Merespon Ruang - Doing Graffiti Is Like Vacation!

Dec 22, 2015

Merespon Ruang - Doing Graffiti Is Like Vacation!


Instagram - @katun_



Banksy, seorang bomber asal Inggris, yang tak pernah diketahui identitasnya, pernah membayangkan bagaimana sebuah kota dimana graffiti tidak ilegal, dimana semua orang bisa menggambar apapun yang mereka sukai, dimana setiap jalan dalam sebuah kota dibanjiri oleh jutaan warna dan frase, dimana berdiri di halte bus tidak terasa membosankan. “Imagine a city like that – it’s wet” – Banksy, Wall and Piece (2005).

Anggap saja sebagai miniatur imajinasi Banksy. Sabtu (19/12) silam, Gudang Sarinah yang terletak di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan, membuat ‘basah’ para pelaku sekaligus pecinta seni jalanan atau biasa dikenal dengan street art. Pasalnya, hari itu dinding-dinding bangunan Gudang Sarinah yang sebelumnya tampak kusam dengan cat yang terkelupas sana sini disulap menjadi hampir habis terpakai untuk menjamu berbagai rupa karya street art.

Bagian dinding selatan salah satu dari tiga bangunan yang ada di Gudang Sarinah misalnya. Sebuah karya ‘narsis’ dari sekawanan street artist Jakarta yang menggambar nama grupnya sendiri, Berandal Aspaleho. Sebuah mural yang menyusupkan rupa-rupa karakter imajiner di sela-sela huruf yang digambarnya. Di sebelahnya, Dinas Artistik Kota seolah tak mau aksi corat-coret dindingnya terganggu dengan memasang plang bertuliskan : “Maap Jalan Anda Terganggu Kami Sedang Berkarya”.

Tak hanya di bagian dinding selatan. Tak jauh dari situ – di bagian timur dinding Gudang Sarinah -  tampak seekor monyet menggunakan topi bisbol terbalik dengan tape combo di tangannya tengah duduk santai di antara dua graffiti berbentuk lettering. Kali ini, Katun (MLY), Haser (NZ), dan TUTS mencoba merepresentasikan apa yang dinamakan dengan street culture yang biasanya diidentikan dengan budaya graffiti dan budaya musik hip-hop yang kerap ditampilkan dengan topi bisbol dan kebiasaan rapping di jalanan sembari menenteng tape combo.

Dua bagian itu merupakan beberapa spot yang dijadikan area menggambar dalam gelaran Street Dealin Festival #9 yang digagas oleh Gardu House, Jakarta. Menjadi salah satu program Jakarta Biennale 2015, Street Dealin Festival kali ini diakui sebagai acara street art terbesar yang pernah digarap oleh Gardu House. “Dari Street Dealin #1 sampai #8 kita biasa di satu spot, di Jalan Veteran Bintaro. Dan biasanya cuma diisi oleh 1-3 bomber saja,” ujar Direktur Street Dealin, Bima Chris, dalam konferensi pers yang digelar sebelum acara dimulai.

Jika biasanya hanya mengundang 1-3 seniman, kali ini sebanyak 27 seniman graffiti turut berpartisipasi dalam agenda Street Dealin #9. Street Dealin kali ini pun turut mengundang seniman graffiti dari beberapa negara tetangga seperti Eggfiasco (Filipina), Haser (Selandia Baru), Katun, Kenjichai, Pakey One (Malaysia), Slap Satu (Singapura), dan Very1 (Jepang). Selebihnya adalah nama-nama yang mungkin sudah tidak asing lagi di kalangan para bomber seperti TUTS, Darbotz, Wormo, Stereoflow, LoveHateLove, Dinas Artistik Kota, Abang8, Adr1, Berandal Aspaleho, Ais Kerim, F21st, Ghost, Jong Merdeka, Hard13, Kimoz, Noah, Older+, Rubs8, Sleeck, dan Sleepyone.

Street Dealin sendiri merupakan gelaran rutin yang digelar sebanyak dua kali dalam setiap tahunnya bagi para pelaku dan pecinta street art. Mengusung tema ‘street culture’, Bima dan kawan-kawan ingin menjadikan Street Dealin sebagai selebrasi street culture itu sendiri. Sekaligus, untuk menampik pandangan-pandangan negatif yang sering terlontar pada budaya skena jalanan. “Skena jalanan biasanya paradigmanya jelek. Ini kita mau menunjukkan bahwa skena jalanan juga ada yang positifnya,” jelas Bima.

Tak bisa ditampik memang, bahwa hingga saat ini pandangan sebelah mata masyarakat yang memandang kegiatan street art sebagai aksi vandalisme masih saja hadir. Padahal, tema-tema street art yang cenderung subversif mengingatkan masyarakat pada realita sekaligus menciptakan kesadaran terhadap hal-hal apa saja yang terjadi di sekitarnya.

Realita mengenai supir bus yang seringkali membawa kendaraan dengan gaya koboi pun menjadi salah satu suguhan beberapa street artist yang berkolaborasi kala itu. Abang8, Stereoflow, Wormo, Ais Kerim, dan Very 1 (JPN) menyulap sebuah bus jurusan Cililitan – Pasar Baru yang kusam menjadi lebih bersemangat dengan berbagai bentuk lettering di sekeliling badan bus. Belum lagi gambar dua mata berukuran besar di bagian depan bus. Seolah-olah menyuruh para pengendara bus untuk lebih awas dalam berkendaraan.

