan Negara yang  kami cintai pun seolah menutup mata dan telinga, juga mendadak dungu terhadap eksistensi kami. Lantas, ketika kami tetap eksis di tengah-tengah masyarakat, kami dicibir dan tidak sedikit dari kami yang dibuang. Seolah hanya kami lah biang kerok kondisi kegilaan zaman ini. Hih, apatis yang menikmati secangkir kopi hangat di teras rumahnya sembari membaca koar-koar tentang kemanusiaan di surat kabar, tanpa pun menjadikan dirinya seorang manusia yang memanusiakan manusia.

Kami sadar, mengharapkan sebuah Negara tanpa adanya manusia-manusia “gila” seperti kami hanyalah sebuah utopis belaka. Namun, kami hanya mengharap pengakuan atas eksistensi kami di sini atau di tempat-tempat lainnya.

Oh wahai.. Sesungguhnya kami tidak ingin lahir dengan kondisi seperti ini. Adakah alasan yang tepat untuk meminta dilahirkan dalam kondisi seperti ini? Tidak ada. Kami hanya menginginkan belaian manis di pundak kami. Kasih sayang dan kesabaran. Baik itu dari keluarga, maupun lingkungan terluar kami.

Ya, itu harap kami. Menjadi bagian dari kehidupan selayaknya seorang manusia sosial. Keluar dari dunia yang sebatas hitam dan putih, dengan sebuah rangkulan hangat yang mampu membantu kami berdiri. Membangunkan kami dari tidur panjang dan mimpi buruk.

Mungkin ini hanya sekumpulan diksi klasik, tapi ini bukan fiksi. Karena aku dan kawan-kawanku ada di sekeliling kalian, menunggu secercah senyuman dan dukungan.


#nowplaying: God Is An Astronaut - Fragile