Instalasi Renik Dalam Dunia Terhah
Foto : syaifulgaribaldi.com |
Perkenalkan,
ini adalah Dunia Terhah. Sebuah dunia baru yang ada di Planet Bumi. Dunia
imajiner tanpa batas yang hadir dengan liar dan tumbuh tak terduga. Dunia yang
asyik sendiri dengan eksperimen-eksperimennya yang absurd. Dunia ini bahkan
terkadang kasat mata, tapi sebenarnya eksis. Tapi ini bukan khayalan. Ini
adalah yang nyata.
“Cgarmnuh homma
nossolka aarm tos homma ujmiok bas nosneroah klimuh tos homma porculen,nossolre
olarium terhah, atoah tos xem osmun (birbir epoksorban) solka. Porculen sorban
uwew katoa manoaki, lowara hiu jiro laeoleou piang gorgor she. Yepii.”
Jangan
takut, paragraf di atas bukan lontaran yang keluar dari mulut alien yang akan
menginvasi bumi. Itu adalah lontaran yang keluar dari mulut manusia – dengan
menggunakan bahasa Terhah - yang tidak takut untuk meyakinkan apa yang telah dipercayainya
dan mencoba merekam penuh semua ide yang ada di sana, di dalam setiap
kehidupan.
Misalnya,
ide tentang dunia renik (mikroorganisme), sebagai konstruksi dari sesuatu yang
tak nampak dan diam tak bergerak tapi sebenarnya hidup. Ide itu hadir dalam
QUIESCENT. Sebuah pameran tunggal perupa Syaiful Garibaldi, si empunya Dunia
Terhah. Hadir selama satu bulan sejak 13 Februari hingga 13 Maret 2016, dalam
sebuah ruangan kecil di lantai 40 pada salah satu gedung ‘menak’ di Jakarta. ROH
Gallery, yang agak tersembunyi. Seolah tak ingin banyak orang yang tahu. Yah,
namanya juga Dunia Terhah. Dunia yang dikira tak ada, padahal ada.
Quiscent sendiri merupakan proses mati
suri atau dormant. Dalam dunia
biologi, quiescent dikenal dengan
kondisi makhluk hidup yang diam tapi sebenarnya tidak mati. “Itu disebutnya dormant,” kata pria yang akrab disapa
Tepu ini.
Rupa-rupa
itu hadir dengan bentuk yang membingungkan. Bisa-bisa kita mengira kalau kita
sedang berada di planet lain. Berbentuk bulat, batang, spiral, tampak memiliki
kepala, tampak memiliki kaki. Hadir dengan medium bahasa, lukisan, patung, dan
instalasi video. Rupa-rupa itu diam. Seperti patung besar berwarna hijau lumut yang
diam di pojokan ruang. Disimpan sebagai imajinasi Tepu tentang lichen (lumut kerak) yang berjudul
“Lartucira #12”. Dengan bentuk yang condong dan terpisah-pisah.
Lichen atau biasa dikenal sebagai lumut
kerak, merupakan mikroorganisme hasil simbiosis mutualisme ganggang dan jamur.
Dikatakan sebagai makhluk perintis. Karenanya, maka kehidupan-kehidupan baru
bermunculan. Landasan empiris bahwa makhluk-makhluk hidup dalam dunia renik
yang berinteraksi itulah yang kemudian semakin mendekatkan dunia ‘Terhah’ pada
dunia nyata. Di sini, batas antara apa yang imajiner dengan apa yang nyata
menjadi kabur.
Lewat
14 karya yang hadir dalam Quiescent itu, Tepu ingin mempreservasi
makhluk-makhluk dunia renik itu dalam setiap kondisi tertentu. Seperti
interaksi-interaksi simbiosis mutualisme antara ganggang dan alga yang kemudian
menghadirkan lichen, yang hadir dalam
karya lukisnya yang berjudul “Lartucira #6”, “Lartucira #3”, “Lartucira #5”,
dan “Lartucira #4”. Sebagai informasi, ‘lartucira’
yang dijadikan judul dari semua pameran itu, merupakan bahasa ‘Terhah’ yang
artinya adalah mati suri.
Tepu
selalu meyakini bahwa setiap proses yang dimiliki oleh makhluk hidup memiliki
nilai estetis tersendiri. Mereka (makhluk hidup) akan memiliki kepentingan
tersendiri bagi makhluk sekitar. Misalnya saja proses pertumbuhan
mikroorganisme yang ditunjukannya dalam karya “Lartucira #8” yang dihadirkannya
dalam bentuk lukisan. Mulai dari yang masih berukuran sangat mini, bervariasi
hingga tampak seperti bahwa ia memiliki mata, kaki, dan tangan. Yang kesemuanya
adalah hasil imajinasi Tepu terhadap makhluk-makhluk dunia renik yang
diamatinya.
