RUNGLA, Part #1

Jul 14, 2011

RUNGLA, Part #1


"Meong.." Sayup-sayup erangan makhluk liar terdengar dari balik singgasana berkelambu. Di baliknya, ada makhluk berbadan kerdil penuh bebuluan hitam dan bermata hitam pekat. Dia meringis. Mungkin, semalam dia baru bermimpi basah. Bersetubuh dengan seekor tikus sebelum ia habisi dan lahap si tikus malang itu.

Apakah kamu akan berkata kalau makhluk itu liar? Mungkin iya. Tapi tidak untuk seorang gadis manis. Tidak untuk Rungla.

Ya! Rungla namanya. Perempuan cantik dengan paras bidadari yang sedang tertidur pulas di atas ranjang berkelambu. Mungkin, Rungla jatuh cinta pada makhluk manis nan liar di bawah ranjangnya itu. Setiap malam pun ia cumbui makhluk itu sampai orgasme.

-----

Matahari sepertinya mulai bangun dari tidurnya, membuat Rungla ikut terbangun. Karena pagi itu, seperti biasa, ia harus melaksanakan tugasnya di rumah sakit. Sebagai perawat ia berkewajiban untuk merawat setiap pasien yang ada. Ah, tapi ia merasa lebih senang jika harus merawat tubuh-tubuh yang bergeletakan di ruang mayat. Tubuh-tubuh itu sudah tidak berudara. Yang artinya, mati. Ia bisa bebas melakukan apapun pada tubuh-tubuh lunglai itu. Termasuk meraba penis dalam tubuh yang tergelepak lemas tak berdaya. Ya! Penis! Ia bisa meraba. Bisa memandang. Atau bahkan bisa memotongnya dengan lembut. Lagipula, apakah tubuh yang dikubur harus selalu utuh? Bukankah banyak mayat yang tubuhnya sama sekali sudah tidak utuh? Apa salahnya kalau salah satu organ tubuhnya aku potong dan aku ambil? Begitu pikir Rungla.

Seperti yang sekarang sedang ia amati. Sekelompok daging yang membusuk, yang ia simpan dalam aquarium berlampu merah dalam kamarnya. Daging busuk itu dikenal dengan nama penis. Anggap saja ia gila. Namun, penis itu bagaikan jiwa baginya. Kelamin, mungkin lebih tepat. Entah benci entah cinta yang ia rasakan pada kelamin.

Ah kelamin.. Sebenarnya aku cinta pada kelamin. Bagiku, kelamin adalah hal yang sangat sakral dalam hidup. Bayangkan, jika tidak ada kelamin, mungkin aku tidak akan ada di sini sekarang. Aku tidak akan hidup. Aku tidak akan menjadi nyata. Aku hanya akan menjadi imaji tanpa realisasi. Tapi buktinya, karena kelaminlah aku ada di sini. Namun, aku pun benci pada kelamin. Ibuku hidup terpuruk karena kelamin. Dulu, kelompok ibuku dianggap bersalah karena dituduh melakukan penyelewengan terhadap kelamin. Di sinilah awal mula aku membenci kelamin, khususnya kelamin pria. Ibuku dan teman-temannya dituduh bertindak tidak senonoh dan bertindak sangat amoral terhadap kelamin pria. Sampai pada akhirnya menjebloskan ibu ke dalam keterpurukan. Biar setelah beberapa tahun keterpurukannya berkurang, namun kembali lagi ia menemukan keterpurukan. Ia bertemu seorang pria yang kusebut Ayah. Seorang pria yang begitu kudamba, dulu. Dulu, sebelum aku tahu kalau Ayah menjual kelamin ibu pada setiap pria-pria petualang tubuh. Sebut saja ibuku seorang pelacur. Pelacur yang dipaksa melacur, pelacur yang terpaksa dilacur. Begitulah ibu. Begitu pasrah pada pria yang telah menyelamatkan keterpurukannya. Karena, siapa lagi kalau bukan pria itu yang mau menerima ibu saat itu. Label bekas tahanan hina membuatnya tak bisa kemana-mana selain kepada pria yang mau menerima dan mengurusnya. Ya.. Pria berwajah kelamin!

-----

Rumah sakit akan selalu menjadi rumah sakit. Di sana ia bisa melihat hiruk pikuk berbagai macam manusia. Ada seorang pria yang menangis setelah mendengar kematian kekasihnya yang baru saja ditemukan setelah beberapa hari menghilang. Ternyata kekasihnya hilang diculik sekelompok berandalan, diperkosa, dan dibunuh. Di kursi panjang yang kumuh itu pun duduk seorang pria paruh baya dengan mata yang berkaca-kaca. Pria itu baru saja kehilangan bayinya. Istrinya yang 25 tahun di bawahnya mengalami keguguran dan hampir mati.

Aku tak mau hamil, kalau bisa aku ingin menghamili orang lalu kutinggalkan. Aku tak mau diperkosa, aku ingin memperkosa. Aku tak mau dibunuh setelah diperkosa, aku ingin membunuh setelah memperkosa.

