|
Instagram - @katun_ |
Banksy,
seorang bomber asal Inggris, yang tak
pernah diketahui identitasnya, pernah membayangkan bagaimana sebuah kota dimana
graffiti tidak ilegal, dimana semua
orang bisa menggambar apapun yang mereka sukai, dimana setiap jalan dalam
sebuah kota dibanjiri oleh jutaan warna dan frase, dimana berdiri di halte bus
tidak terasa membosankan. “Imagine a city
like that – it’s wet” – Banksy, Wall
and Piece (2005).
Anggap
saja sebagai miniatur imajinasi Banksy. Sabtu (19/12) silam, Gudang Sarinah
yang terletak di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan, membuat ‘basah’ para pelaku
sekaligus pecinta seni jalanan atau biasa dikenal dengan street art. Pasalnya, hari itu dinding-dinding bangunan Gudang
Sarinah yang sebelumnya tampak kusam dengan cat yang terkelupas sana sini disulap
menjadi hampir habis terpakai untuk menjamu berbagai rupa karya street art.
Bagian
dinding selatan salah satu dari tiga bangunan yang ada di Gudang Sarinah
misalnya. Sebuah karya ‘narsis’ dari sekawanan street artist Jakarta yang menggambar nama grupnya sendiri,
Berandal Aspaleho. Sebuah mural yang menyusupkan rupa-rupa karakter imajiner di
sela-sela huruf yang digambarnya. Di sebelahnya, Dinas Artistik Kota seolah tak
mau aksi corat-coret dindingnya terganggu dengan memasang plang bertuliskan : “Maap
Jalan Anda Terganggu Kami Sedang Berkarya”.
Tak
hanya di bagian dinding selatan. Tak jauh dari situ – di bagian timur dinding
Gudang Sarinah - tampak seekor monyet
menggunakan topi bisbol terbalik dengan tape combo di tangannya tengah duduk
santai di antara dua graffiti berbentuk lettering.
Kali ini, Katun (MLY), Haser (NZ), dan TUTS mencoba merepresentasikan apa
yang dinamakan dengan street culture
yang biasanya diidentikan dengan budaya graffiti dan budaya musik hip-hop yang
kerap ditampilkan dengan topi bisbol dan kebiasaan rapping di jalanan sembari menenteng tape combo.
Dua
bagian itu merupakan beberapa spot yang dijadikan area menggambar dalam gelaran
Street Dealin Festival #9 yang
digagas oleh Gardu House, Jakarta. Menjadi salah satu program Jakarta Biennale 2015, Street Dealin Festival kali ini diakui sebagai
acara street art terbesar yang pernah
digarap oleh Gardu House. “Dari Street
Dealin #1 sampai #8 kita biasa di satu spot, di Jalan Veteran Bintaro. Dan
biasanya cuma diisi oleh 1-3 bomber
saja,” ujar Direktur Street Dealin,
Bima Chris, dalam konferensi pers yang digelar sebelum acara dimulai.
Jika
biasanya hanya mengundang 1-3 seniman, kali ini sebanyak 27 seniman graffiti
turut berpartisipasi dalam agenda Street
Dealin #9. Street Dealin kali ini
pun turut mengundang seniman graffiti dari beberapa negara tetangga seperti Eggfiasco
(Filipina), Haser (Selandia Baru), Katun, Kenjichai, Pakey One (Malaysia), Slap
Satu (Singapura), dan Very1 (Jepang). Selebihnya adalah nama-nama yang mungkin
sudah tidak asing lagi di kalangan para bomber seperti TUTS, Darbotz, Wormo,
Stereoflow, LoveHateLove, Dinas Artistik Kota, Abang8, Adr1, Berandal Aspaleho,
Ais Kerim, F21st, Ghost, Jong Merdeka, Hard13, Kimoz, Noah, Older+, Rubs8,
Sleeck, dan Sleepyone.
Street Dealin sendiri merupakan gelaran rutin yang
digelar sebanyak dua kali dalam setiap tahunnya bagi para pelaku dan pecinta street art. Mengusung tema ‘street culture’, Bima dan kawan-kawan
ingin menjadikan Street Dealin sebagai
selebrasi street culture itu sendiri.
Sekaligus, untuk menampik pandangan-pandangan negatif yang sering terlontar
pada budaya skena jalanan. “Skena jalanan biasanya paradigmanya jelek. Ini kita
mau menunjukkan bahwa skena jalanan juga ada yang positifnya,” jelas Bima.
Tak
bisa ditampik memang, bahwa hingga saat ini pandangan sebelah mata masyarakat
yang memandang kegiatan street art sebagai
aksi vandalisme masih saja hadir. Padahal, tema-tema street art yang cenderung subversif mengingatkan masyarakat pada
realita sekaligus menciptakan kesadaran terhadap hal-hal apa saja yang terjadi
di sekitarnya.
Realita
mengenai supir bus yang seringkali membawa kendaraan dengan gaya koboi pun
menjadi salah satu suguhan beberapa street
artist yang berkolaborasi kala itu. Abang8, Stereoflow, Wormo, Ais Kerim,
dan Very 1 (JPN) menyulap sebuah bus jurusan Cililitan – Pasar Baru yang kusam
menjadi lebih bersemangat dengan berbagai bentuk lettering di sekeliling badan bus. Belum lagi gambar dua mata berukuran
besar di bagian depan bus. Seolah-olah menyuruh para pengendara bus untuk lebih
awas dalam berkendaraan.
