Saya Adalah Marah Yang Memerah

Mar 23, 2011

Saya Adalah Marah Yang Memerah


Namaku Marah. Maraha Luka. Nama yang indah, bukan? Bukan karena orang tuaku adalah seorang pemarah. Ah.. Ya mungkin saja! Ayahku seorang pemarah. Setiap pulang kerja, dia selalu berkoar-koar membekukan seluruh isi rumah. Dengan alasan lelah karena bekerja, dia bisa seenaknya saja berkoar-koar. Ibuku pun sama. Tidak begitu saja menerima Ayah yang berteriak-teriak, dia malah menangis, berteriak.

Terkadang aku malu pada tetangga yang selalu menyimpan matanya di sudut-sudut rumahku. Aku juga malu pada mulut-mulut tetangga yang bergelantungan di udara saat aku hendak pergi sekolah. Ah.. Aku malu ya Tuan!

Tujuh belas tahun aku hidup di dalam ruang bawah tanah yang panas dan penuh amarah. Hampir tiga belas tahun aku hidup di ruang sempit berukuran tiga kali tiga. Aku hanya keluar ketika perut memanggil. Akupun manusia, tak luput dari rasa lapar. Namun, aku pun manusia, yang merasa hina melihat birahi-birahi amarah berkeliaran di setiap sudut rumah.

Maka dari itu, kurasa mungkin lebih baik jika aku mengurung diri. Penjara yang indah. Penjara berkehidupan. Disana aku bisa menari Bedhoyo Semang. Aku bisa berputar-putar, menapaki seluruh penjuru ruangan sempitku. Dan teman-teman khayalanku mengelilingiku, ikut berputar dan menari.

Terkadang, di tengah-tengah tarian aku menangis pilu. Pilu mendengar teriakan amarah dari luar. Ah gila! Sesungguhnya, aku ingin marah, namun aku hanya bisa pasrah. Mulutku terkunci, mataku biar kututup dengan kain kafan, agar tak perlulah kukeluarkan birahiku juga. Biar hanya air mataku saja yang kukeluarkan. Agar tubuhku semakin menyusut, menjadi gembel. Biarlah aku menjadi gembel. Aku bisa bebas tanpa mendengar teriakan-teriakan amarah orang yang memberikanku darah.
----------------------Siang ini sungguh bolong. Lingkaran matahari membolongi langit biru yang sebelumnya terlihat begitu cantik. Padahal perpaduan langit dengan burung-burung yang menari sungguh membutakan mataku. Membutakan mataku dengan sebuah motor yang berlari cepat. Ah, hampir saja aku ditabraknya.

Aku pulang. Untuk pertama kalinya aku pulang di siang bolong. Berlari loncat di tepi Jalan Singojayan. Penduduk kampung mungkin aneh melihatku, mungkin mereka bertanya, ada apa denganku hari ini. Begitu rianya aku. Ya, layaknya seorang pelajar, ternyata aku mendapat beasiswa di institut ternama di kota bunga sana. Ingin rasanya aku cepat sampai di rumah. Memberitahu Ibu kabar bahagia, karena mungkin saja dengan ini Ibu tak harus lagi menangis. Aku juga ingin sesegera mungkin memberitahu teman-teman di ruangan tiga kali tigaku tentang kabar bahagia ini. Tak lagi harus menari Bedhoyo Semang, tapi mari kita meronggeng saja. Kita gerakkan pinggul, agar tikus-tikus di sana gemas melihat kita. Kita bertayub bersama tikus-tikus nakal di sana. Sesekali bolehlah kita berikan kepuasan untuk tikus-tikus itu.

Tapi, nampak di depan rumah terdapat sebuah motor berdiri tegak di sana. Siapa?
Jantungku rasanya berdebar. Siapa?
Keringatku sedikit sedikit bercucuran. Siapa?

Dan.. Ahh! Kuintip dari jendela yang sedikit terbuka, tampak jelas di kursi panjang itu ada dua monyet sedang bergerak lincah. Yang satu betina, yang satu jantan. Mengapa tiba-tiba ada perilaku kebinatangan di rumah ini? Begitu beringas, liar. Lalu, kulihat sesosok pria jantan keluar dari kamar. Ya, itu Ayah! Tapi mengapa? Mengapa dia diam tanpa kata? Dia hanya tersenyum.

Lima belas menit aku diberi sebuah pertunjukan primitif sepasang binatang liar.
Selama tujuh belas tahun, baru kali ini kulihat perilaku binatang di rumah ini. Mataku terbelalak ketika tahu monyet betina itu adalah Ibu. Ibu yang menahan sakit mengeluarkanku dari perutnya. Ibu yang selalu menangis karena amarah Ayah. Lalu siapa monyet jantan itu? Tak kukenal wajahnya.

Lima belas menit berlalu. Masih tanpa busana, hanya dengan sehelai celana dalam, monyet jantan itu mengeluarkan berlembar-lembar uang dari saku celananya yang tergeletak di lantai. Kulihat tangannya memegang segepok uang, dan diberikannya uang itu pada Ayah.

Ya Tuan..
Selama tujuh belas tahun, aku baru tahu sekarang. Ibuku seorang pelacur? Ayahku menjual Ibu kepada pria-pria yang senang berpetualang? Itukah pekerjaan Ayah yang sebenarnya? Seorang germo? Ah.. Aku tak peduli jika wanita-wanita lain yang dijual! Tapi mengapa dia tega menjual istrinya sendiri? Ibuku! Bangsat! Kulitku melepuh, panas. Nuraniku mengepal tanganku.

BRAKK!!! Kugebrak pintu keras-keras. Aku yakin, Ayah yang masih tersenyum puas tiba-tiba merasa jantungnya berhenti. Monyet jantan itu memandang heran. Mungkin dalam hatinya ia bertanya, "Siapa itu?". Ibuku yang masih hanya tertutup oleh sehelai selimut pun terbelalak. Namun aku tak bisa menangis. Badanku seperti kejang, keras. Tujuh belas tahun aku selalu menerima amarah Ayah. Bahkan barang-barang di rumah yang hancur karena Ayah pun tak pernah kuurusi. Tapi kurasa sekarang bukan saatnya menjadi orang yang selalu nerimo.

Busuk sekali kau Ayah. Dan Ibu, biarpun aku selalu pilu mendengar tangisanmu, namun sekarang aku tak lagi pilu melihatmu mengucurkan air mata.

"Saya adalah Marah. Saya adalah Marah yang memerah, panas."