Rungla melesat pergi dari pemandangan pilu yang bodoh di depan matanya. Menuju kamar seorang pasien. Kembali pada aktivitasnya seperti biasa. Merawat pasien hidup. Pasien yang banyak mengeluh. Pasien yang ingin dimanja. Pasien yang ingin dijadikan raja. Pasien yang membuatnya harus berkedok seolah-olah bidadari cantik dengan segala keramahan dan senyum manisnya memberikan pelayanan maksimal pada si mayat hidup. Ya, mayat hidup! Mengaku hidup, namun hanya bisa tidur merebahkan badan menunggu niat baik seseorang untuk memberikan pelayanan semaksimal mungkin dengan alasan mempermudah gerak si mayat hidup karena si mayat hidup masih merasakan lemas di badan. Pasien yang membosankan! Bisik Rungla dalam hati.

-----

Semakin sore, rumah sakit tidak semakin sepi, tapi semakin ramai. Manusia-manusia itu semakin hiruk pikuk, berkeliaran kesana kemari. Seperti semut-semut yang menempel pada dinding kamar mandi. Berseliweran kesana kemari. Rungla teringat kejadian pagi tadi di kamar mandinya. Ada semut-semut bertelur yang bergerombol menghiasi dinding-dinding kamar mandinya. Dan dengan lembutnya, dengan sengaja ia siramkan air pada gerombolan-gerombolan semut di dinding, sampai mereka terjatuh, dan masuk ke dalam lubang pembuangan. Apakah mereka mati? Atau mereka hidup mengambang di dalam sana? Haruskah aku melenyapkan manusia-manusia pikuk ini?

Tak lama, Rungla teringat janjinya pada seorang pria. Ranu, pria yang memanggilnya sebagai ‘pacar’. Apalah arti pacar? Siapa yang pertama kali menemukan kata pacar? Rungla tak pernah perduli pada kata yang dianggapnya tak bermakna itu. Siapalah dia. Dia hanya seorang lelaki yang selalu meminta tubuhnya. Karena merasa Rungla adalah miliknya, sering kali nampaknya pria itu berkata, “Sayang, ayo lepas celanamu..”. Ah begitulah pria busuk yang hanya menginginkan tubuh. Perempuan-perempuan bodoh sengaja dirayu hanya untuk dijadikan budak seksnya. Mereka merayu, lalu menggerayangi, dan menyetubuhi. Apalagi? Bukankan seperti itu? Atau mungkin setelah puas disetubuhi, si perempuan ditinggalkan. Begitulah.. Persetubuhan begitu nikmat bagi anjing-anjing bodoh seperti mereka. Tapi aku, aku tidak menikmati persetubuhan. Aku hanya tertarik pada lembutnya kulit penis. Seperti Ranu, yang mengaku sebagai kekasihku. Aku sama sekali tak perduli pada kata kekasih yang selalu ia ucap. Aku juga tidak begitu menikmati persetubuhanku dengan Ranu. Karena bukan itulah yang aku cari. Aku mencari sesuatu yang tersembunyi di dalam sana. Penis! Aku menginginkan penisnya. Ah.. Penisnya membuatku gemas, dan selalu aku ingin menariknya dari kulit Ranu. Ranu, tenanglah sayang, nanti malam kita akan bertemu, dan aku akan memberikan kejutan manis untukmu, pacar.

-----

Sambil menunggu kedatangan Ranu, Rungla sedikit bermesraan dengan si hitam kesayangannya. Ia menciumnya gemas, si hitam membalasnya dengan jilatan-jilatan liar di leher Rungla. Rungla tertawa manja, sedikit mendesah. Si hitam terus mengeong dan mengeram. Namun, kenikmatan itu terpaksa harus berhenti. Sebagai tanpa perpisahan, kembali Rungla menciumi bulu si hitam dengan gemas. Dan melaju masuk ke dalam mobil.

“Mau kemana kita?”, tanya Rungla.
“Kemana pun asal kita senang..”, jawab Ranu sambil memberikan sedikit jentikan di paha Rungla yang mulus.
“Senang yang bagaimana yang kamu inginkan? Senang bergelayut di atas tubuhku?”
Mendengar itu, Ranu hanya tersenyum sambil melirik mata Rungla yang nakal. Ranu tak menjawab apapun. Ia hanya berlanjut meremas pundak Rungla, dan sekali lagi memberi jentikan genit di paha Rungla. Baginya, itulah jawabannya.

Itulah Ranu. Seorang pria yang selalu haus tubuh wanita. Atau mungkin juga dia seorang pria yang memiliki kadar sperma berlebih di dalam tubuhnya sehingga mengharuskan ia untuk terus menerus mengeluarkan cairan itu. Rungla sendiri tak tahu apakah di belakangnya Ranu pun berpetualang bersama perempuan lain. Lagipula, Rungla sama sekali tak peduli.

