Kami Dan Peluru Bertanduk

Jan 9, 2012

Kami Dan Peluru Bertanduk


Aku melihatnya berdiam diri di tengah kerumunan manusia. Entah apa yang dilakukannya. Ia hanya diam. Namun, mata bertanduknya begitu cekatan mencari-cari apa yang dicari. Seperti mencari musuh. Musuh yang harus dimusnahkan. Musuh yang harus diberantas habis. Musuh yang harus diluluhlantahkan. Sampai musuh-musuh itu mati. Sampai menjadi puing-puing abu yang nantinya berteriak kemanusiaan.

Aku tak pernah mengenalnya, tapi aku mengetahuinya. Ia hanya sebutir peluru dengan mata bertanduk. Gigi-giginya tajam seakan siap menggerogoti setiap tubuh yang melawan. Ia hidup di tengah-tengah masyarakat. Menjadi sebuah kebiasaan.


SEORANG pria dengan kaus lusuh berteriak-teriak di tengah jalan. Aku tak begitu jelas mendengarkan apa yang diteriakkannya. Yang pasti ia berhasil membuat keributan di persimpangan jalan. Perlahan aku mendengar ia berteriak, "Saya gila! Negeri ini gila!". Terus menerus kalimat tersebut diteriakkannya.

Tidak ada yang dirugikan. Toh ia hanya berteriak-teriak saja. Tidak pun ada yang meluncurkan protes kepadanya. Malah sebagian orang menjadikannya sebagai tontonan yang mengasyikkan.

Di ujung sana, di depan sebuah pintu besar pertokoan, aku melihat peluru memantaunya dari jauh. Aku tak tahu pasti apa yang dirasakannya. Namun tatapannya begitu dingin. Bola matanya semakin bulat hitam membesar. Tanduknya pun semakin menantang. Apa dia marah? Ah, tidak mungkin. Setahuku ia hadir untuk memberikan perlindungan dari yang jahat. Tapi di sini tidak ada penjahat. Mana penjahatnya? Lelaki gila itu? Dia tidak jahat. Aku rasa ia hanya mengeluarkan apa yang ia rasakan. Tidak ada yang protes.

Aku rasa tak perlu ada yang dikhawatirkan. Baik bagi peluru dan bagi lelaki gila itu. Sejenak, kulepaskan pandanganku dari peluru. Dan aku pun kembali menonton aksi si lelaki gila. Menarik. Ia berani malu di depan orang banyak untuk mengeluarkan pendapatnya. Aksi lelaki gila itu semakin menjadi-jadi. Ia semakin lincah dan semakin menarik perhatian orang yang melewatinya.

Lalu, aku alihkan kembali perhatianku menuju pintu besar pertokoan di ujung sana. Tempat tadi peluru memantau. Namun, kutemukan peluru yang sudah tak berada di sana. Di mana dia? Mengapa ia tiba-tiba menghilang? Aku memutar kepalaku, melihat sekeliling. Semakin kutajamkan penglihatanku agar aku bisa menemukan peluru. Aku cari ia di sela-sela kaki yang melangkah. Mungkin ia menyusup di antara kaki-kaki manusia yang saling menyapa. Aku perhatikan aspal peluru yang sepertinya mau meleleh terkena sinar matahari. Namun tak juga kutemukan peluru.

Aku palingkan wajahku menuju trotoar tempat lelaki gila itu beraksi. Dan di sanalah kutemukan peluru. Ia sudah merayap mendekati kaki si lelaki gila. Mendorong tubuhnya menembus telapak kaki si lelaki gila. Ia masuk ke dalam tubuh si lelaki gila. Merayap di dalamnya.

Aku melihat di kaki lelaki gila itu ada tonjolan kulit yang merayap, bergerak semakin ke atas. Aku tahu, itu adalah peluru. Ia terus merayap. Sementara si lelaki gila makin hilang kesadaran. Ia terus dan terus merayap ke atas. Dan sekarang aku tak tahu sudah sampai bagian tubuh yang mana ia merayap.

Yang jelas tiba-tiba saja aku mendengar suara ledakan. Bukan ledakan bom molotov ataupun granat. Namun terdengar seperti suara sebuah pistol polisi yang meluncurkan pelurunya. Namun di mana? Aku tak melihat ada polisi di tempat ini. Yang aku lihat hanya dada si lelaki yang tiba-tiba meledak. Tubuhnya menyemburkan darah. Seperti darah leher yang dipenggal. Menjadi warna merah yang menghiasi udara. Tubuhnya meledak. Dan seketika, aku melihat peluru keluar dari dalam tubuh si lelaki gila yang hampir hancur. Ia bersimbah darah. Ia berjalan meninggalkan si lelaki gila dan kerumunan.

Aku melihatnya berjalan. Aku yakin, orang lain pun melihatnya berjalan. Melihat peluru berjalan dengan tubuh yang penuh darah. Karena aku dan mereka tahu peluru. Kami tahu, ia hidup di tengah-tengah kami.