Begitulah.
Bagi Bima, para street artist akan
menangkap gejolak di masyarakat dengan merespon ruang-ruang publik. Tanpa sadar
sebenarnya apa yang ditampilkan para street
artist adalah suara-suara masyarakat yang seringkali mendapat perhatian
sambil lalu. Sebut saja bahwa street art melucutkan
keterbatasan dan mempertemukan berbagai elemen masyarakat dalam wujud rupa. Maka
demikian, Bima kembali menegaskan bahwa apa yang disebut dengan street culture bukan selalu hal yang
bersifat negatif.
Street culture sendiri merupakan subkultur yang
tumbuh di dalam kultur urban masyarakat perkotaan. Dalam Urban Dictionary
dikatakan bahwa street culture merupakan
gaya popular dari masyarakat perkotaan yang menjadikan jalanan sebagai ruang bersama.
Yang kemudian menyerap ide-ide kreatif yang muncul dari jalanan, yang popular
disebut street art. Esensi street art sendiri, dikatakan Bima,
terletak pada kejelian para street artist
dalam menindak dan menyiasati ruang sebagai medium gambarnya.
Di
Indonesia sendiri sebenarnya sejak masa perang kemerdekaan, street art dalam bentuk graffiti bisa
menjadi alat propaganda yang efektif dalam menggelorakan semangat melawan
penjajah Belanda. Misalnya saja, pelukis Affandi yang menuliskan “Boeng Ajo
Boeng!” di tembok-tembok jalanan sebagai sebuah slogan yang dibuatnya sendiri.
Sementara
secara modern, street art di Indonesia
mulai digandrungi pada awal tahun
2000. Hingga sekarang, perkembangan street
art di Indonesia begitu masif dan sporadis. Berbeda dengan dulu dimana
pelaku street art hanya berada di
dalam kalangan mahasiswa di beberapa kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan
Yogyakarta. Kini, cakupan pelaku street
art semakin panjang secara geografis dan merata. Mulai daari kota besar
sampai kota kecil di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan Bali yang
semakin banyak memunculkan bomber-bomber baru.
Dalam
kurun waktu kurang lebih 15 tahun, street
art di Indonesia telah berevolusi menjadi sebuah kultur yang lengkap dengan
segala atribut bawaannya. Sebuah kultur yang berhasil menciptakan salah satu skena
street art terbesar di Asia. “Ini
adalah pencapaian yang layak dirayakan oleh para pelakunya,” kata Bima. Dan
saat ini saja, Indonesia sudah menjadi salah satu tujuan berlibur kebanyakan street artist mancanegara.
Tutu
a.k.a TUTS, salah seorang street artist dalam
Street Dealin #9 mengakui bahwa street art di Indonesia sangat
berkembang pesat. “Luar biasa!” katanya. Salah satu penyebabnya adalah era
digital yang menghadirkan berbagai macam media sosial yang pada akhirnya
membantu para street artist mempublikasikan
karya-karyanya. Berbeda dengan awal tahun 2000, ketika media sosial belum
terlalu marak. “Kalau dulu sekali gambar, gak lama dari situ udah dihilangin Satpol PP. Enggak sempat
dipublikasikan,” tambahnya sedikit mengenang.
Dari
segi teknik dan ide pun, Tutu merasa bahwa karya-karya street artist Indonesia sudah tak berbeda jauh dengan karya-karya street artist mancanegara. “Enggak beda
jauh kok. Kita sudah cukup liar,” ujarnya. Meskipun begitu, ia mengakui bahwa
masih adanya karya-karya street artist Indonesia
yang masih terlihat emosional. Tapi dari segi teknik, ia merasa Indonesia mampu
menyaingi street artist mancanegara. Terbukti
dengan TUTS sendiri yang seringkali hadir dengan gaya 3D dalam setiap karyanya.
Selain itu, menurutnya pun banyak street
artist Indonesia yang diundang untuk berpartisipasi dalam gelaran-gelaran street art di luar negeri. “Bahkan ada
juga yang diminta menggambar untuk komersil,” tambahnya.
Doing graffiti is
like vacation! Begitu
Tutu berkata. Baginya, menggambar adalah terapi untuk merilekskan tubuh. Oleh
karena itu juga, biasanya para street
artist jarang mengkonsepkan terlebih dahulu apa yang akan digambarnya. Semuanya
dilakukan secara spontan dan bersama-sama.
“Kalau
mau dibilang seni, justru itu sisi seru seninya. Kita gambar bareng. Gambar
apapun yang kita pikirkan masing-masing. Lalu pas selesai kita lihat, enggak
tahunya hasil begini. Itu surprise! Itu
chemistry! Karena bagaimanapun street art itu dimulai dari jalan dan
dilakukan oleh orang yang berbeda-beda. Bagi kami, jalanan itu seperti medium untuk
melahirkan ide,” ujar Tutu.
Mungkin
gambar-gambar di dinding itu terkadang akan terasa mengganggu pemandangan, atau
terkadang akan terasa menarik untuk dilihat dan dikagumi, pun terkadang bisa hanya
untuk dipandang sejenak dan dilewati begitu saja. Terlepas dari apapun impresi
yang dirasakan, street art tanpa
disadari telah menjadi bagian pengalaman visual sehari-hari masyarakat
memberikan gambaran realita masyarakat itu sendiri. Meskipun itu hanya sebatas
coretan pensil bertuliskan “Aci Was Here”.