Akhirnya mereka memutuskan untuk pergi ke sebuah bar. Satu gelas, mereka masih duduk berhadapan. Ranu memang tak pernah jemu memandang wajah Rungla yang bak bidadari. Dua gelas, Ranu mulai menyentuh tangan Rungla yang halus bak kulit mentimun segar. Tiga gelas, Ranu berpindah tempat dan memilih untuk duduk di sebelah kekasih hatinya. Empat gelas, Ranu mulai merangkul pinggang Rungla sambil sedikit menyentuh bagian bawa payudara Rungla. Atau seperti di mobil, mencolek paha Rungla. Dan menciumi pipi Rungla yang merah. Lima gelas, Ranu tak tahan.

Rungla yang sedari tadi hanya diam menerima sentuhan-sentuhan maut dari Ranu pun tak tahan memberikan kejutan manis untuk Ranu. Rungla pun sadar melihat wajah Ranu yang seperti sudah tak tertahankan. “Baiklah.. Tapi sekarang aku ingin menantangmu. Sekarang sudah jam satu malam, aku rasa tempat-tempat di luaran sana sudah mulai sepi. Aku ingin ke salah satu tempat. Ikuti aku. Dan tusuk aku dengan belatimu di sana!”.

-----

Ternyata benar, di luaran memang sudah mulai sunyi dari manusia-manusia yang berseliweran. Salah satu monumen yang orang-orang bilang sebagai bentuk perjuangan rakyat menjadi pilihan Rungla malam itu. Bukan ia membenci perjuangan rakyat. Namun ia membenci benda yang berdiri kokoh di atas monumen itu. Garuda palsu, dengan badan yang terburai, dan di dalamnya terdapat kebohongan-kebohongan.

“Kau lihat Ranu? Di atas itu ada seekor garuda palsu. Kasihan sekali garuda itu, harus terus menengok ke kanan. Lihat, dadanya pun terburai sehingga dalaman-dalamannya dapat terlihat oleh orang-orang yang melihatnya, termasuk kita. Kamu percaya pada garuda palsu itu? Aku tidak. Bagiku itu hanyalah perlambang palsu. Ah tapi sudahlah, kita di sini tidak akan membicarakan masalah itu. Mari mendekatlah padaku. Tusuk aku dengan belatimu. Jangan khawatir, nikmati saja. Lalu, ciduk binatang palsu itu dengan air manimu."

Dalam remang, mereka saling ciduk.
Dalam remang, mereka saling caci.
Dalam remang, mereka saling maki.
Dalam remang, mereka saling desah.
Beradu mata. Beradu hidung. Beradu mulut. Beradu leher. Beradu keringat.
Beradu kelamin.
Dan..selesai sudah!

Persetubuhan adalah kenikmatan sesaat. Kenikmatan sesaat yang terus dinikmati. Ranu tampaknya lelah. Ranu masih menempelkan tubuhnya pada tubuh Rungla. Tampaknya ia terkulai. Karena nafsu birahi yang begitu memanas,keringat pun membasahi tubuhnya yang kekar bak bintang-bintang porno Asia.

"Aku lelah..", keluh Ranu.
"Ya aku tahu. Tapi ini belum selesai, sayang.", sahut Rungla.

Tak lebih dari beberapa detik, tiba-tiba Ranu merasakan mual yang begitu menggila. Merasakan perutnya yang terasa aneh. Merasakan sakit yang tak tertahankan. Merasakan pandangan yang seakan-akan kabur dari bola mata. Dan ia jatuh. Jatuh sambil merasakan dirinya beberapa detik lagi akan menjadi mayat. Merasakan mayat yang muncul karena tertusuk sebilah pisau 10 inci.

BRAAKKK! Ranu jatuh, terkulai tanpa nafas. Terkulai tanpa jantung yang berdetak.
Ranu, mati.

Di depannya, berdiri Rungla dengan senyuman manisnya. Ya, manis! Manis melihat sebuah drama kematian yang ia buat sendiri di depannya. Ia terpesona pada darah dan bolong di perut pria si petualang tubuh yang tergelepak tak berdaya di depannya. Dan tak lupa, ia juga terpesona pada seonggok daging yang dimiliki pria yang tak beruntung itu. Ya, kelamin!

Tanpa merasakan berat, Rungla membawa mayat itu ke balik dinding yang baru saja terciduk oleh sperma pria yang mati di bawahnya. Tanpa rasa takut, ia mengangkat pisau 10 inci yang masih berlumur darah. Tanpa rasa jijik, perlahan ia membelai penis milik Ranu yang sudah ia tunggu-tunggu. Dan tanpa rasa bersalah, perlahan ia mengguratnya, lalu memotongnya, dan memotongnya dengan kuat. Dan..ah! Akhirnya terlepas.

Akhirnya kau terlepas dari sangkarmu. Dulu, kau selalu disiksa oleh tuanmu. Tuanmu yang haus birahi. Tapi tenanglah, mulai sekarang, kau akan ikut denganku. Kau bisa hidup bebas bersamaku, tanpa harus melaksanakan perintah-perintah tuanmu. Tuanmu telah mati, dan kau pun terbebas.


(bersambung)