Begitulah. Bagi Bima, para street artist akan menangkap gejolak di masyarakat dengan merespon ruang-ruang publik. Tanpa sadar sebenarnya apa yang ditampilkan para street artist adalah suara-suara masyarakat yang seringkali mendapat perhatian sambil lalu. Sebut saja bahwa street art melucutkan keterbatasan dan mempertemukan berbagai elemen masyarakat dalam wujud rupa. Maka demikian, Bima kembali menegaskan bahwa apa yang disebut dengan street culture bukan selalu hal yang bersifat negatif.

Street culture sendiri merupakan subkultur yang tumbuh di dalam kultur urban masyarakat perkotaan. Dalam Urban Dictionary dikatakan bahwa street culture merupakan gaya popular dari masyarakat perkotaan yang menjadikan jalanan sebagai ruang bersama. Yang kemudian menyerap ide-ide kreatif yang muncul dari jalanan, yang popular disebut street art. Esensi street art sendiri, dikatakan Bima, terletak pada kejelian para street artist dalam menindak dan menyiasati ruang sebagai medium gambarnya.

Di Indonesia sendiri sebenarnya sejak masa perang kemerdekaan, street art dalam bentuk graffiti bisa menjadi alat propaganda yang efektif dalam menggelorakan semangat melawan penjajah Belanda. Misalnya saja, pelukis Affandi yang menuliskan “Boeng Ajo Boeng!” di tembok-tembok jalanan sebagai sebuah slogan yang dibuatnya sendiri.

Sementara secara modern, street art di Indonesia mulai digandrungi pada awal tahun 2000. Hingga sekarang, perkembangan street art di Indonesia begitu masif dan sporadis. Berbeda dengan dulu dimana pelaku street art hanya berada di dalam kalangan mahasiswa di beberapa kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Kini, cakupan pelaku street art semakin panjang secara geografis dan merata. Mulai daari kota besar sampai kota kecil di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan Bali yang semakin banyak memunculkan bomber-bomber baru.

Dalam kurun waktu kurang lebih 15 tahun, street art di Indonesia telah berevolusi menjadi sebuah kultur yang lengkap dengan segala atribut bawaannya. Sebuah kultur yang berhasil menciptakan salah satu skena street art terbesar di Asia. “Ini adalah pencapaian yang layak dirayakan oleh para pelakunya,” kata Bima. Dan saat ini saja, Indonesia sudah menjadi salah satu tujuan berlibur kebanyakan street artist mancanegara.

Tutu a.k.a TUTS, salah seorang street artist dalam Street Dealin #9 mengakui bahwa street art di Indonesia sangat berkembang pesat. “Luar biasa!” katanya. Salah satu penyebabnya adalah era digital yang menghadirkan berbagai macam media sosial yang pada akhirnya membantu para street artist mempublikasikan karya-karyanya. Berbeda dengan awal tahun 2000, ketika media sosial belum terlalu marak. “Kalau dulu sekali gambar, gak lama dari situ udah dihilangin Satpol PP. Enggak sempat dipublikasikan,” tambahnya sedikit mengenang.

Dari segi teknik dan ide pun, Tutu merasa bahwa karya-karya street artist Indonesia sudah tak berbeda jauh dengan karya-karya street artist mancanegara. “Enggak beda jauh kok. Kita sudah cukup liar,” ujarnya. Meskipun begitu, ia mengakui bahwa masih adanya karya-karya street artist Indonesia yang masih terlihat emosional. Tapi dari segi teknik, ia merasa Indonesia mampu menyaingi street artist mancanegara. Terbukti dengan TUTS sendiri yang seringkali hadir dengan gaya 3D dalam setiap karyanya. Selain itu, menurutnya pun banyak street artist Indonesia yang diundang untuk berpartisipasi dalam gelaran-gelaran street art di luar negeri. “Bahkan ada juga yang diminta menggambar untuk komersil,” tambahnya.

Doing graffiti is like vacation! Begitu Tutu berkata. Baginya, menggambar adalah terapi untuk merilekskan tubuh. Oleh karena itu juga, biasanya para street artist jarang mengkonsepkan terlebih dahulu apa yang akan digambarnya. Semuanya dilakukan secara spontan dan bersama-sama.

“Kalau mau dibilang seni, justru itu sisi seru seninya. Kita gambar bareng. Gambar apapun yang kita pikirkan masing-masing. Lalu pas selesai kita lihat, enggak tahunya hasil begini. Itu surprise! Itu chemistry! Karena bagaimanapun street art itu dimulai dari jalan dan dilakukan oleh orang yang berbeda-beda. Bagi kami, jalanan itu seperti medium untuk melahirkan ide,” ujar Tutu.


Mungkin gambar-gambar di dinding itu terkadang akan terasa mengganggu pemandangan, atau terkadang akan terasa menarik untuk dilihat dan dikagumi, pun terkadang bisa hanya untuk dipandang sejenak dan dilewati begitu saja. Terlepas dari apapun impresi yang dirasakan, street art tanpa disadari telah menjadi bagian pengalaman visual sehari-hari masyarakat memberikan gambaran realita masyarakat itu sendiri. Meskipun itu hanya sebatas coretan pensil bertuliskan “Aci Was Here”.