SENLIMA : Batas Yang Tanpa Batas

Oct 14, 2015

SENLIMA : Batas Yang Tanpa Batas


Dok. Salihara



Bagaimana rasanya jika dunia hadir tanpa batas? Tanpa harus adanya garis-garis yang mengkotak-kontakan masyarakat dari berbagai pandangan yang telah disepakati bersama. Seperti kehidupan seorang kakek tua dan seekor burung di dalam kotak. Ah Senlima...........

-------------------- 

Seorang wanita hilir mudik ke kanan dan ke kiri. Membawa sebuah kotak dengan penuh kehati-hatian. Disusul dengan empat kawannya yang muncul sembari berteriak “Senlima.. Senlima..” secara bergantian. Maka, tampaknya isi dalam kotak itu. Seorang pria tua yang kemudian diikuti seekor burung.


Empat manusia itu tampaknya penasaran. Tak henti-henti mereka mencoba memanggil si pria tua dan si burung di dalam kotak. Seolah mengajak bermain bersama. Sekali ketuk, lantas si burung langsung menjawab : “Kukuk..”. Dan begitu seterusnya. Hingga keluarlah si burung dari dalam kotak, lalu terbang berkeliling. Bukannya menikmati alam bebas, si burung malah masuk kembali ke dalam sangkarnya. 

Secuil adegan itu menjadi pembuka pertunjukan "SENLIMA", sebuah pertunjukan teater boneka yang digelar di Teater Salihara, Jakarta, Minggu, 4 Oktober lalu. Pertunjukan ini merupakan kolaborasi antara Teater Papermoon Puppet (Indonesia) dan Kelompok Teater Boneka Retrofuturisten (Jerman), dimana Ghoethe Institute menjadi 'mak comblang' nya. 

Sementara itu, boneka pria tua yang sebelumnya berada di dalam kotak memilih narasi yang berbeda dengan narasi yang dirasakan burung. Si pria tua diceritakan memiliki masa lalu kelam yang membuatnya harus berhadapan dengan stigma masyarakat. Pun yang pada akhirnya mengharuskannya untuk hidup di dalam sebuah ‘kotak’. Senlima, seolah menjadi sebuah harapnya.

Dalam perjalanannya keluar dari kotak tersebut, si pria tua dan si burung bertemu dengan sepasang mata besar yang dengan pongahnya berkedip-kedip tajam. Seolah berkata : “Saya ada dimana-mana”. Menjadi mata-mata dengan kekuatannya yang begitu digdaya, yang kemudian disebut sutradara pertunjukan SENLIMA, Maria Tri Sulistyani (Teater Papermoon Puppet) dan Roscha A Saldom (Retrofuturisten) sebagai “the big power”.

SENLIMA sendiri merupakan bahasa Esperanto, bahasa yang sebelumnya dicita-citakan sebagai bahasa universal. Artinya, tanpa batas. Mencoba menceritakan batas-batas yang kerap terjadi dalam kehidupan manusia, SENLIMA menjadikan simbol sepasang mata besar sebagai kekuatan yang maha digdaya sebagai si pembuat batas-batas tersebut. Sementara kotak dalam pertunjukan SENLIMA, dihadirkan sebagai metafor dari batas-batas yang dibuat oleh manusia.

Proyek ini, dikatakan Ria, melibatkan perjalanan tanpa batas. Berawal dari kegelisahannya terhadap orang-orang yang pada akhirnya harus mendapatkan stigmatisasi dari masyarakat umum. Bagaimana begitu kuatnya Tembok Berlin yang memisahkan antara Jerman Barat dan Jerman Timur. Atau begitu kuatnya sejarah pada peristiwa tragedi 1965 silam yang pada akhirnya menjadikan status ‘eks tapol’ sebagai sebuah momok masyarakat.

Namun, batas-batas yang diusulkan oleh SENLIMA bukan berarti merujuk pada satu peristiwa. “Tidak ada satu pun peristiwa yang membuat kami bikin cerita ini,” ujarnya. Ini adalah murni cerita tentang perjalanan tanpa batas secara universal. Namun memang secara diam-diam, baik Ria maupun Roscha mencoba menceritakan sejarah-sejarah negara masing-masing yang nyatanya memiliki kesamaan sejarah. “Kami merasa sama. Yakni adanya stigmatisasi kuat yang akhirnya membangun kotak-kotak batas bagi masyarakat di negara kami masing-masing,” papar Ria.

Meskipun begitu, diakui Ria, bahwa salah satu hal yang ingin diungkapkannya dengan pementasan SENLIMA ini adalah perkara batas dalam pertunjukan teater boneka itu sendiri. Bentuk teater yang dilakoni oleh Papermoon Puppet dan Retrofuturisten. “Umumnya kan teater boneka orangnya enggak dimunculin. Tapi di sini kita munculin para aktornya. Bahkan si pemain punya peran sendiri,” ujarnya.


Dipublikasikan di Majalah GATRA 8-14 Oktober 2015