Pada
intinya Tepu memindahkan apa yang dilihatnya dalam pengamatan dengan
menggunakan mikroskop. Tapi memindahkan di sini bukan berarti apa yang
dikaryakannya sama percis dengan yang asli. Tepu mengkonstruksi ulang apa yang
telah dilihatnya. Hingga akhirnya memunculkan bentuk-bentuk imajiner dalam
dunianya, dunia Terhah.
Konsep
visual karya-karya Tepu dalam Quiescent ini
diambil dengan cara pembesaran mikroskop. Ia bekerjasama dengan Laboraturium
Biologi Institut Teknologi Bandung (ITB). Di sana ia belajar mengamati
makhluk-makhluk dunia renik. Melalui pengamatan, Tepu bisa mengetahui apa-apa
saja yang terjadi pada si mikroorganisme. Maka ditangkapnya lah bagian-bagian
yang menurutnya penting dan menarik untuk kemudian dikonstruksikan dengan
berbagai imajinasinya.
Tapi
tak dinyana, makhluk-makhluk dunia renik ternyata memiliki kecenderungan untuk
mengeluarkan warna yang cerah dan menyala ketika diamati dengan menggunakan
mikroskop elektron. “Itu untuk sepuluh ribu kali lipat,” kata Tepu. Yang
kemudian dituangkannya dalam beberapa karyanya di Quiescent seperti “Lartucira #6”, “Lartucira #3”, “Lartucira #5”,
dan “Lartucira #4” yang menangkap simbiosis mutualisme antara ganggang dan
jamur. Makhluk-makhluk renik dalam skala besar itu dilukiskannya dengan
warna-warna menyala dan berkilau. Ia menduga, mungkin saja bahwa warna yang
menyala itu muncul akibat pewarna yang diinjeksikan ke mikroorganisme tersebut
saat akan diamati. “Karena gelap, jadi saya harus kasih warna supaya terang,”
ia menambahkan.
Dari
serangkaian percobaan dan eksperimen terhadap lichen, lahir berbagai inspirasi baru yang ia terapkan pada proses
penciptaan karyanya. Setiap perubahan bentuk, warna, dan sifat dari
mikroorganisme itu kemudian akan jadi sebuah perkembangan yang mampu memperkaya
Dunia Terhah.
Eksperimen
Tepu dengan lichen yang dihadirkan
dalam Quiescent ini memang merupakan
eksperimen teranyar yang dilakukannya. Jauh sebelumnya, Tepu tak kuasa untuk
menolak keinginannya untuk menciptakan Dunia Terhah yang digagasnya. ‘Terhah’
sendiri berasal dari bahasa Esperanto yang didefinisikan sebagai ‘ide’. Dunia
Terhah menjadi wilayah mediasi bagi ilmu pengetahuan untuk berpadu dengan seni
melalui imajinasi pada proses berkarya.
Salah
satunya dengan menciptakan sistem tanda dan tata bahasa sendiri untuk para
penghuni Dunia Terhah pada tahun 2007 silam. Bahkan sebenarnya bahasa Terhah
inilah yang menjadi awal pembentukan Dunia Terhah. Sederhana saja, bahasa
Terhah ini sebenarnya hanya merupakan celetukan Tepu sehari-hari yang kemudian
ia kumpulkan dan catat. Hingga saat ini sudah lebih dari 1.500 kata terdaftar
dalam Kamus Terhah.
Abjad
dalam Dunia Terhah pun ditemukannya dengan cara mengkultur bakteri yang ada
pada e-coli. “Saya kultur dari salah satu unsur yang ada di bakteri ini,”
ujarnya. Kemudian, pola-pola itu tumbuh sesuai dengan kemauan si mikroorganisme
itu sendiri. Maka muncul lah abjad-abjad ajaib itu.
Seni,
bagi Tepu bukan hanya sekedar artefak. Seni adalah ilmu pengetahuan. Pada jaman
Renaissance, seniman dianggap sebagai seorang yang universal dimana ia
mempelajari segala bidang. “Saya setuju sama hal itu,” katanya.
Tepu
mengaku sangat tertarik untuk bekerjasama dengan makhluk hidup seperti
mikroorganisme dalam setiap karyanya. Makhluk-makhluk dalam dunia renik adalah
makhluk yang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Di sana sering muncul
kejutan-kejutan tersendiri. “Misal saya sudah menentukan dia bergerak kemana,
kadang-kadang dia sering bergerak dengan keinginannya sendiri,” ia bercerita.
Padahal, sebenarnya mereka (makhluk-makhluk dunia renik) itu memiliki dampak
yang besar bagi lingkungan dan manusia itu sendiri.
------------------------------------------------------------
Dipublikasikan di Majalah GATRA- XXII/17