SENLIMA : Batas Yang Tanpa Batas
Dok. Salihara |
Bagaimana rasanya jika dunia
hadir tanpa batas? Tanpa harus adanya garis-garis yang mengkotak-kontakan
masyarakat dari berbagai pandangan yang telah disepakati bersama. Seperti
kehidupan seorang kakek tua dan seekor burung di dalam kotak. Ah Senlima...........
--------------------
Seorang wanita hilir mudik ke
kanan dan ke kiri. Membawa sebuah kotak dengan penuh kehati-hatian. Disusul
dengan empat kawannya yang muncul sembari berteriak “Senlima.. Senlima..” secara bergantian. Maka, tampaknya isi dalam kotak itu. Seorang pria tua yang kemudian diikuti seekor burung.
Empat manusia itu tampaknya
penasaran. Tak henti-henti mereka mencoba memanggil si pria tua dan si burung di dalam kotak. Seolah
mengajak bermain bersama. Sekali ketuk, lantas si burung langsung menjawab :
“Kukuk..”. Dan begitu seterusnya. Hingga keluarlah si burung dari dalam kotak, lalu terbang berkeliling. Bukannya menikmati alam bebas, si
burung malah masuk kembali ke dalam sangkarnya.
Secuil adegan itu menjadi pembuka pertunjukan "SENLIMA", sebuah pertunjukan teater boneka yang digelar di Teater Salihara, Jakarta, Minggu, 4 Oktober lalu. Pertunjukan ini merupakan kolaborasi antara Teater Papermoon Puppet (Indonesia) dan Kelompok Teater Boneka Retrofuturisten (Jerman), dimana Ghoethe Institute menjadi 'mak comblang' nya.
Sementara itu, boneka pria tua
yang sebelumnya berada di dalam kotak memilih narasi yang berbeda dengan
narasi yang dirasakan burung. Si pria tua diceritakan memiliki masa lalu kelam yang membuatnya harus berhadapan dengan stigma masyarakat. Pun yang pada
akhirnya mengharuskannya untuk hidup di dalam sebuah ‘kotak’. Senlima, seolah menjadi
sebuah harapnya.
Dalam perjalanannya keluar dari
kotak tersebut, si pria tua dan si burung bertemu dengan sepasang mata besar
yang dengan pongahnya berkedip-kedip tajam. Seolah berkata : “Saya ada
dimana-mana”. Menjadi mata-mata dengan kekuatannya yang begitu digdaya, yang
kemudian disebut sutradara pertunjukan SENLIMA, Maria Tri Sulistyani (Teater
Papermoon Puppet) dan Roscha A Saldom (Retrofuturisten) sebagai “the big power”.
SENLIMA sendiri merupakan bahasa
Esperanto, bahasa yang sebelumnya dicita-citakan sebagai bahasa universal.
Artinya, tanpa batas. Mencoba menceritakan batas-batas yang kerap terjadi dalam
kehidupan manusia, SENLIMA menjadikan simbol sepasang mata besar sebagai
kekuatan yang maha digdaya sebagai si pembuat batas-batas tersebut. Sementara
kotak dalam pertunjukan SENLIMA, dihadirkan sebagai metafor dari batas-batas
yang dibuat oleh manusia.
Proyek ini, dikatakan Ria,
melibatkan perjalanan tanpa batas. Berawal dari kegelisahannya terhadap
orang-orang yang pada akhirnya harus mendapatkan stigmatisasi dari masyarakat
umum. Bagaimana begitu kuatnya Tembok Berlin yang memisahkan antara Jerman
Barat dan Jerman Timur. Atau begitu kuatnya sejarah pada peristiwa tragedi 1965
silam yang pada akhirnya menjadikan status ‘eks tapol’ sebagai sebuah momok masyarakat.
Namun, batas-batas yang diusulkan
oleh SENLIMA bukan berarti merujuk pada satu peristiwa. “Tidak ada satu pun
peristiwa yang membuat kami bikin cerita ini,” ujarnya. Ini adalah murni cerita
tentang perjalanan tanpa batas secara universal. Namun memang secara diam-diam, baik Ria maupun Roscha mencoba menceritakan sejarah-sejarah negara
masing-masing yang nyatanya memiliki kesamaan sejarah. “Kami merasa sama. Yakni
adanya stigmatisasi kuat yang akhirnya membangun kotak-kotak batas bagi
masyarakat di negara kami masing-masing,” papar Ria.
Meskipun begitu, diakui Ria,
bahwa salah satu hal yang ingin diungkapkannya dengan pementasan SENLIMA ini
adalah perkara batas dalam pertunjukan teater boneka itu sendiri. Bentuk teater
yang dilakoni oleh Papermoon Puppet dan Retrofuturisten. “Umumnya kan
teater boneka orangnya enggak dimunculin. Tapi di sini kita munculin para
aktornya. Bahkan si pemain punya peran sendiri,” ujarnya.
Dipublikasikan di Majalah GATRA 8-14 Oktober 2015